Pengantin Pria

“Yuri! Kamu jangan duduk aja. Itu piring-piring belum dipindahin ke meja prasmanan!” 

Resepsi pernikahan telah tiba. Aku mengantre di kamar rias, bersama anggota keluarga yang lain. Kami menunggu giliran untuk dirias oleh make-up artis. Namun, Ibu Mertua yang tengah duduk di depan cermin dan dirias oleh sang MUA, tiba-tiba menyuruhku melakukan pekerjaan.

“Tapi, Ma, sebentar lagi kan giliranku yang dirias? Lagipula seharusnya itu kerjaan petugas catering?”

“Kamu kebiasaan ya, suka melawan! Cepat lakukan saja perintah Mama!” katanya sedikit membentak.

“Bilang aja Mama gak rela aku tampil lebih cantik dari anakmu! Buktinya, Mama menyuruhku pakai kebaya butut dan sekarang nyuruh aku mengelap piring agar aku tak punya waktu untuk dirias!” umpatku dalam hati.

Aku pun pergi ke dalam gedung untuk melaksanakan perintah Ibu Mertua. Banyak sekali tumpukan piring yang harus kupindahkan ke atas meja. Katanya menantu Ibu Mertua itu orang kaya raya dan memiliki posisi penting di sebuah perusahan, sehingga tamu yang diundang pun banyak sekali.

Piring ini tak hanya banyak, namun juga kotor. Sehingga aku harus mengelapnya dengan kain basah terlebih dahulu, sebelum menyusunnya di atas meja. Aku memperhatikan sekeliling, ternyata ada petugas catering tengah menyiapkan menu prasmanan. 

“Mbak, tolong dong lanjutkan pekerjaan saya. Sebentar lagi acara dimulai, dan saya belum berdandan,” kataku pada sese-Mbak itu. Namun ia menolak perintahku.

Aku menghembus napas dengan kesal. Semua petugas catering menolak untuk membantuku.

“Kalian kenapa sih gak ada yang mau bantu saya? Saya menantu di keluarga ini, lho! Secara gak langsung saya ini ‘Tuan’ kalian!” kataku, memarahi mereka.

“Maaf, Non. Bukannya kami gak mau bantu, tapi kami disuruh oleh Nyonya agar tak ikut campur dengan pekerjaanmu,” jawab salah satu dari mereka.

Aku meremas jari-jemari tanganku. Perlakuan Ibu Mertua padaku sudah sangat keterlaluan. Aku tidak diperlakukan selayaknya menantu. Dari dulu, dia memang tak suka padaku. Hanya karena wajahku lebih cantik daripada anak perempuannya—Rina.

“Ardi, kenapa kamu bawa wanita ini ke rumah kita?” ucap Ibu Mertua saat pertama kali Mas Ardi memperkenalkanku kepada ibunya.

“Namanya Yuri, Ma. Dia pacar Ardi. Izinkan kami menikah ya, Ma,” jawab Mas Ardi kala itu.

 “Kamu bawa-bawa wanita cantik ke rumah? Mau  dijadiin istri, lagi! Bisa ngambek adikmu! Cari istri yang jelek saja!” 

Dengan segala daya upaya, Mas Ardi berhasil menikahiku. Berkat rasa cintanya yang teramat besar kepadaku. Namun, aku tak pernah diterima oleh keluarga besarnya. Bahkan sampai saat ini, aku masih terpinggirkan. Memang nasib jadi orang cantik, selalu saja ada yang iri. 

Maka bersyukurlah kalian yang tidak cantik, karena tak selamanya kecantikan membawa keberuntungan. Begitulah kira-kira kata mutiara yang pernah kudengar dari Pak Rio Teduh.

Tak terasa semua piring sudah berpindah ke atas meja. Ternyata, bekerja sambil melamun itu membuat pekerjaan cepat selesai. Nah, kalau yang ini adalah kata mutiara versiku. Tidak untuk ditiru. Hanya boleh dilakukan oleh profesional.

Gak usah ketawa, gak apa-apa. Emang garing, kok.

Suara berisik mulai terdengar dari arah kamar rias. Rupanya Ibu mertua dan anggota keluarga yang lain sudah selesai dirias dan mereka mulai bersiap untuk acara. 

Mereka berbaris di lorong gedung untuk menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Sementara aku yang masih lusuh cepat-cepat ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah itu, kukenakan kebaya butut dari ibu mertuaku.

Sebenarnya aku tak masalah jika harus berdandan sendiri. Aku ini kan mantan SPG kosmetik bermerk internasional milik mantan pacarku. Bermain dengan peralatan make up adalah keahlianku sejak dulu.

Lihatlah sekarang. Meskipun hanya memakai kebaya butut model jadul dan kebesaran pemberian Ibu Mertua, namun aku tetap bisa tampil mempesona. Karena selain memiliki wajah yang cantik, aku juga diberkati dengan bentuk tubuh ideal. Maklum lah, aku ini mantan model juga. Didandani dan memakai baju apapun, aku akan terlihat cantik.

Rambut panjangku kubelah tengah dan kubiarkan tergerai, aku hanya memakai jepit rambut di sisi kiri rambutku. Aku memoles wajah dengan make up natural. Dan dengan berlenggak-lenggok, aku berjalan menuju lorong gedung yang menuju keluar, hendak bergabung dengan yang lain menyambut mempelai pria.

Lorong ini bagaikan panggung catwalk bagiku. Semua orang memandang kagum. Terdengar pujian-pujian dari para tamu dan petugas catering di dalam gedung.

“Ayu tenan.”

“Cantik.”

“Wah, ini mah model internasional.”

Begitulah kiranya decak kagum orang-orang. 

Saat aku hampir tiba di ujung lorong, saat itu pula sang mempelai pria keluar dari mobil. Pria itu memakai baju pengantin adat Sunda berwarna putih bersih. Dari jauh saja sudah terlihat ketampanannya. Ia berjalan diapit kedua orangtuanya dan diiringi rombongan keluarga. Dari gaya berpakaian mereka, terlihat bahwa mereka berasal dari keluarga berkelas.

Lama-kelamaan, mempelai itu semakin mendekat. Aku hendak melipir ke pinggir untuk berbaris di samping suamiku, namun langkah kakiku tiba-tiba terkunci. Kini aku berhadapan dengan pengantin pria itu. Dan seketika mataku membulat sempurna.

“YURA?” 

Aku terkejut saat mengetahui bahwa calon suami adik iparku itu adalah Yura.


Komentar

Login untuk melihat komentar!