KEHORMATAN SEHARGA TESTPACK
Bagian 4
Empat bulan yang lalu.
Senja masih saja terkapar di tempat tidur. Tubuhnya lemas sekali tak berdaya. Mbok Nah yang khawatir mengajak Senja untuk memeriksakan diri ke klinik. Meski awalnya sempat menolak, akhirnya Senja mengindahkan ucapan Mbok Nah.
Klinik merujuk untuk ke bidan karena rumah sakit cukup jauh. Ada tanda-tanda kehamilan pada sakit Senja.
"Hasil Testpacknya dua garis, Alhamdulillah ibu hamil," ucap bidan.
Senja diam, ia masih belum percaya. Benarkan setelah delapan tahun kini ia melihat dua garis jelas, dengan waktu sepanjang itu telah banyak usaha yang dilakukan. Entah berapa kali ia masuk rumah sakit, berganti dari dokter satu ke dokter lainnya, entah berapa pula uang yang sudah dikeluarkan, yang pasti bukan jumlah yang sedikit.
Setiap cek, permasalahan memang selalu mengarah pada dirinya, mulai dari diagnosa sel telur yang kecil, hingga sebelah tubanya tersumbat. Sementara, Bara dinyatakan normal dan baik-baik saja.
Pada akhirnya Senja hanya bisa menangis disetiap malam-malam panjang penuh penantian. Terkadang, Senja lebih bisa menguasai diri tentang takdir ya Allah berikan. Tapi, seringkali ia tak kuasa menahan pedih ketika orang lain yang mempermasalahkan takdirnya.
"Saya beneran hamil, Bu?"
"Iya, Selamat ya. Kapan terakhir haid? Biar dihitung HPHTnya."
Senja menggeleng pelan. "Saya sudah tidak datang bulan sekitar lima bulan ini."
"Kalau begitu, lebih baik Ibu langsung ke rumah sakit dan di USG, agar lebih jelas."
Tanpa pikir panjang, Mbok Nah segera mengajaknya ke kota. Mereka tidak berdua, Satya yang memiliki kendaraan diminta tolong untuk mengantar. Mereka pergi bertiga.
Sesampainya di tempat yang dituju, segera Senja melakukan pemeriksaan. Hasil USG menyatakan, janinnya sudah berusia 12 minggu, itu berarti ketika Bara mengucap kata cerai, kandungannya sudah masuk dua bulan. Senja merasa aneh, ia tidak merasakan apa pun saat itu. Tapi justru tumbang saat di rumah Mbok Nah.
"Aku tebus obat dulu ya. Kalian tunggu di sini saja," ucap Satya, kemudian ia berlalu.
"Alhamdulillah, Neng. Doamu terjawab."
Senja mengulum senyum seraya memeluk Mbok Nah, ada bahagia tidak terkira. Namun, pada di sisi lain sesuatu hal yang membuatnya bersedih, Bara tidak ada di sampingnya ketika kabar bahagia ini hadir.
***
.
.
Kembali pada pertemuan Bara dan Senja setelah lima bulan berlalu. Keduanya duduk di sebuah kedai makanan. Langit siang ini nampak kurang bersahabat dan mendung.
"Jadi kamu benar hamil?" Bara kembali meyakinkan.
"Seperti yang Mas lihat," jawab Senja tenang.
Pria itu tersenyum lebar. "Aku akan menjadi Ayah."
Ada yang aneh, kenapa Senja tidak mampu merasakan kebahagiaan Bara. Padahal, peristiwa ini yang sudah dinanti sekian lama.
"Rencananya, setelah melahirkan aku akan datang menemuimu, Mas. Akan ku urus perceraian kita. Sehingga langkah kita berdua tidak akan lagi berat ke depannya."
Senyum lebar itu seketika memudar. Bara datang untuk memperbaiki kesalahannya, bukan ingin berpisah. "Tapi aku tidak ingin bercerai."
Senja memalingkan wajah. Tenggorokannya terasa sakit seperti ada sesuatu yang menahan. "Aku mencarimu untuk membawamu pulang, dan berjanji memberikan Surga yang tidak pernah kamu temukan."
Senja menghela napas panjang, ia memejamkan matanya sesaat. Membayangkan pulang dan kembali bertemu dengan ibu mertuanya, rasanya ia tidak sanggup saat ini. Ia merasa tidak sekuat itu. Sungguh ... Senja sama sekali tidak membenci, hanya saja luka itu belum mengering.
"Aku akan membawamu keluar dari rumah dan kita akan hidup bertiga, bahagia. aku juga janji akan lebih dalam lagi belajar tentang agama, sehingga rumah tangga kita memiliki pondasi yang kuat."
"Kamu tahu, Mas? Banyak hal yang perlu kamu benahi! Sikapmu sebagai laki-laki, caramu berpikir, dan hal lainnya yang seharusnya ada. Aku tidak pernah melarangmu untuk berbakti, tapi kamu pun harus paham peranmu sebagai suami."
"Aku tahu, aku menyesal," jawab Bara sungguh-sungguh.
