PENDAFTARAN
"Mahen, tunggu!” cegahku padanya yang bergerak cepat saat akan meninggalkanku hari itu.

Dia berbalik, segera aku menyusulnya.

“Ini,” kataku sambil menyodorkan secarik robekan kertas.

“Apa, ini?” katanya sambil memperhatikan kertas yang kuberikan padanya. Itu robekan print out billing wartel, yang tertera nomor rumahku. Kemarin aku sengaja menelpon ke rumah agar nomor telepon itu tercetak di kertas yang memang ingin kuberikan padanya.

Aku tak menjawab, hanya menatap dirinya yang berdiri di depanku menatap robekan kertas itu dengan seksama.

“Ini … nomor telepon rumahmu?” katanya setengah tak percaya.

Aku mengangguk sambil tersenyum malu-malu. “Jadi, nanti kalo kamu ada yang ingin dibicarakan, cukup telepon saja. Tidak harus jauh-jauh menemuiku di sini, seperti ini. Kasihan juga di kamunya, kalo tiap ingin bertemu harus pake acara lari jarak jauh segala.” Dia terkekeh mendengar argument dariku. ”Lagian,” kataku melanjutkan percakapan, “setelah ini, mungkin kita tidak bisa bertemu lagi di sini, karena libur, kan?” 

“Oke, aku mengerti. Terima kasih banyak, ya.” Dia pun kembali melanjutkan langkahnya, setelah sebelumnya memasukkan terlebih dahulu robekan kertas yang kuberi ke dalam saku celana. Bergerak cepat seperti biasanya meninggalkanku yang masih menanti Papa mengambil nilai hasil ujian akhir sekolah di kantor. Semakin cepat dia menghilang, aku merasa ada sebagian diriku yang ikut terbawa.

Itu kejadian dua hari yang lalu, tepatnya di hari Sabtu, kemarin. Kini, hari Senin pagi, akau malah sibuk mematut diri di depan cermin. Rencananya hari ini, aku dan Mahen akan mendaftar di sekolah untuk program unggulan. Bertemu dengannya merupakan hari yang kunantikan, aku ingin bisa tampil sempurna di hadapannya.

Bolak balik ganti pakaian, ini salah, itu salah. Ah, sepertinya pakaianku sedikit yang bisa dikenakan.

Kembali aku mematut diri ini, tak sadar memperhatikan semua yang kupunya. Tubuh mungil dengan tinggi sekitar seratus lima puluh lima itu kini terbalut kaos putih, celana jins dan cardigan dengan warna senada celana, biru laut. Muka kecil, imut, dengan hidung mancung dan mata belok. Rambut lurus sedikit bergelombang kuikat satu. Dilengkapi dengan kulit putih, menurutku sih sempurna. Ah, Mey, kau terlalu banyak menghayal sekarang. Tapi, menurut Mama, aku adalah wanita tercantik di dunia. Ya iyalah, ya. Tidak ada orang tua yang tidak menganggap anaknya sendiri itu tidak sempurna. Apalagi aku, yang notabene adalah seorang anak tunggal. Terkekeh sendiri beradu argumen dengan bayangan.

Setelah tersenyum puas melihat penampilanku di pantulan kaca, aku segera keluar kamar menemui Mama tercinta yang tengah menyiapkan sarapan untuk keluarga.

“Eh, Mey. Jadi mau daftar hari ini?” Tanya Mama saat aku menghampiri ruang makan.

“Iya, Ma,” kataku singkat.

“Ditemani Papa, ya.” 

“Uhuk.” Aku yang tengah minum susu coklat hangat jadi tersedak. “Gak—gak usah, Ma. Biar Mey sendiri saja.”

“Eeeh, nanti ada sesuatu yang kamu butuhkan, Papa kan bisa bantu.” Mama beralasan.

“Ta—tapi, Ma?”

“Kenapa? Kamu malu sekarang kalo dianter Papa?” selidik Mama langsung menghujam ke manik netraku.

“eng—enggak, sih. Tapi ….”

“Ma, sudah. Biarlah. Kalo memang Mey ingin daftar sendiri, ya silahkan. Kita berikan kepercayaan padanya. Dia sudah SMA sekarang ini, bukan anak kecil kita lagi,” kata Papa membelaku.

Yes. Dalam hati aku bersorak. Mama tak akan lagi membantah jika Papa sudah turun tangan.

“Tapi, inget ya, Mey. Jangan macem-macem.”

“Yaelah, Mama. Mey kan mau daftar, bukan mau ngapa-ngapain,” selorohku sambil tertawa.

