BAB 7

SEHELAI WANGI RINDU



BAB 7. DIKERJAI

"Gerangan apa ada?" Pikir Nila sambil menebak apa yang akan Pak Haji sampaikan. Saking groginya, "Ada apa gerangan? Sampai terbolak. Sudah lumrah sebuah kegugupan bisa membolak-balikkan semua. Termasuk kata-kata. Beuh! Tenang Nila. Worry don't, eits Dont worry.

"Nila sudah kenalan dengan Fano?" tanya Pak Haji bergantian memandang Nila dan Fano. Jaga lisan, Nila. Ingat pesan Ibu. Ingin Nila menjawab "Emang penting?" Duh, berdosa banget pastinya kalau sampai dua kata itu meluncur dari bibirnya.

"Baiklah, kalian berdua ngobrol saja dulu sambil berkenalan supaya akrab. Oh iya, Fano, besok pagi kamu antar Nila ke kampus untuk mendaftarkan kuliahnya," tandas Pak Haji.

"Bisa daftar online, Pak," jawab Nila dalam hati. First impression, Nila tidak nyaman dengan Fano. Lain ketika pertama bertemu Mbak Nia. Langsung klik. Akan tetapi, kalau mendaftar datang ke universitas pilihannya sendirian, Nila punya keyakinan bakal tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.

Aku tanpamu butiran debu. Tanpa Fano? Duh ribetnya ngadepin orang kaya. Bukan orang kayanya yang ribet, tapi aku. 

Kenapa tidak Mang Dipta, Sujoni atau Tato alias Jana saja sih yang disuruh Pak Haji untuk mengantar? Dengan mereka kan aku sudah lumayan kenal. Meski baru dua hari. Nila gamang.

Kalau di Jogja okelah, aku jalan sendiri. Bandung? Bisa ngalamin penggalan lirik lagu Cakra Khan beneran, deh.

"Siap, Pak Hajiii," sahut Fano dengan tangan terkatup diangkat sampai atas kepalanya, lalu menurunkan sampai dada sambil menunduk dan terkekeh kepada Papanya.

"Biasalah, Nila, Fano mah, memang hobi ngebodor. Jangan heran, ya?" timpal Pak Haji yang malah membuatku melontarkan senyum. 

Apa tadi? Ngebodor? Main gobak sodor maksud, Pak Haji? Duh. Haruskah Nila beli kamus bahasa Sunda? Bahkan Pak Haji yang asli Jogja dan sekampung dengan Almarhum Ayah Nila, sudah sangat fasih berbahasa Sunda.

Pak Haji sudah masuk ruangan lain dalam rumah megah ini.

"Kalau gitu saya permisi," pamit Nila sambil mengangguk di depan Fano.

"Eh, kok udah pamit aja," ucap Fano tanpa senyum. "Jadi besok jam berapa?" tanyanya datar.

"Jam delapan," sahut Nila. "Permisi." Nila meninggalkan Fano yang juga bangkit dari duduknya.

***

"Pak haji ngomong apa aja, Nil?" todong Asmita yang memang sudah tidak sabar menunggu untuk minta pijitin kakinya.

"Gawat, Bu ..." jawab Nila dengan raut serius.

"Gawat apa?"

"Mau tahu bulat apa mau tahu Sumedang?" ceplos Nila.

"Mau tahu pakai sambel kecap. Eeeh ... kan ibu kumat lagi latahnya. Gara-gara kamu ini, Nil." Etapi besok goreng tahu sama sambal kecap enak kayaknya ya, Nil?" gumam Asmita.

"Bu, masa iya besok pagi aku pergi sama Fano?" lirih Nila berucap.

"Memangnya kenapa, jangan kegeeran, Nil. Biasa aja. Pagi-pagi semua sopir Pak haji sibuk. Sudah disiapkan semuanya untuk berangkat besok pagi?"

"Sudah Bu."

"Anggap saja kamu lagi jalan sama Afgan temanmu di kampung. Kamu kalau sama Afgan 'kan santai."

"Gitu, ya, Bu?"

"Iya, cepetan tidur."

"Ya, Bu." Nila beranjak menuju  kamarnya. Butuh waktu beberapa menit untuk kemudian bisa benar-benar terlelap.

***

Alarm yang dipasang Nila berdering, Ia melonjak dan membuka selimut yang menutup tubuh.

"Bu ...." Nila berjalan ke kamar Asmita dan sudah tidak ada sosok yang dicarinya.

Dari kejauhan terdengar suara menandakan salat subuh baru selesai dilaksanakan.

"Kemana sih, Ibuk. Cepat banget ilangnya." Diteguknya air putih dari gelas, dispenser berisi air mineral tersedia di kamar Nila. 

Segera Nila mandi dan melaksanakan salat subuh.