"Untuk saat ini tolonglah mengerti, berikan aku waktu. Biarkan aku menikmati zona nyaman, aku belum pernah merasakan setenang sekarang selama delapan tahun terakhir, Mas."
Tiba-tiba gerimis datang, hening mulai tercipta. Bara tidak ingin mengindahkan permintaan Senja, namun untuk memaksa pun ia tidak bisa.
"Teh, aku cari-cari, takutnya Teteh nyasar." Atikah datang memecah keheningan. Wajahnya terlihat panik. "Kita pulang, ternyata yang aku cari gak ada. Lagi pula takut semakin sore."
Bara beranjak. "Saya antar kalian."
Atikah baru menyadari keberadaan yang menurutnya pria asing , dengan heran ia membisik pelan pada Senja. "Siapa, Teh?"
Senja belum sempat menjawab pertanyaan Atikah. Ia membalas ucapan Bara. "Tidak usah, kami naik bus saja."
"Tidak, aku akan mengantarkanmu. Setidaknya aku tahu dimana kamu tinggal."
"Aku bilang tidak, Mas!"
Bara tidak menyerah, ia bersikukuh untuk mengantar, sikap kerasnya masih saja sama. Atikah mulai paham siapa sosok pria di hadapannya.
... Dan pada akhirnya, Bara berhasil mengantar Senja pulang ke rumah Mbok Nah.
****
.
.
"Bibi senang kamu sering main ke rumah akhir-akhir ini," ucap Mbok Nah sedikit menggoda Satya.
"Bibi menggodaku?" Satya tersenyum.
"Kamu tertarik pada Senja?"
Pria itu diam sejenak, lalu menyeruput susu jahe hangat yang Mbok Nah sajikan. "Aku hanya kagum. Menurutku, ia sosok yang luar biasa, aku belum menemukan yang seperti itu, Bi."
"Sejak kecil Senja memang berbeda dibanding saudaranya, ia lebih nurut, makanya jadi anak kesayangan." Mbok Nah tersenyum, matanya menerawang mengingat kilasan masa lalu tentang Senja kecil.
Satya tersenyum menanggapi ucapan sangat bibi.
"Jantung kamu berdebar ketemu dia?" goda Mbok Nah lagi.
"Melihat Bi Nah pun berdebar, saya ini kan masih hidup," jawabnya sambil tertawa kecil.
"Jodoh, Maut, Rezeki Allah yang mengatur."
Satya menghela napas panjang. "Semoga Senja selalu kuat mempertahankan akidahnya."
Tidak berapa lama terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah Mbok Nah yang cukup luas dengan ditanami sayuran dan bunga-bunga.
"Ada tamu, Bi?"
Mbok Nah menggeleng pelan. Ia tidak merasa akan ada yang datang hari ini. Wanita tua itu segera beranjak, diikuti Satya di belakangnya.
Turun dari sisi kiri Senja, kemudian mengikuti dari bangku kemudi Bara dan Atikah menyusul terakhir. Mbok Nah terdiam, ia mengamati sesaat wajah Bara, wajah yang masih ia kenali. Karena dulu saat menjalin kasih, beberapa kali Mbok Nah memergoki mereka berdua. Sementara, Satya diam tak bersuara, ia sudah bisa menebak siapa pria yang sedang bersama Senja.
"Sudah sampai di sini saja, Mas. Kamu tidak perlu khawatir aku aman bersama Mbok Nah. Sekarang pulanglah. Akan ku kabari nanti setelah anak ini lahir."
Buru-buru Senja masuk ke dalam rumah, ia tidak ingin lagi banyak bicara. Hari ini dirasa sudah lebih dari cukup. Bara tidak tinggal diam dan berusaha mengejarnya. Tapi Mbok Nah menahannya. "Dengarkan saja Senja dulu, ikuti keinginannya. Dia sedang mengandung anakmu, biarkan dia tenang. Rasa sakit yang menderanya cukup membuat Senja lelah dan terluka."
Wajah Bara nampak putus asa. "Sampaikan juga, Bi. Saya akan sering datang untuk melaksanakan tanggung jawab saya. Bukankah talak tidak sah bila ternyata Senja sedang mengandung?"
"Talakmu Haram bukan berarti tidak sah, " ucap Mbok Nah. Kemudian ia pamit untuk masuk. Bara hanya terdiam tanpa tahu harus melakukan apa. Senja sudah hilang dari pandangannya. Pintu pun sudah tertutup. Dengan langkah lemas, ia berbalik badan dan kembali masuk ke dalam mobilnya.
Sementara Senja duduk di sebuah kursi kayu dengan nuansa tempo dulu di ruang tamu, ia merasa tidak berdaya. Wajahnya tertunduk, bulir matanya kembali deras. Satya menghampiri dengan membawa segelas air hangat. "Minumlah dulu."
Dengan tangan yang bergetar Senja mengambil gelas itu, lalu meminum dengan perlahan. "Terima kasih."
"Dia suamimu?" tanya Satya tanpa basa basi.
Senja mengangguk pelan. Sedetik kemudian Satya duduk di hadapannya. Ia tidak lagi bertanya tentang Bara. Ia pun tidak tertarik untuk mengetahui itu.
