#Kehormatanku_Seharga_Testpack
Bagian 6
"Gendis?" ucap Senja lirih.
Wanita dengan gamis lebar itu hanya mematung. Menatap dengan lekat wanita yang memanggil namanya. Butuh beberapa waktu untuk mengetahui siapa sosok di hadapannya.
"Kak ... Sen ... ja," ucapnya ragu.
Mata Senja berkaca, ia yakin itu adalah Gendis adiknya. Segera wanita itu menghambur memeluk, meluapkan segala rindu. Ada haru di sana. Air mata Senja deras, begitupun Gendis.
"Kamu sudah dewasa, cantik sekali," ucap Senja masih dalam pelukan sang adik. Terakhir mereka bertemu enam tahun lalu saat berada di rumah duka. Usia Gendis masih belasan saat itu dan sekarang hampir lulus kuliah. Waktu telah merenggut keduanya cukup lama.
"Aku merindukanmu, Kak," ucapnya lirih. Ada tangis tertahan di sana.
Senja melepaskan pelukannya. Sebuah senyum berlesung pipit terlukis manis di sana. Ada rindu mendalam di wajah sendu Gendis yang kemarau.
"Kamu berhijab?" tanya Senja seraya menatap dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Ia sungguh tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya.
Gendis mengangguk pelan. "Aku menjadi mualaf sekitar satu tahun yang lalu, Kak."
Senja mengembang senyum dan kembali memeluk adiknya. Di sudut lain ada sepasang mata yang memperhatikan dengan haru dan bahagia.
"Tapi, Kak. Kok kakak ada di sini?" tanya Gendis heran ketika pelukan mereka kembali terlepas.
"Ceritanya panjang, nanti Kakak ceritakan ya."
Satya menghampiri mereka yang sejak tadi ada dalam suasana mengharu biru.
"Pak, Satya," sapa Gendis sopan.
"Kamu Gendis kan?"
Gadis berjilbab Syari itu mengangguk santun. "Saya kemarin yang chat bapak. Pak Satya masih ingat saya?"
Senja yang memperlihatkan keduanya nampak tidak mengerti.
"Ya, saya ingat," jawab Satya tersenyum.
"Kalian saling mengenal?" tanya Senja.
"Iya, Kak. Beliau ini dosen yang mengajar di kampus Gendis."
"Wah ... dunia ternyata sesempit ini."
"Masuk dulu," ucap Satya.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam. Senja sama sekali tidak melepaskan genggamannya pada Gendis. Kedatangannya hari ini seperti sebuah kado terindah yang Allah berikan. Senja merasa, tidak ada lagi alasan untuk meragukan setiap rahmat-Nya.
***
.
.
Senja bersiap untuk pulang bersama Mbok Nah, juga Gendis turut ikut bersama mereka. Belum banyak cerita antara kakak beradik itu, mereka menunggu waktu yang tepat.
Ketika sudah berjalan sampai ke pintu, Senja terdiam sesaat, ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman, seperti ada yang mengalir dari paha sampai kakinya. "Mbok apa ini?" ucapnya dengan wajah panik.
"Kenapa, Neng?"
"Perutku sakit, Mbok," jawabnya lirih. Tungkai kakinya mulai lemas, ia beringsut jatuh ke lantai.
Semua yang ada di sana panik menghampiri. Sementara Senja, terus merintih.
"Kita bawa ke rumah sakit, segera!" Tanpa berpikir panjang Satya membantu langkahnya dan membawa ke dalam mobil. Mbok Nah dan Gendis ikut, sementara orang tua Satya memilih di rumah karena urusan belum selesai.
Selama dalam perjalanan Senja terus merintih dan menangis. Ia merasakan sakit dan takut bila sesuatu terjadi pada kandungannya.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, mereka pun tiba, Senja masuk ke dalam unit gawat darurat, perawat menghampiri, kemudian didudukkan Senja di kursi roda. Lalu dengan segera ia dibawa untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya.
Sementara Senja sedang ditangani, Satya, Gendis dan Mbok Nah nampak cemas menunggu. Beberapa kali Satya terlihat gusar, ia tidak nyaman dengan duduknya, lalu kembali berdiri. Tangannya berkeringat, namun ia tetap mencoba tenang. Beberapa saat kemudian dokter datang.
