#Kehormatanku_Seharga_TestPack
KEHORMATAN SEHARGA TESTPACK
BAGIAN 1
"Delapan tahun lalu, kamu ambil aku dari keluargaku, Mas. Aku percayakan menggantungkan hidup padamu. Aku tinggalkan agamaku demi bersamamu."
*
"Kamu mandul!"
Perempuan yang duduk di sisi ranjang itu hanya diam, ketika hujatan sang suami terlontar. Ucapan ini yang kedua terdengar dari mulut lelaki yang begitu ia kasihi. Delapan tahun rumah tangga ini terarungi. Selama itu pula pasangan ini berusaha untuk menghadirkan anak dalam bahteranya. Namun, Allah masih ingin melihat mereka berusaha sepertinya.
Senja Namanya. Ia mulai menunduk, menahan air matanya yang sulit tertahan.
"Aku sangat mengharapkan anak. Aku ini anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga!" Pria bernama Bara itu mulai mendekat. Suaranya mulai pelan, ia pun bisa merasakan istrinya mulai menangis.
Bara mulai frustasi. Sungguh ... Ia menikahi Senja berangkat dari perasaan cinta yang membuncah. Namun, ia pun merasa lelah ketika dalam perjalanan, garis waktu tidak berpihak padanya. Terlebih lagi, satu tahun ini hubungan mereka begitu dingin. Senja lebih banyak diam, wajahnya kusut, tubuhnya kurus. Bara sama sekali tidak bergairah melihat istrinya.
"Pulanglah! Kujatuhkan talak padamu," ucap Bara pelan, tapi masih mampu didengar.
Senja yang sejak tadi menunduk, seketika menatap wajahnya. Tidak ada deras air mata yang tumpah. Selain tatap pilu mewakili hati yang pedih. Tidak pernah disangka talak itu akan terucap.
"Hari ini resmi aku bukan istrimu, Mas?" ucapnya lirih.
Bara terdiam. Ia memalingkan wajah.
Senja menyeka air matanya. Ia menegakkan tubuh, mengumpulkan kekuatan.
"Kamu menyuruhku pulang? Aku harus pulang kemana?"
Bara masih diam. Keangkuhan hatinya masih menguasai.
"Delapan tahun lalu, kamu ambil aku dari keluargaku, Mas. Aku percayakan menggantungkan hidup padamu. Aku tinggalkan agamaku demi bersamamu." Kalimatnya tertahan. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokan. "Namun, kenyataan tidak semanis janjimu. Ketika aku dengan sekuat hati berpikir bila Allah Maha baik memberiku ujian ini, kamu kemana?"
Senja menghela napas. Ruang dadanya terasa begitu penuh.
"Delapan tahun ini kamu tidak membimbingku dalam islam, kamu abaikan segala hal yang ingin aku tahu. Padahal, bukankah kamu yang lebih bertanggung jawab atas keyakinan yang aku yakini? Kamu yang sudah menyeretku, lalu sekarang dengan tega menyuruhku pergi?"
Bara terhentak. Ada sakit yang tiba-tiba menyeruak, menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Kamu tahu, Mas. Delapan tahun ini sungguh tidak mudah. Setiap saat aku kebingungan mencari cara, bagaimana agar bisa menghadapi tajamnya mulut ibu dan adik-adikmu. Pernahkah sekali saja kamu membela ketika mereka menghinaku?"
Senja tidak kuasa menahan air matanya. Sementara Bara masih diam dengan segala risau hatinya. Ia tak mampu menatap Senja, walau sesungguhnya ingin. Pria itu takut, pada mata itu segala dosanya terpampang.
"Kamu pun tidak pernah tahu, sesulit apa aku merangkai pecahnya hati ini, ketika aku tahu kamu berkasih mesra dengan Meyra, sahabatku sendiri. Kalian curang di belakangku. Dengan senyum tanpa berdosa kalian saling merangkul keluar dari kamar hotel. Terbesitkah aku di pikiranmu, Mas? kurang apakah aku mengabdi padamu? Bukan hanya padamu, tapi keluarga ini. Tidak peduli sakit atau pun apa, aku layani semuanya. Meski sedikitpun tidak pernah ku dapatkan puji. Sungguh ... bukan karena aku ingin pamrih, tapi sepertinya hatiku sudah kehilangan ruang kosong untuk menyimpan dengan baik segala hinaan."
Bara semakin lemas, pandangannya mulai teralih pada Senja. Matanya merah dan menghangat. Sekali saja ia berkedip, maka luruh lah tangis itu. Untuk pertama kali selama delapan tahun, ia mendengarkan keluh kesah Senja dengan baik. Wanita itu tidak sekuat karang di lautan, ada kalanya ia lelah dan menumpahkan segalanya pada sang suami. Namun, Bara tidak pernah menghiraukan. Ia hanya menganggap angin lalu.
Rasa terkejutnya semakin menjadi. Tidak pernah disangka, bila Senja selama ini tahu kecurangannya dengan Meyra.
"Inikah surga yang kamu janjikan, Mas? Inikah agama yang selalu kamu bilang penuh keindahan dan rasa damai? Mengapa kamu yang aku percayai tidak pernah menunjukkannya padaku? Tapi, sama sekali aku tidak pernah menyalahkan Islam, aku mulai mencintainya semenjak aku memilihnya. Meski aku tidak tahu harus mencari tahu darimana, tapi sebaik mungkin aku pelajari walau tanpa bimbinganmu."
Senja mengusap air matanya. Segala hal yang ingin ia ucapkan, hari ini dapat diutarakan.
"Dapatkan aku tarik ucapanku?" Mulut pria itu bergetar. Sesal memenuhi seluruh dinding hati.
"Terlambat, Mas. Mulai hari ini aku bukan lagi istrimu."
Senja beranjak. Air matanya kembali tumpah ketika mengambil koper usang yang ia pakai delapan tahun lalu saat pergi dari keluarganya. Kala itu, ia menghiraukan tangis ibunya yang tidak terima dengan keputusannya. Terlebih, keluarga Senja adalah keluarga yang taat.
Dua tahun setelahnya, sang ibu meninggal, karena tidak kuasa menahan pedih ketika Senja, anak yang begitu disayangi benar-benar pergi dan tidak pernah kembali.
Kala itu, dengan seribu sesal Senja datang ke rumah duka. Namun, kehadirannya ditolak, seluruh keluarga berpikir bila Senja lah yang bertanggung jawab atas kematian ibunya. Ia diusir, ia dimaki. Hingga sampai ke Liang lahat, perempuan itu tidak pernah sekalipun melihat sang ibu.
Selama pernikahan ini, mertua dan iparnya mengambil alih peran. Hidup seatap selama delapan tahun, membuat Senja bagai terkurung dalam penjara. Hari-hari dilewati hanya untuk melayani mereka. Hidupnya berjalan atas tunjuk jari mereka. Senja kehilangan banyak hal atas hidupnya.
Lanjut?