Yura

“YURI?”

Yura—sang mempelai pria— tak kalah terkejutnya, ia menarik kembali tangan yang tadinya terulur hendak menyalami ibu mertuaku. 

“Jadi kamu pengantinku?” lanjutnya dengan senyum merekah. Terlihat dari ekspresi di wajahnya, Yura tampak bahagia sepenuh jiwa. 

Meski sebenarnya aku pun merasa senang bisa melihat Yura lagi, namun aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan adik iparku ini. 

Aku berdiri di lorong ini kan sebagai anggota keluarga yang menyambut kedatangannya. Lagipula, aku sudah bersuamikan Mas Ardi. Kenapa Yura menganggapku sebagai pengantinnya?

“Yuri, kemarilah,” ucap Yura seraya maju selangkah mendekat padaku. Dan aku mundur selangkah darinya, dengan perasaan yang masih terkejut sekaligus senang.

“Yura! Pengantinmu bukan yang itu!” kata Tuan Aruka—ayahnya Yura.

“Lalu siapa, Pa? Hanya wanita secantik Yuri lah yang pantas menjadi pengantinku. Lihatlah, meski pakai kebaya butut dan riasan seadanya, Yuri tetap cantik. Dia selalu mampu mengunci perhatianku.”

Tuan Aruka melihatku dari ujung rambut hingga kaki, ia memicingkan mata seperti sedang memindai sesuatu. Lalu, Tuan Aruka bicara pada ibu mertuaku. “Bu Sukma, benar yang ini anak perempuanmu?” tanya Tuan Aruka sambil menunjukku dengan dagu.

“Bu—bukan. Dia menantu saya,” jawab Ibu Mertua. Ia menunduk, tak berani menatap Tuan Aruka karena takut.

Mas Ardi yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini menarik tanganku. Dia menyembunyikanku di balik punggungnya. “Apa-apaan ini? Kalian sedang membicarakan apa? Yuri adalah istriku! Yang akan menikah dengan anak Anda itu adalah adik saya yang bernama Rina!” ucap Mas Ardi dengan lantang.

Semua orang sangat terkejut karena Mas Ardi sangat berani berteriak lantang di depan keluarga Tuan Aruka yang terhormat.

Rombongan keluarga Tuan Aruka mulai membubarkan barisan dan berbisik satu sama lain, begitupun dengan anggota keluarga suamiku. Sementara para tamu undangan yang sudah duduk rapi di dalam ruangan, menghambur ke lorong, menonton keributan yang terjadi.

“Lho? Bener kok, ini orangnya, Pa. Yang waktu itu fotonya ditunjukkan pada kita pas hari perjodohan,” kata Nyonya Jane pada suaminya. Ia memegang fotoku.

Kulihat Ibu mertua semakin gugup

“Kalau dia menantumu, kenapa kamu menjodohkannya dengan anak kami? Kamu  mau menipu kami ya, Bu Sukma?” cecar Tuan Aruka.

“Ma—maaf, Tuan. Bukan begitu maksudnya. Saya memang akan menikahkan anak perempuan saya dengan Nak Yura, anak saya sudah bersiap duduk ke pelaminan,” jawab Ibu Mertua.

“Lalu kenapa waktu perjodohan yang kamu perlihatkan malah foto menantumu!” ucap Tuan Aruka dengan nada kesal.

Ibu Mertua hanya diam dan kebingungan. 

“Tolong jelaskan, Bu Sukma!” pinta Nyonya Jane.

Ibu Mertua bicara sesuatu pada Nyonya Jane—ibunya Yura—ketika Mas Ardi tiba-tiba membawaku lari dari gedung resepsi, dengan mengendarai mobil. 

Yura mengejarku, ia lari di hari pernikahannya.

“Siapa sebenarnya calon suami adikku itu? Kenapa dia kenal denganmu?” tanya Mas Ardi sambil mengemudikan mobil dengan kencang.

Aku takut untuk menjawab pertanyaannya. 

“Jawab!” titah Mas Ardi tak sabaran. “Berani-beraninya dia menyukai istriku! Kalau tahu begini, aku tak akan mengizinkan adikku menikah dengan laki-laki itu!”

“Aku juga gak ngerti kenapa bisa begini jadinya, Mas. Memangnya adikmu menikah karena dijodohkan, ya?” tanyaku. Kesempatan ini kugunakan untuk mengalihkan perhatian Mas Ardi tentang Yura.

“Iya.”

“Kok antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling kenal? Aneh,” lanjutku. 

Yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Aku masih menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi, dan skenario apa yang telah disusun Ibu Mertua hingga ia memperlihatkan fotoku saat hari perjodohan anak perempuannya.

Yura yang mengendarai mobil putih berhiaskan karangan bunga, sejak tadi mengejar kami. Dan kini posisi kami sejajar. Mas Ardi jadi semakin geram, ia semakin mengencangkan laju mobil, mendahului Yura.

Aku jadi panik. Setelah ini, Mas Ardi pasti akan terus-terusan mempertanyakan Yura. Kalau sudah cemburu, Mas Ardi galak banget. 

“Kenapa dia terus-terusan ngejar kamu?” tanyanya lagi.

“Gak tahu,” jawabku.

“Kalian saling kenal, kan?”

Aku hanya menunduk. “Plis, jangan nanya melulu!” kataku dalam hati.

“Hey, jawab!” Mas Ardi berteriak di balik kecepatan laju mobil yang dikemudikannya. Ia berteriak sangat keras sekali padaku.

Mas Ardi membelokkan mobil ke arah kiri, masuk sebuah jalan kecil. Sementara Yura mengambil jalan lurus, mungkin dia tak menyadari mobilku berbelok.

Kami lolos dari kejaran Yura dan berhenti di sebuah saung yang terletak di pinggir jalan kecil ini.

“Keluar!” titah Mas Ardi, wajahnya berubah jadi garang.

Aku menuruti perintah Mas Ardi. Jangan tanya bagaimana bingungnya aku saat ini.


Komentar

Login untuk melihat komentar!