Sampai Nila selesai salat, Asmita sang Ibu yang ditunggu belum juga muncul. Nila melihat melalu jendela kamarnya. Lampu masih menyala di sebuah kamar. Seseorang membuka jendela dan tirai penutupnya. Fano. 

Nila juga melihat bayangan Fano yang sedang melaksanakan salat subuh.

"Hem kesiangan," gumam Nila mengomentari Fano. "Rajin juga salatnya," desisnya lagi sambil membuka jendela lalu kembali ke kamarnya.

"Nila, kalau mau sarapan turun, ya? Kan mau berangkat." Pukul tujuh Asmita menemui Nila di kamar. 

"Apa Nila bisa makan dikamar aja, ya, Mak. Nila, malu," bisiknya.

"Malu sama siapa? Kemaren nggak malu. Kenapa sekarang malu?" sembur Asmita.

"Terserah mau makan di mana? Yang penting ambil makan di bawah," lanjut Asmita lagi. Nila mengikuti Asmita turun. Di dapur Haji Rahman makanan selalu tersedia setiap waktu. 

Nila duduk dimeja makan tidak jauh dari lokasi Asmita dan teman kerjanya mengolah masakan.

"Ibu sudah makan?" tanya Nila. Sayur kacang merah dan ikan gurame goreng menu pagi itu telah tersedia.

"Sudah. Kamu makan yang banyak."

"Tadi Ibu kemana sih? Aku bangun Ibu sudah nggak ada?"

"Ibu tadi salat subuh di mesjid, terus langsung ke pasar. Pulangnya langsung beberes di dapur." Satu- persatu pekerja mulai berdatangan selesai Asmita mengucapkan kalimatnya.

Nila menyelesaikan makan dan menghabiskan susu yang dibuat Asmita.

"Assalamualaikum, Bu," sapa sebuah suara.

"Alaikumsalam, Alaikum salam. Eh, Mas Fano. Tumben ke dapur?" sahut Asmita. 

"Iya, Bu. Tolong bilangin ke Nila saya tunggu di mobil, ya?" Fano melirik ke Nila yang masih di meja makan. 

"Iya, Mas," jawab Asmita. "Nila cepet atuh, makannya," seru Asmita kemudian. Nila mengangguk. Membawa piring dan gelas bekas makan ke wastafel di sudut dapur.

"Sudah, Ibu aja sini," ucap Asmita mengambil piring ditangan Nila. "Nil, baik-baik sama Mas Fano. Jangan rese, ya?" 

"Buk, aku kan pendiam dan baik hati," sahut Nila mencium tangan Asmita. "Nila mau ngambil tas di atas, terus berangkat. Doain ya, Bu?" pamit Nila.

"Iya. Iya. Hati-hati."

***

Bergegas Nila mendekati mobil berwarna merah setelah melewati pintu gerbang dapur. Tengak-tengok tidak ada pengemudi di dalamnya.

Klakson berbunyi nyaring dari arah selatan agak jauh. Nila berhenti, memperhatikan mobil mewah berwarna silver. Sebuah tangan melambai keluar dari jendela. 

"Kenapa jauh banget, sih," gerutu Nila dan berjalan cepat menghampiri Fano yang ternyata berada dalam mobil itu.

Mobil itu berjarak kurang lebih sepuluh meter dari Nila yang terus melangkah dengan menunduk. Pintu mobil sebelah kanan terbuka begitu jarak satu meter menjelang Nila sampai.

"Sa-saya duduk di belakang saja, Mas?" ucap Nila grogi sambil melongoklan kepala melalui kaca mobil di depannya.

"Mana bisa, saya di depan, kamu di belakang. Emangnya saya sopir?" sahut Fano datar dan dingin. Nila seketika ingin menghilang dari depan cowok sok cool itu.

"Cepat, masuk. Nunggu apa?" Masih tidak ada senyum.

Nila pun duduk di samping Fano dengan kecamuk di kepala. Kalau tidak mau dianggap sopir, kenapa dibelakang setir? Yang bilang sopir situ, yang sewot situ, gerundel Nila di hati seraya menutup pelan pintu mobil.

"Kurang kuat nutupnya." Fano menegurnya. Jutek amat sih, pikir Nila. Nila kembali memegang pintu mobil dengan bingung. Sekilas Ia melihat Fano tersenyum penuh misteri dari spion di depannya. Ketawa apa, sih? 

"Sudah-sudah," kata Fano sebelum Nila mengulang menutup pintu mobil. Tuit tuit bunyi suara melengking mengagetkan Nila. Lalu kaca mobil menutup sendiri. Juga terdengar bunyi klik.

Beberapa detik setelah Fano menjalankan mobil, Nila sadar, sudah ia sudah 'dikerjai,' anak bungsu Haji Rahman.

"Awas kamu, ya." Kata itu Nila simpan dalam mulutnya.

***
Bersambung




Komentar

Login untuk melihat komentar!