"Bagaimana dok kondisinya?"
"Air yang merembes merupakan cairan amnion atau ketuban. Karena usia kehamilannya baru memasuki usia 29 minggu, maka ibu Senja harus dirawat intensif. Kami pasangkan alat di perutnya untuk memantau detak jantung bayi dan kontraksi rahim."
"Tapi semua baik-baik saja kan, dok?" tanya Gendis
"Kita berdoa saja, semoga semuanya baik. Karena pecah ketuban dini bisa saja memunculkan beberapa resiko. Tapi kami akan pantau terus."
Mbok Nah sangat lesu mendengarnya, begitupun yang lain. Mereka berharap semua akan baik-baik saja. Mereka tidak ingin sesuatu menimpa Senja dan bayinya.
Dokter pun berlalu, Mbok Nah kembali duduk pada kursi besi di ruang tunggu. Mata tuanya nampak sedih menerewang peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.
"Kenapa, Bi?" tanya Satya.
"Beberapa hari yang lalu, Bibi mendapati Senja begitu saja pingsan di kursi, padahal ia sedang membaca buku. Sering juga ia sedang menangis sendirian. Bibi takut, ia memendam beban dalam yang tidak diceritakan kepada siapapun sehingga mentalnya lelah, dan pada akhirnya berpengaruh pada kondisi dia dan bayinya."
Gendis mendengarkan dengan seksama, sampai di sini ia masih belum mengerti apa yang terjadi. Sementara Satya menghela napas panjang, mendengar penuturan Mbok Nah ia merasakan hal yang begitu tidak nyaman.
"InsyaAllah Senja baik-baik saja, Bi."
"Iya, Sat. Kasihan sekali anak itu," ucap Mbok Nah mulai mengeluarkan air mata.
Senja masih terbaring lemas, ia menyambut dengan sendu ketika Satya masuk. Sementara Mbok Nah dan Gendis pergi ke mushola karena belum salat.
"Mas ...," ucapnya lirih. Panggilannya seperti sedang membutuhkan kekuatan.
"Iya. Aku di sini." Satya mengambil kursi dan duduk di sisi ranjang.
"Aku takut," ucapnya pelan.
Satya menghela napas panjang dan tersenyum. "InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Jangan pernah takut. Aku akan mendampingimu." ucapan itu dengan spontan Satya ucapkan, entah keberanian dari mana yang terkumpul untuk bisa mengutarakannya. "Juga Mbok Nah dan yang lainnya," lanjutnya cepat, takut Senja salah paham.
Senja hanya membalasnya dengan senyum tipis. Setelah itu Satya mengangsurkan selimut di tubuh Senja. "Kamu tidur ya, kamu pasti lelah."
Senja mengangguk. Jiwanya masih terasa kosong, ia dilanda cemas dan takut pada banyak hal. Senja memang sedang berada pada fase lelah secara mental setelah banyak peristiwa traumatik menderanya. Tidak mudah untuk bangkit atau merajut benang kusut, walau semampunya ia coba.
***
.
.
Waktu sudah menunjukkan tengah malam ketika ia keluar dari ruangan rawat inap. Di lihatnya Gendis sedang duduk di depan kamar. Ia tidak tidur sama sekali, merasa bingung kejadian apa yang sebenarnya sedang terjadi pada sang kakak, ia melihat begitu banyak mendung di matanya.
"Kamu istirahat dulu, pasti lelah juga." Satya menghampiri.
"Pak, saya ke sini mau memberikan sesuatu, ini sudah tersimpan lama di saya," ucap Gendis tanpa basa-basi. Ia membuka tasnya dan mengambil sebuah kotak. "Ini titipan Rahma yang belum saya antarkan ke Bapak, selama ini saya seperti dikejar hutang."
Dengan tangan sedikit bergetar Satya mengambil kotak itu, perlahan ia membukanya. Namun, kotak belum sepenuhnya terbuka, sebuah teriakan terdengar dari kamar Senja, Satya dan Gendis beranjak, dengan panik segera memasuki ruangan rawat inap.