BERKAS MASA LALU
Akhirnya sampai juga, setelah terguncang di dalam mobil travel selama hampir lima jam. 

Turun dan segera mengambil barang-barang, tak lupa kuucapkan terima kasih kepada sopir travel yang telah mengantarku dari Palembang hingga sampai di depan rumah orang tua di Baturaja. 

Sebuah kota yang cukup jauh dari kota besar Provinsi Sumatera Selatan.

“Ya Allah, Mey, kenapa gak minta dijemput saja sama Papa?” Tergopoh Mama menyambut dengan penuh cemas kala aku baru saja mendorong pintu gerbang. Setengah berlari dia menyongsong kepulanganku.

Kucium telapak tangannya khidmat. “Gakpapa, Ma. Takutnya Papa sedang sibuk di masa sekarang,” kataku sambil tersenyum.

“Iya juga, sih, Memang saat ini Papamu tampaknya uring-uringan, mungkin juga sedang banyak pikiran menghadapi urusanmu ini,” katanya. 

Wanita pujaanku tersebut reflek mengambil tas yang tengah kuseret. “Ah, gak usah, Ma. Biar Mey saja,” kataku menolak halus.

“Mandi, dulu. Tuh, badanmu bau,” katanya bercanda, sambil memencet hidungnya sendiri menandakan memang ada aroma tak sedap dari tubuhku.

“Iyalah, Ma. Lima jam dalam travel,” kataku sambil marapikan jilbab besar yang tampak sedikit kusut karena tertidur di dalam mobil tadi.

“Makanya, minta Papamu untuk jemput,” kata Mama masih tak mau kalah.

“Ah, gakpapa, Ma. Kan, Mey bukan anak kecil lagi, masa segitu saja takut. Sesekali, sambil mengingat masa muda, naik travel sendiri pergi ke Palembang,” kataku, beliau tertawa.

“Eh, jam berapa dari Padang?”

“Ba’da Shubuh, Ma. Transit dulu ke Palembang,” kataku menjelaskan.

“Ya sudah, masuk, mandi. Mama siapkan teh hangat, sebentar.”

“Iya, Ma. Mey masih mau di sini dulu, rindu dengan suasana rumah ini,” kataku sambil mengedipkan sebelah mata padanya, kemudian duduk di bangku teras.

Kuperhatikan sekeliling, rumah ini tidak ada yang berubah. Masih asri dan sejuk di mata, dengan pepohohan yang menghias di sekeliling rumah, pohon mangga besar di depan dekat pagar, dulu tempat aku dan teman-teman suka duduk, bercengkrama sambil membuat rujak, di kala pohon tersebut berbuah.

Puas memanjakan mata menarik memori kenangan akan rumah ini, maka aku beranjak menuju kamarku. Perlahan kukuakkan pintunya, sekilas menyapu sekeliling. Tak ada yang berubah setelah beberapa tahun tak kembali ke sini.

Ruangan yang selalu bersih dan rapi, pasti disapu dan dibersihkan oleh Mama. Hanya saja, letak barangnya tidak berubah, mungkin sengaja dibiarkan oleh Mama, untuk pengobat rindunya kepada anak semata wayangnya ini.

Merebahkan tubuh di kasur yang telah lama tak kutiduri. Rasa nyaman serta capek akibat perjalanan membuatku diserang kantuk yang hebat. Tak lama aku sudah tidak ingat apa-apa lagi, larut menuju alam mimpi.

* * *

“Ada lelaki yang datang ke rumah ingin melamarmu, Nak.” Itu percakapan melalui sambungan telepon dengan Papa beberapa hari yang lalu.

“Oh, ya. Siapa, Pa?” tanyaku sedikit gugup, di sela-sela kesibukanku mengecek daftar nama pasien yang tengah kutangani di salah satu Rumah Sakit di Kota Padang ini.

“Orangnya mungkin kamu kenal.”

“Ya, sebutkan saja, Pa,” kataku masih dengan hati yang tak menentu. Ini sebuah peristiwa besar, yang akan segera mengubah hidupku, tentu saja.

“Nanti saja. Sekarang Papa ingin bertanya, bagaimana jawabanmu?”

Hening, aku mencoba mencerna perkataan Papa.

“Mey … kamu masih di situ?” pertanyaan dari Papa sadarkanku dari lamunan.

“Ehm, Mey sih nurut saja apa kata Papa. Jika Papa bilang lelaki itu yang terbaik, maka Mey akan terima.”

