BAB 6

SEHELAI WANGI RINDU



"Pakai hijab yang rapi malam ini, ya, Nila? Acara akan segera dimulai," pinta Asmita seraya merapikan kerudung berwarna maroon yang ia kenakan di depan kaca.

"Asinan, kan Mak?" gurau Nila memandang penampilan Asmita yang kian saliha dengan gamis merah mudanya.

"Hust, Yasinan. Jangan salah ngomong lagi. Dosa," cakap Asmita siap mengangkat tangan. Nila berbalik menyerong, menjauhkan pinggul yang hampir jadi sasaran tepuk tangan Asmita.

"Iya, iya Bu, maaf. Untung kemarin Mbak Nia membelikan hijab dan baju muslimah untukku." Nila beranjak untuk memilah baju dan hijab mana yang akan ia kenakan diantara dua pilihan yang ada.

"Emak turun dulu, ya? Sudah banyak yang datang," pamitnya. Asmita harus memastikan hidangan dan bingkisan yang akan dibawa pulang jamaah yasin yang hadir malam ini tidak ada kendala. Sedikit tergesa Asmita menuju ke rumah induk.

Nila menyegerakan mengganti penampilannya. Baju muslim hijau tosca dengan hijab senada bermotif bunga minimalis berwarna kuning menjadi pilihan. 

Setelahnya, Nila segera mencari keberadaan Asmita. Ruang keluarga dengan batas pintu besar yang menghubungkan ruang tamu telah penuh dengan orang yang sedang membaca surat alfatihah. Nila belum menemukan keberadaan Asmita. 

Segera Nila duduk di jajaran jamaah perempuan yang berhadapan dengan barisan pria duduk bersila mengenakan peci dan ada juga yang memakai kopiah. 

Nila langsung mengambil tumpukan buku kecil yang ada di tengah kumpulan orang dan mulai membaca Surat Yasin seperti jamaah lain.

Cowok tinggi berkulit kuning langsat  yang duduk di samping Haji Rahman melirik ke arah Nila tanpa Nila menyadarinya.

***

Selesai pembacaan surat Yasin lengkap dengan tahlil, Pak Haji Rahman mengucapkan salam. 

Jawaban "Waalaikumsalam," menyeruak dari seluruh ruangan. Nila termasuk yang menjawab salam itu dengan lirih di antara beberapa perempuan tetangga juga yatim piatu anak asuh keluarga Rahman yang tidak dikenalnya satu orang pun.

"Allhamdulillah, malam ini pengajian dan pembacaan surat yasin rutin malam jumat telah selesai kita tunaikan seperti malam-malam yang lalu. Semoga semua yang hadir diberi kesehatan lahir batin, dimudahkan rejekinya serta dianugerahi oleh Allah SWT menjadi manusia-manusia pilihannya yang kelak akan berkumpul bersama nabi Muhammad SAW, di surganya. Aamiin."

Suara haji Rahman menyampaikan sambutan mendapat jawaban "Aamiin," dari semua jamaah Yasin.

"Malam ini keluarga Haji Rahman dan Ibu Farah ...." Nila mendongakkan kepala, menyempatkan melihat ke arah pemilik suara, ternyata masih Pak Haji yang berbicara. Nila melihat senyum Haji Rahman mengembang dan sedang memandang dirinya. Nila dan Haji Rahman duduk berhadapan dengan jarak kurang lebih lima meter.

" .... Kedatangan tamu yang baru dua hari datang dari Jogja. Dia adalah Nila, anak dari sahabat Pak Haji Rahman yang sudah Almarhum, yaitu Bapak Yufrizal dan Ibu Asmita." Nila yang mendengar Pak Haji melanjutkan bicara mulai paham, 

"Nila, coba berdiri sebentar untuk mengenalkan diri," perintah Pak Haji yang sejak mulai berbicara memang mengarahkan mata kepadanya. Nila merasa jantungnya berdegup lebih cepat, namun ia melakukan apa yang dikatakan Pak Haji, berdiri dan menundukkan kepalanya di hadapan puluhan pasang mata yang memperhatikan. 

Dari bagian ujung kanan, Bu Farah melambaikan tangan memanggil Nila untuk mendekat. Rupanya Asmita pun duduk di samping Bu Farah. Setelah bersalaman dengan semua perempuan yang tadi duduk berdekatan dengannya, Nila melangkah menghampiri Bu Farah. 

"Nila akan bersekolah di Bandung dan tinggal di bersama kami menjadi adik dari Raditya, Rafania dan Rafano," sambung Pak Haji. Ia menepuk pundak lelaki muda yang duduk di sampingnya.

