BUYA HAMKA
oleh: Agung Pribadi
part 1
“Buyung! Awak benci dengan ayah! Apabila awak pulang ke kampung, hanya ada rumah tua yang telah sunyi. Hanya ada Andung[1]dan adik awak yang sakit-sakitan. Adik awak yang perempuan telah dibawa ibu. Uni merantau ke tanah Jawa bersama suami. Tak ada lagi pedoman awak dalam hidup. Karena itu awak sering pergi dari rumah! Pergi dari kampung! Awakpun sekarang hendak pergi lagi!”, Malik membuka percakapan dengan Buyung, sobat kentalnya.
“Awak disuruh belajar agama terus ke surau! Mengapa bukan ayah yang mengajar awak? Ayah khan ulama! Ayah khan doktor! Malas awak belajar! Lebih baik awak taruhan untuk sabung ayam! Sekarang awak mau pergi taruhan sabung ayam!” katanya lagi.
“Janganlah pergi Malik! Haram itu! Judi itu!”, jawab Buyung.
“Awak indak peduli!”.
Malikpun pergi ke arena sabung ayam.
“Terus Jalu! Terus! Lawan dia! Lawan! Jangan menyerah!”, Malik Asyik sekali menikmati pertarungan dua ayam jago, Si Jalu dan Si Taji. Ia menjagokan Si Jalu.
“Kuok... kuok... kuok... “ suara Si Jalu sedang sekarat. Si Taji-lah yang sedang di atas angin. Si Jalu tengah terkapar kesakitan. Si Taji dengan sombongnya memandangi Si Jalu.
Tiba-tiba, “Waak ... waak ... waak ...” Si Jalu bangkit dan menghabisi nyawa Si Taji. Malik yang tadinya lemas dan sudah terbayang uangnya hilang, tiba-tiba berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Menang … menang … menang … menang lagi … menang lagi …”, ia bernyanyi-nyanyi sambil mencium uang hasil kemenangan taruhannya.
Tiba-tiba Si Pekok yang bertaruh untuk Si Taji menghampiri Malik sambil mengeluarkan pisau daging. Ya! Si Pekok memang tukang daging. Ia mengacungkan pisaunya ke arah Malik.
“Kembalikan piti awak[2]!” ia berteriak.
“Enak saja! Ini sudah menjadi piti awak!” Malik berkelit.
“Kembalikan!”
“Tidak!”
“Hiaaaaat”, Pekok menyerang Malik dengan jurus silat Minang.
“Craaaang … !” Suara pisau beradu. Ya Malik menangkis serangan Pekok dengan belati. Hanya saja pisau Malik lebih kecil dari pisau daging milik Pekok, sehingga pergelangan tangannya sedikit tergores.
Pekok menyerang lagi dengan pisaunya. Malik menangkis dengan cara kakinya menendang pergelangan Pekok.
Pekok melompat mundur kemudian ia melakukan gerakan sapuan ke belakang kaki Malik. Malik melompat setinggi 1 meter. Ketika turun kakinya terarah ke lutut Pekok yang sudah kehilangan posisi. Pekok berguling-guling di tanah. Kemudian ia melakukan gerakan salto 3 kali dan mendarat dengan kakinya.
Malik menyerang lagi dengan gerakan capit udang[3]. Berhasil! Kakinya menjepit Pekok, setelah itu Malik berputar ke kiri, Pekok terbanting! Belakang kepalanya membentur tanah. Ia tak sadarkan diri.
“Tsub!” tiba-tiba sebuah pisau menancap di dada Malik.
“Curang!” teriak Malik.
Ya! Ada yang berbuat curang. Si Adnan yang sejak tadi berdiri menonton di pinggir lapangan tiba-tiba menyerang ketika Malik tidak siap. Lalu Adnan langsung ngeloyor pergi.
Malik megap-megap. Matanya berkunang-kunang, buram… saat itu ia ingat mati. Ya! Kematian sudah begitu dekat menghampirinya.
“Ayah maafkan aku, aku anak yang durhaka, tidak mau sekolah, tidak mau mengaji! Allah ampuni aku! Aku sering berbuat maksiat, berjudi, gonta-ganti pacar dan lain-lain! Ya Allah ampuni aku”, kata Malik dalam hati.
“Kalau aku tidak jadi mati dan sembuh aku akan taat padamu Ya Allah!” janji Malik. Lalu teman-teman Malik menggotongnya. Tiba-tiba semua gelap! Malik tak sadarkan diri.
Malik membuka mata.
“Di mana aku?” batinnya.
“Apa aku sudah mati?”
Lalu ia melihat kakeknya.
“Andung, apa awak sudah mati?” tanya Malik.
“Ah! Kau sudah sadar rupanya! Kau belum mati, Malik! Ini di rumah!” jawab kakeknya.
“Ah! Syukurlah, Andung! Aku mau belajar agama sama Ayah!”
“Nantilah, kalau kau sudah sembuh benar! Kau sudah pingsan selama dua hari!”
“Apa ayah mau mengajar awak? Dia khan sengaja pergi meninggalkan awak!”
“Husy! Jangan bilang begitu! Ia pergi khan untuk berdakwah!”
“Tapi awak merasa dia sengaja meninggalkan awak!”
“Indak betul itu! Besok Andung akan tulis surat ke ayahmu!”
Bersambung