SEHELAI WANGI RINDU
"Bangun Nil, kita akan menghadap Pak haji dan Bu Haji," seru subuh itu. Di guncangnya tubuh Nila.
"Iya, Bu. Jangan menghadap napa, Bu nyebutnya. Ketemu, gitu. Nila jadi ingat Tuhan," sahut Nila sambil menguap dan mengucek mata, tapi langsung sigap beranjak dari pembaringan.
"Menghadap Tuhan maksudnya? Salat subuh sana, menghadap. Cepetan." Nila berlari ke kamar mandi sebelum Asmita mengeluarkan jurus nepuk pinggul. Asmita cekikikan melihat tingkah putrinya.
"Ibu ke pasar dulu, pulang dari pasar, Nila harus sudah siap, ya?"
"Memangnya Ibu sudah salat subuh?"
"Ini, Ibu baru pulang dari masjid. Ibu berangkat dulu, ya?"
"Hati-hatinya, Bu?"
Satu jam kemudian Asmita kembali dari pasar. Setelah meletakkan belanjaan di dapur, single parent yang masih nampak enerjik di usianya yang empatpuluhan itu menemui Nila.
"Kok pagi banget sih, Bu," protes Nila.
"Sebentar lagi Pak Haji dan Bu Haji berangkat ke kantor. Ayok cepat," seru Asmita. Nila membenahi laptopnya, mengikuti emak menuruni tangga untuk bertemu majikannya. Kemarin mereka belum sempat bertemu karena Bapak dan Ibu Haji pulang larut malam.
Farania berangkat ke Jakarta juga tidak sempat bertemu Mama Papanya. Begitulah kehidupan orang kelas atas. Waktu bisa di wakilkan melalui sambungan seluler.
"Ini Nila, kan?" sapa Bu Hajjah Farah, Mama Farania setelah Nila menyalami dan mencium takzim punggung tangannya. Dengan Pak Haji Rahman Nila melakukan hal yang sama.
"Iya, Bu," aku Nila mengangguk takzim dan memposisikan diri bersikap seperti layaknya asisten rumah tangga kepada majikannya.
Pak Haji tersenyum simpul, "Nila akan melanjutkan bersekolah di sini. Anggap kami orang tua Nila sendiri, jangan sungkan. Alm. Ayah Nila adalah sahabat kami," beber Pak Rahman seperti yang pernah diceritakan Emaknya.
"Urusan mendaftar kuliah, nanti Nila diantar Fano anak bungsu Ibu," sambung Bu Farah. Wanita yang kata emak ada keturunan Timur tengah campur Jogjakarta ini memiliki wajah cantik dan mata yang berbinar. Pantas saja Mbak Nia menuruni mata bening dan tidak pernah terlihat mengantuk dari Mamanya. Ternyata ada darah Arab yang mengalir dalam tubuhnya. Kalau Farania keturunan Arab Jogja. Nila membatin, "Aku Arab bersabar, dan harus tahu diri tinggal bersama keluarga baru."
Pak Rahman lantas melanjutkan dengan menceritakan tentang Raditya dan Fano. Dua anak lelakinya. Kisah hampir sama seperti yang Nia tuturkan kemarin kepada Nila. Mendadak Nila memejamkan mata setelah melirik pigura besar di tembok ruang keluarga. Nila bisa menebak yang mana Fano, si bungsu dalam foto keluarga itu.
Menyeruak bayangan ia dan Fano harus pergi berdua mendaftar kuliahnya, setelah mencerna kalimat yang diutarakan Ibu Farah.
Ah ....
"Sekali lagi bapak katakan, anggap rumah ini seperti rumahmu sendiri. Asmita Emak Nila, juga sudah kami anggap bagian dari keluarga. Kalau ada yang ingin Nila sampaikan, Bapak dan Ibu akan mendengarkan Nila layaknya seperti anak kami yang lain. Ingat itu, ya?" Penuturan Pak Rahman yang tulus membuat Nila makin sungkan. Dengan anggukan sangat dalam ia mengucapkan rasa terima kasihnya.
Bu Farah bahkan memeluk Nila sebelum beliau berdua berangkat ke kantor. "Nila adalah anak ibu, sama seperti Raditya, Rafania dan Rafano," bisik Bu Farah di telinganya. Hampir meleleh air matanya mendengar ungkapan itu.
Asmita yang menemani Nila bertemu majikan rasa keluarga mengamati peristiwa itu dengan mimik sumringah. Asmita memang selalu ceria dalam situasi apa pun.
***
Nila juga berkenalan dengan semua pekerja di dapur luas bawah kamarnya dan Emak. Nila pun tidak sungkan terjun membantu memotong sayur dan aktifitas lain berbaur dengan pekerja yang ada.
Ada dua asisten rumah tangga wanita di rumah pak haji menempati kamar yang menyatu dengan dapur. Yang satu janda dengan usia hampir lima puluh tahun, satu lagi gadis usia dua puluhan. Ratna dan Tini.
Dari tiga kamar yang ada, kamar satu lagi kosong, tadinya di tempati asisten rumah tangga asal Lombok bernama Umi yang pulang kampung karena menikah. Beberapa karyawan lain hanya datang pagi dan pulang menjelang sore.