Nila baru menyadari sedari tadi, ternyata dialah Fano. Lelaki muda yang beberapa hari ini ia dengar ceritanya dari mulut ke mulut di rumah ini. Fano mengenakan baju koko seperti baju adat milik orang-melayu. Warna bajunya ungu tua dan terlihat mengkilat.

Seketika Nila ingat penilaiannya tentang Fano beberapa hari lalu. 'Ganteng, tengil, manja, sok kaya, play boy tapi nggak pinter-pinter amat seperti dirinya.' Astaghfirullah, pintarnya Nila menilai. Semoga penilaian itu salah. Dan Tuhan memaafkan Nila atas buruk sangkanya kepada Fano.

Nila menunduk dan memejamkan mata, mencoba untuk menghadirkan raut wajah Ayahnya yang meninggal karena kecelakaan ketika dirinya duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Nila pun tahu dari Asmita, setiap malam Jumat pengajian di rumah Pak Rahman selalu mengirimkan doa untuk almarhum Ayahnya.

"Mohon doanya juga untuk Rafano, si bungsu ....." Pak Haji kembali menepuk pundak Fano yang sesekali tersenyum simpul ke Papanya. ".... yang memutuskan untuk kuliah di Indonesia saja, Fano cinta Indonesia rupanya ...." kelakar Pak Haji. " ..... minta doanya supaya Fano betah kuliah di tempat baru dan tidak plin-plan untuk pindah-pindah lagi," urai Pak Haji yang membuat Nila mengulum senyum teringat ucapan Rafania. Saat itulah pandangan mata Nila tidak sengaja bersirobok dengan Fano. 

Nila salah tingkah dan merasa Fano melihat senyumnya yang memang sedang menertawainya.

"Aamiin. Aamiin. Aamiin." serentak jemaah Yasin mengaminkan doa-doa untuk Fano. Sialnya Nila kembali melirik ke arah Fano yang tertunduk. Beberapa detik kemudian Fano kembali mendapati Nila sedang mencuri pandang kepadanya. Nila segera membuang tatapan ke arah buku Yasin yang sedang ia pegang. Terlambat, Fano telah menandai, tiga kali sudah, Nila mengamati dirinya dengan kerlingan.

"Terima kasih untuk kedatangannya malam ini. Semoga kita masih bisa berkumpul lagi di malam jumat berikutnya." Pak Haji mengakhiri dialog hangatnya dengan peserta pengajian dan menutup acara malam ini dengan ucapan salam yang lugas.

Satu persatu jamaah berdiri meninggalkan ruangan. Haji Rahman dan Fano berdiri membagikan amplop dan bingkisan untuk anak yatim piatu di pintu keluar. Ada juga Mang Dipta, Sujoni dan Tato yang malam itu serempak mengenakan bajo koko warna putih. 

Nama asli Tato sebenarnya Jana. Dia dipanggil tato karena banyak tato di lengan dan tangannya yang malam itu tertutupi dengan baju koko berlengan panjang.

Nila melangkah mendekat ke Dini, Tini dan Ratna juga Ibunya yang sedang membagikan amplop dan bingkisan untuk anak-anak yatim piatu perempuan di bagian utara.

Ratna memberikan tanda kepada Nila untuk ikut membantu membagikan bingkisan. Nila mulai mengambil bingkisan di meja dan melakukan apa yang dilakukan Ratna. Menyerahkan bingkisan kepada anak berusia tujuh sampai dua belas tahun yang menerima dari Nila dengan mencium tangannya. Mereka senasib dengan Nila. 

Menyaksikan senyum gadis-gadis kecil itu membuat mata Nila berembun.

"Nila, kemari sebentar Nak," panggil Bu Farah. "Temui Bapak dan Fano di sana, ya?" tunjuk Bu Farah. Nila menengok ke arah yang ditunjuk Bu Hajjah. Di sana Pak Haji sedang duduk dengan Fano.

"Baik, Bu." Nila meninggalkan aktifitasnya. Mengikuti perintah Bu Farah menemui  Haji Rahman dan Fano. 

"Nila, duduk Nak, duduk," perintah Pak Haji penuh wibawa dan kasih, begitu melihat kedatangan Nila. 

Nila memilih kursi yang berhadapan dengan Pak Haji dengan meja ukir kaca berwarna putih sebagai pembatas di depan Nila. 

Fano duduk di depan sudut lebar meja ukir. Jika diambil gambar. Letak duduk mereka bertiga membentuk segi tiga, dan dalam situasi ini posisi Fano berada di puncak segitiga itu.



Bersambung

💜💜💜💜💜



Komentar

Login untuk melihat komentar!