"Kalau masih belum tenang, kamu bisa mengambil wudhu dan berdzikir, " ucapnya pelan.
Senja hanya mengangguk
"Saya tahu kamu berat melewati proses ini. Tidak semua wanita mampu, mungkin di luar sana banyak yang pada akhirnya memaki bahkan melakukan lebih dari itu, wajar saja, itu hanya bentuk kemarahan."
Senja menatap sesaat pada Satya, air matanya mulai kering walau hatinya belum membaik.
"Saya salut padamu, dipukul dengan sebegitu keras pun, kamu tetap menerimanya dengan kelembutan, dan saya lebih bangga lagi ketika badai sekuat itu datang tapi iman Islam-mu justru tidak goyah."
"Berulang kali saya goyah. Berulang kali juga saya berpikir Islam tidak pernah berpihak pada saya, padahal saya sudah memilihnya." Senja kembali menghela napas panjang. "Tapi, waktulah yang pada akhirnya membuat saya mengerti, Allah begitu baik, sangat baik."
Satya tersenyum, hatinya lega mendengar penuturan wanita di hadapannya. "Semoga istiqomah. Terkadang kita diuji dengan bertemu orang yang dzalim bukan untuk Allah hinakan, tapi agar kita mendapatkan kedudukan yang tinggi."
"Aamiin, terimakasih." Senyum tipis Senja mulai terukir di wajahnya yang merah karena menangis.
"Saya dititipkan Umi untuk memberikan ini." Pria itu Memberikan bungkusan berwarna putih. "Di dalamnya ada kurma dan minyak kelapa, orang Sunda biasa menyebutnya minyak keletik. Manfaatnya banyak, salah satu melancarkan persalinan."
Senja semakin yakin, ketika Allah mengarahkan langkahnya ke sini adalah untuk dipertemukan dengan orang-orang yang baik. "Terimakasih banyak ya, Mas. Tolong sampaikan pada Umi. Saya sangat bersyukur, tidak tahu harus berkata apa lagi, Mbok Nah, Wa Andung, Umi orang-orang yang sangat baik."
"Sama-sama," jawabnya dengan senyum yang khas.
Hening sejenak tercipta. Beberapa detik Senja menatap mata sendu pria di hadapannya. Kemudian ia cepat-cepat mengalihkan pandangan pada bungkusan putih. Dengan sedikit ragu mulutnya berucap, "Terimakasih juga untuk Mas Satya."
Satya mengangguk pelan, kemudian beranjak dan pamit untuk pulang. Punggung pria itu lambat laun hilang dari pandangan. Ada satu hal lagi yang Senja sadari kemudian, selama lima bulan ini Satya selalu ada kala dibutuhkan. Namun, ia tidak pernah menunjukkan sesuatu yang berlebihan. Semua pas sesuai porsinya.
Hujan mengguyur semakin deras, dingin kembali menyergap. Senja mengambil sebuah jaket untuk menghangatkan tubuh. Gerak lincah kembali terasa, rasanya tidak sabar segera berjumpa malaikat yang telah begitu lama dinantikan. Wanita itu mengelus perutnya pelan, kemudian berbincang kecil dengan sang buah hati.
"Makan dulu ya, Neng. Mbok sudah buatkan sayur sop pakai bumbu rempah," ucap Mbok Nah yang baru datang dari dapur.
"Iya, Mbok. Mbok sudah makan?"
"Belum, kita makan bareng ya."
Senja mengangguk, lalu bangkit dan menggandeng tangan Mbok Nah. Keduanya berjalan menuju dapur, tidak pernah ia berhenti bersyukur, Allah memberi Mbok Nah dalam kehidupannya.
Senja tidak begitu lahap, bukan karena masakan yang tidak lezat, tapi kejadian tadi masih terngiang. Ia tidak menyangka bila Bara akan datang dan mencarinya. Selama ini Senja selalu berpikir, suaminya itu bahagia telah ditinggalkan.
"Kamu masih kepikiran kejadian tadi?" Lagi, Mbok Nah selalu pandai menerka isi hati Senja.
"Iya, Mbok."
"Mbok mengerti. Tapi, jangan sampai semuanya menguras pikiranmu ya. Terkadang, memang dibutuhkan sebuah perpisahan untuk mengerti sedalam apa kita menyayangi seseorang. Mungkin itu yang sedang Bara resapi."
"Ternyata Mbok puitis juga," ucap Senja tersenyum.
"Jangan salah, Mbok ini suka nulis puisi."
Keduanya pun tertawa.
Dan hujan senja ini seolah menjadi sebuah tanda. Bila Senja akan selalu baik-baik saja. Bara, Meyra, Ibu mertua dan adik iparnya adalah hadiah dari Allah agar dirinya lebih tangguh.
Tetesan-tetesan air di balik jendela seolah membentuk bayangan yang pernah ia lihat sebelumnya. Bayangan saat Bara datang untuk memintanya menjadi pendamping hidup. Saat itu, tanpa ragu Senja mengangguk, meski ia tahu akan ada musibah besar setelahnya. Meski ternyata musibah itu bukan hanya datang dari keluarganya.