Mama dan Papa sejenak saling berpandangan, kemudian Papa kembali sibuk dengan korannya, dan Mama dengan masakan. Aku terdiam larut dalam lamunan.

* * *

“Hei, Mey. Sini!” Mahen melambaikan tangan saat aku baru saja turun dari angkutan umum. Kurapikan kembali anak-anak rambut yang bermain dihempaskan angin, keluar dari bando senada warna dengan jeans yang dipakai. Melalui pantulan bayangan yang ada di kaca angkot.

Setelah merasa cukup rapi, aku melangkah mendekatinya. “Sudah lama?” tanyaku basa-basi, berharap dia menyadari sesuatu dengan diriku.

“Lumayan, sih. Yuk, langsung masuk, sudah banyak orang yang mendaftar. Takutnya, kehabisan formulir,” katanya sambil ngeloyor masuk melalui pintu gerbang sekolah yang terbuka lebar.

Aku mendecak, sebal. Ringan kuhempaskan kaki ke tanah. Capek-capek dandan pilih baju buat dia, dinilai saja tidak.

“Mey, kenapa?” Katanya, saat menyadari aku tak kunjung mengikuti langkahnya.

“Eng-enggak apa-apa.” Dasar cowok gak peka. Setengah berlari aku mengejar langkahnya.

Sekolah yang cukup besar, kami masuk melalui gerbang utama. Terus berjalan, aku melihat mushola kecil namun terlihat asri dan adem di sudut dekat gerbang. Lanjut, perpustakaan, jajaran ruang kelas, kami naik. Rupanya kontur tanah di sekolahan ini tidak rata, jadi ada deretan kelas di arah yang lebih tinggi.

Kelas di tengah ini unik, menurutku. Karena masih semi permanen. Setengah di semen, sisanya ke atas masih kayu, di cat putih semakin membuatnya terkesan klasik.

“Kamu, tunggu di sini, ya,” kata Mahen sambil menyuruhku duduk di bangku yang ada di depan salah satu kelas. Aku mengangguk, masih sibuk memindai sekeliling.

Deretan kelas ini di pisahkan oleh sebuah lapangan rumput yang lumayan luas. Mungkin dipergunakan sebagai lapangan upacara, begitu menurutku. Karena, jelas. Ada tiang bendera, serta sedikit podium untuk Pembina acara bisa berdiri. 

Sekolah yang nyaman, begitu setidaknya aku berpikir saat ini.

“Ini.” Tiba-tiba Mahen datang mengangsurkan beberapa lembar kertas padaku. Aku terima meski sebenarnya ingin bertanya. “Itu formulir untuk kita mendaftar di kelas unggulan, syukurlah masih terkejar. Itu formulir terakhir, lho.”

“Ehm,” kataku sambil mulai sibuk memperhatikan lembar demi lembar yang tadi diberikannya.

“Kamu … memperhatikan apa, tadi?” tanyanya yang kini duduk berdampingan denganku di kursi depan kelas ini.

“Hanya memperhatikan sekolah ini secara seksama.”

“Yup, inilah tempat yang akan menaungi kita dalam waktu yang cukup lama nantinya. Perhatikan baik-baik dan simpan di dalam memori, kelak itu akan kita lukiskan menjadi sejarah.”

“Berpuisi, Pak?” Kataku menggodanya. Dia tidak menanggapi.

“Tiga tahun ke depan, kita akan bersama. Baik-baik denganku, ya,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata padaku.

“Apaan, sih,” kataku sambil memukul pundaknya lembut.

“Eh, eh.  Sudah berani pukul-pukul,” katanya terperangah.

“Ma—maaf. Gak sengaja,” kataku sambil pura-pura mulai mengisi formulir yang sedari tadi kugenggam. Pipiku memanas. Ah, apa ini.

Dia terkekeh. ”Gakpapa, kok. Santai saja, aku rela kamu pukuli terus tiap hari nantinya.”

“Sst … jangan berisik. Aku gak bisa konsentrasi buat ngisi formulir ini,” protesku pura-pura mendelik, tapi dalam hati ada yang mengalir dan terasa hangat.

“Hei, mukamu merah, tuh.” Mahen tergelak melihatku salah tingkah. Aku benar-benar mati kutu saat ini.

[Bersambung]

Insert Foto : SMA 1 Baturaja Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan yang dijadikan latar belakang penulisan, dan sekilas diceritakan di naskah. Foto diambil tahun 1999.

Komentar

Login untuk melihat komentar!