Besok adalah hari pernikahan adik iparku. Malam ini aku dipanggil ibu mertuaku ke kamarnya.
“Kamu pakai kebaya ini besok. Bekas Mama,” ucap ibu mertuaku.
Kuterima kebaya butut dari ibu mertua.
“Ta—tapi, Ma, ini kan model jadul? Lagipula ukurannya kebesaran buatku,” kataku sambil memandangi baju kebaya warna ungu tua dengan bordiran bunga di sekitar kerahnya, lengkap dengan bawahannya.
“Terus mau pakai apa? Memangnya kamu punya uang untuk beli seragaman kayak gini?” tanya ibu mertua dengan sangat sinis kepadaku.
Ia menunjukkan gaun pesta yang terbuat dari kain satin dikombinasikan dengan brokat warna pink yang tengah dicobanya, sambil memutar tubuh di depan cermin.
Aku hanya bisa melihat gaun cantik itu, tapi tidak bisa memilikinya. Padahal, aku ingin sekali memakainya. Gaun itu adalah seragam keluarga untuk dipakai di resepsi pernikahan adik iparku besok.
“Ma, kenapa aku gak dibelikan gaun? Aku juga kan anggota keluarga?” tanyaku, memberanikan diri.
Mama mendengkus.
“Memangnya siapa yang dibeliin? Semua anggota keluarga beli sendiri-sendiri, kok. Mereka nitip uangnya ke Mama. Jadi kamu jangan merasa Mama pilih kasih, ya! Kalau kamu memang ingin pakai seragam, ya kasih uangnya dong ke Mama!” jawabnya setengah membentakku.
“Tapi, Ma. Mas Ardi kan sudah ngasih uang ke Mama sepuluh juta rupiah, katanya itu untuk membeli seragamku juga, kan? Masa Mama lupa? Lagian aku kan gak kerja, gak punya uang sendiri.” Aku membalas ibu mertuaku dengan terpaksa.
“Mana bisa, Yuri! Uang dari suamimu itu akan Mama gunakan untuk biaya resepsi pernikahan Rina! Gak ada jatah buat beli seragammu! Sudah, sana kamu kembali ke kamarmu, besok pokoknya kamu harus pakai kebaya itu! Hargai pemberian Mama. Jangan mengabaikan pemberian mertuamu kalau gak mau dicap sebagai menantu tak tahu berterimakasih!” tegasnya.
Yang benar saja aku harus pakai kebaya butut dan lusuh saat resepsi pernikahan adik iparku besok? Di saat anggota keluarga yang lain tampil dengan gaun pesta yang kekinian, masa aku harus berdandan layaknya wanita di jaman kerajaan?
Aku pun keluar dari kamar ibu mertuaku sambil menunduk dan hampir meneteskan air mata. Teganya dia padaku. Padahal suamiku telah menyumbang uang sepuluh juta, apa salahnya jika ibu mertua membelikanku sehelai gaun seharga tiga ratus ribu saja?
Pokoknya aku harus membicarakan hal ini dengan Mas Ardi. Aku akan memintanya membelikanku gaun malam ini juga!
“Mas, belikan aku gaun,” pintaku saat tiba di kamar. Suamiku tengah mencoba jas nya untuk acara besok.
“Bukannya Mama udah belikan untukmu?” tanya suamiku sambil berbalik menghadapku.
“Enggak. Mama bilang uang yang dari kamu itu untuk biaya resepsinya Rina,” jawabku. “Mama malah ngasih aku kebaya butut ini. Masa aku harus pakai ini? Makanya, sekarang Mas beliin aku gaun, yuk, kita ke toko baju. Mumpung belum terlalu malam.”
“Tapi Mas udah gak punya uang sepeser pun, Dek. Kan Mas baru aja di PHK. Dan tabungan kita yang sepuluh juta itu sudah dikasihkan semuanya kepada Mama,” kata Mas Ardi.
“Mama kamu jahat banget sama aku, Mas. Dia gak mau beliin aku gaun. Terpaksa deh aku pakai kebaya butut ini besok!” ucapku ketus dan memasang muka masam pada Mas Ardi.
Aku sempat protes kenapa Mas Ardi memberikan seluruh uangnya pada Mama. Mas Ardi kan kena PHK. Bagaimana untuk kebutuhan kami selanjutnya?
“Tenang aja, kita kan tinggal serumah sama Mama. Mama janji akan memenuhi kebutuhan kita setelah ini. Udah gak usah dipikirin,” jawab Mas Ardi saat aku protes waktu itu.
Sekarang lihat apa buktinya! Beliin gaun seragam buatku aja Mama pelit!
Apa jadinya nanti? Kalau kebutuhanku diatur ibu mertua, mungkinkah nanti aku harus mengemis pada ibu mertuaku sendiri?
Login untuk melihat komentar!