"Kamu harus pulang, ya, Nak. Usahakan Sabtu ini sudah di rumah, karena orang tua dari lelaki itu akan datang ke rumah kita untuk memintamu langsung kepada Papa.”

“Ap—apa, Pa? secepat itu?” kataku tergeragap, kaget tak menyangka akan secepat itu terjadi.

“Lalu, apalagi yang akan kamu tunggu? Mengingat umurmu sudah hampir kepala tiga. Atau, ada lelaki yang lain yang ingin kau tuju?” selidik Papa.

“Eng—enggak, sih. Bukan begitu maksudnya,” kataku mengambang.

“Pulang ya, Nak. Nanti kau sendiri yang akan memutuskan. Saat bertemu lelaki tersebut dan keluarganya, kau sendirilah yang akan menilai. Karena menikah adalah sebuah ibadah panjang yang akan kau jalani, yang akan menjalaninya adalah engkau sendiri, bukan Papa ataupun Mama. Kau anak satu-satunya yang kami miliki. Papa tidak ingin jika kau sampai tidak bahagia. Karenanya, keputusan akan Papa serahkan sepenuhnya padamu.”

“Ehm, baiklah, Pa. Tapi, siapa yang ….”

Tut … tut ….

Sambungan telepon di seberang langsung diputus. Begitu juga rasa penasaran tentang siapa sosok lelaki yang akan meminang. 

Begitulah Papa, hanya bicara seperlunya saja, tidak pandai untuk berbasa-basi, meski cuma kepada anaknya.

Dan, di sinilah aku saat ini, kembali ke Baturaja, kota kecil sejuta cerita. Tempat aku dilahirkan, besar dan dewasa, sebelum akhirnya memutuskan untuk kuliah di Padang, menjadi seorang dokter dan mengabdikan diri dan pekerjaanku di kota yang terkenal akan makanan rendangnya tersebut.

* * *

“Mey. Hei … dicari kemana-mana, ternyata tidur.” Tepukan lembut itu bangunkan aku dari mimpi.

“Bukannya segera mandi, malah tidur,” kata Mama sambil tersenyum, aku hanya bisa nyengir mendengar celoteh Mama. “Sudah mau jadi istri orang masih saja kelakuanmu seperti itu,” cecarnya lagi.

“Iih, Mama, Mey kan, capek,” kataku pura-pura merajuk.”Eh, siapa sih yang akan datang, Ma?” selidikku.

Mama cuma angkat bahu.”Mama gak kenal, yang pasti anaknya baik, ramah, sopan.”

“Cakep, gak?”

“Ish, ni anak.”

“Ya, kan. Perlu juga tau, Ma,” protesku.

“Ehm, lumayanlah ya … selintas mirip Andy Arsil,” kekeh Mama. “Eh, sudah buruan mandi, terus salat Ashar.”

“Emang sudah adzan ya, Ma?” tanyaku ragu.

“Ya iyalah, sudah dari tadi.”

“Kok, aku gak denger. Masjid Jami’ yang deket sini masih kan, Ma?”

“Berarti tidurmu pulas sekali, sampai adzan segitu kuatnya kau tak dengar,” Mama mencebik, kemudian ngeloyor keluar.

“Ma …,” panggilku.

“Apa lagi?” kata Mama sambil melongokkan kepala masuk ke dalam kamar.

“Handuknya?” kataku nyengir.

“Di dalam lemari,” katanya sambil menunjuk lemari yang terletak di sudut ruangan.

“Andy Arsil, ya …,” kataku lirih kemudia bangkit, dan segera menuju lemari yang di maksud. 

Kubuka perlahan lemari yang penuh kenangan, tempatku menaruh pakaian, buku, juga semua barang-barang.

Mengambil handuk berwarna biru donker dari rak yang paling atas. Namun, gerakanku seketika terhenti, kala menatap sebuah potret yang terbingkai figura rapi berwarna hitam. Dulu sengaja kuletakkan ke arah yang agak dalam, ternyata masih berada di tempatnya semula. 

Foto itu diambil kala aku memenangkan olimpiade sains yang kuikuti mewakili sekolah saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, masih dikepang dua, tersenyum manis memegang piala.

Di sampingku, yang juga tampak tengah tersenyum memegang piala sebagai juara kedua adalah … Mahendra Prayoga. Lelaki spesial dari masa lalu. Ingatan dan kenangan seketika melayang menuju beberapa puluh tahun yang silam.

[Bersambung]


Komentar

Login untuk melihat komentar!