Nila saling sapa dan berbaur dengan mereka. Hampir semua yang sedang bekerja kompak menyebut Nila manis, cantik dan menarik. Nila hanya ternganga mendapat pujian yang menurutnya memang benar dan nyata.
Apa lagi emaknya yang terus berucap kecantikan dan kepintaran Nila adalah warisan darinya. Nila akan ditepok pantatnya jika berdehem dan batuk tanda tidak setuju.
"Nila nggak pantas ada di dapur bersama kita. Kita seperti kedatangan artis ibu kota, ya?" cetus Dini, pekerja berbibir tebal yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggal Pak Haji Rahman.
Nila yang masih malu dan belum terbiasa berakrabria dengan semua pekerja berkilah, "Mumpung Nila belum mulai kuliah, ya harus bantu-bantu dong, Mbak. Atau Nila malah mengganggu ya, di sini?" selorohnya ditimpahi senyum manis. Pagi itu dapur menjadi semakin semarak dengan kehadiran Nila.
"Sangat, sangat mengganggu konsentrasi," cetus Sujoni, sopir yang baru saja datang dari mengantar Pak Rahman dan Bu Farah cengar-cengir.
Meski Asmita ditugasi mengatur dan memperhatikan kerja anak buahnya memasak dan mengemas makanan ke dalam kotak, namun Asmita tetap melakukan apa saja yang bisa dikerjakan. Jarang Nila melihat emaknya berpangku tangan. Asmita Selalu peka, sigap dan cekatan dengan keadaan sekitar dapur.
Nila mulai memahami perjuangan emak dalam membiayai hidupnya selama ini. Mungkin ini juga yang menyebabkan emak tidak pernah mengajak Nila datang ke Bandung untuk menemuinya, tidak ingin Nila sedih melihatnya bekerja.
Padahal dalam hati Nila sangat bangga dan salut kepada Emak yang bisa dipercaya oleh keluarga Pak Rahman. Sampai Pak Haji dan Bu Haji menjadikan Nila sebagai anak angkatnya.
"Mak Asmita jagain tuh perawan cantiknya. Jangan sampai digodain Mang Dipta sama Sujoni dan Tato," celetuk yang lain dilengkapi dengan tawa lepas dan terbahak. Mang Dipta, Sujoni, dan Tato adalah sopir keluarga Pak Haji.
"Nggak nolak Mak, jadi kandidat calon mantu," timpal Tato sopir keluarga yang paling muda diantara Mang Dipta dan Sujoni. Menjadi bulan-bulanan candaan, Nila tidak berkutik. Wajahnya memerah dan terasa hangat mendengar banyolan yang keroyokan itu.
Nanti kalau Mas Fano datang, bisa-bisa 'tigubrak lope,' melihat Nila," sambung Tini sambil menyenggol lengan Ratna.
"Tisorodot cinta," lanjut Ratna disebelahnya terkekeh. Nila bergantian memandang wanita setengah baya dan gadis seusia Mbak Nia yang terus menggodanya.
Tigubrak lope dan tisorodot cinta itu artinya kurang lebih jatuh cinta, begitu penjelasan Mang Dipta setelah Nila menanyakan. Fano lagi yang jadi bahan pembicaraan. Mungkin dia sekarang sedang mengelus-elus daun telinganya yang panas karena sedang jadi bahan gibah anak buah orang tuanya.
"Waah ... kalau sama Mas juragan muda, Tato mundurlah, nggak bakal sanggup bersaing sama bos, mah," lontar Tato dengan logat Sunda yang kental sambil menyesap kopi di tangannya. Tato menatap Asmita yang sibuk membongkar bungkusan belanjaan.
"Bongkar apaan, Mak?" tanya Nila yang sedang mengupas bawang putih tidak jauh dari Asmita.
"Buat Yasinan, Nil," jawab Mang Dipta di samping Tato.
"Asinan?" tanya Nila. Burai tawa pecah mendengar ucapan Nila. Nila sampai harus menghentikan tangannya yang sedang mengupas bawang.
"Nila salah ngomong, ya?" ujar Nila celingukkan.
"Setiap malam jumat kami semua yasinan Nil, di rumah Pak Haji. Ada santunan buat anak yatim piatu juga. Enak lagi nyiapin untuk acara besok malam.
"O" bibir Nila membulat tanpa mengeluarkan suara.
"Kalian jangan sering ngatain Nila. Kalau dia sudah kumat, habis kalian," canda Emak menakut-nakuti. Tapi mimiknya menahan tawa.
"Emak bohoooong," seru Nila yang tidak mau kekonyolan sikapnya yang kadang muncul itu terkuak dihadapan teman kerja Asmita.
Nila merasa kebersamaan Emak dan teman kerjanya menghadirkan kegembiraan setiap hari. Mereka bekerja dengan bahagia, itu yang Nila lihat.
Pukul sebelas siang, ratusan nasi kotak akan dibawa sopir ke tiga perusahaan milik Pak Haji dengan mobil box.
Jika ada karyawan perusahaan lembur, sore jam enam kegiatan meracik makanan berulang.
Beginilah kegiatan Asmita, janda ditinggal mati sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu di rumah keluarga Rahman, majikannya setiap hari ....
Bersambung ....
💜💜💜💜💜