SAAT REWANG DIRUMAH MERTUAKU
"Mas, nanti kalau Mama tanya kamu udah kerja apa belum kamu jawab aja udah ya," ucap Safira tiba-tiba saat kami baru saja turun dari angkot tepat didepan rumah mertuaku.
Aku sedikit kaget dengan apa yang diucapkan istriku barusan, wanita yang baru setahun ini menjadi pendamping hidupku.
"Kenapa memangnya Dek?" tanyaku, jujur aku tidak tau maksud dari perkataan Safira barusan.
"Hem, gak Papa Mas, cuma--" Safira tampak terdiam sejenak, sorot matanya menatap kearahku dalam. Aku membalas tatapannya itu, namun berbeda arti dengan Safira, aku menatapnya dengan binggu.
"Aku-" untuk ke-dua kalinya Safira terdiam dalam perkataannya.
"Karena kamu malu, mempunyai suami pengangguran sepertiku ini, tidak punya pekerjaan tetap yang layak seperti saudara ipar mu," tebakku.
Safira tampak tercengang mendengarnya, wajahnya langsung menggeleng cepat.
"Mas, demi Tuhan, aku---"
"Sudah, tidak perlu membawa nama Tuhan segala, aku paham," potongku, mungkin iya.
Aku tertawa kecil, menertawakan diriku ini, bahkan sejak aku dan Safira berpacaran dulu saat masih kuliah pun, aku belum bisa memberikan dia kebahagiaan.
Berbeda dengan kakak dan adik Safira yang memiliki suami idaman para wanita, memiliki pekerjaan yang tetap dan uang yang sangat banyak.
Aku sadar diri dengan ini, Safira pasti malu terhadap ku. Bukan aku tidak mau berusaha, melainkan semua usahaku tidak ada yang membuahkan hasil.
Pekerjaan kantoran sudah aku lakukan tapi semuanya menolakku. Aku harus bagaimana lagi.
Selama kami menikah memang aku jarang sekali memberikan Safira uang, Safira tidak memprotes akan hal itu, dia menerima apa adanya. Apalagi Safira seorang penulis, jelas uangnya lebih banyak dariku.
Aku mendengar Safira tampak menghela nafas panjang, wajahnya menatap kearah rumah Ibunya yang kini sudah ramai dipenuhi oleh orang-orang rewang.
"Yasudah Mas, lebih baik kita masuk yuk, Ibu dan Ayah pasti sudah menunggu kita," ajak Safira pada akhirnya. Aku mengangguk mengiyakan.
Dirumah mertuaku, ternyata semua orang sudah berkumpul, baik saudari iparku beserta suaminya maupun para tetangga. Besok adalah hari yang di nanti-nantikan Ida, adik Safira yang paling bontot. Melepaskan masa kesendiriannya menikah dengan seorang karyawan di salah satu perusahaan besar, menurut perkataan Safira kemarin yang memberitahukan ku.
Kami tampak disambut ramah, terutama Safira yang langsung di sambut hangat oleh keluarganya. Berbeda denganku yang seperti dugaan, diacuhkan oleh mereka.
"Eh, nak Bayu, pulang juga, Ibu pikir gak pulang karena sibuk!" ucap Ibu mertuaku kini beralih menatap kearahku.
Aku hanya membalas dengan senyuman manis, sembari menyalami tangan wanita paruh baya itu lalu pergi mengikuti Safira kedalam kamar.
Semua tampak melihat kearah kami dengan tatapan sulit di artikan. Apalagi para iparku.
"Mas, kamu mau langsung gabung dengan mereka apa istirahat dulu, kalau aku mau langsung bantu-bantu orang rewang," celutus Safira saat tiba di kamarnya.
Jarak dari rumah kami dengan rumah mertuaku lumayan jauh, sudah pasti kewalahan dalam perjalanan.
Ibu mertuaku memiliki empat orang putri, dan semuanya memiliki kamar sendiri. Jadi tak heran kalau kami langsung mendapat bagian kamar.
"Kepala Mas pusing, Mas istirahat dulu sebentar, nanti Mas akan keluar," sahutku apa adanya, kepalaku sadari tadi terus berdenyut denyut.
"Baiklah, Mas Istirahat aja dulu, nanti kalau udah baikan baru keluar, tapi jangan lama-lama keluar ya Mas, takutnya gak enak sama yang lain," kata Safira lagi, aku mengangguk mengerti.
***
"Eh Safira suami kamu kemana, dari tadi kakak lihat enggak nampak tuh bantu-bantu di depan, bantu kayak Mas Hendri dan Mas Azmi, udah dari kemaren mereka sibuk," tutur Kak Rita kakak ipar ku yang pertama, aku yang kala itu hendak keluar dari kamar pun menghentikan langkah seketika mendengar interaksi Safira dengan keluarganya.
"Iya tuh, malas banget jadi lakik, mau enak-enakan aja," timpal Misnah.
"Mas Bayu lagi enggak enak badan kak, nanti kalau udah enakan juga pasti keluar. Ini juga Safira lagi siapkan air jahe hangat buat Mas Bayu supaya secepatnya sehat," balas Safira.
"Halah, alasannya banyak kali, emang dasar dianya malas itu," tukas Misnah.
"Iya, suami kamu banyak drama banget jadi orang. Mending kamu tinggalin aja cari yang lain aja deh, dari pada jadi beban," sambung Ibu mertuaku tiba-tiba datang dari dapur yang membuat aku tercengang mendengarnya. Beruntung ada sela-sela pintu jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Iya setuju," timpal Misnah dan Rita bersamaan.
"Astaghfirullah Ibu, kenapa Ibu bicara seperti itu." Sepertinya Safira juga tidak kalah terkejut mendengar perkataan Ibunya sendiri.
"Kamu itu sudah di guna-guna sama dia Fira, bisa-bisanya kamu tergila-gila dengan laki-laki pengangguran seperti itu, dari awal juga Ibu udah bilang gak setuju, kamu masih aja ngotot pengen bersamanya. Dan sekarang lihat nasib kamu seperti apa yang Ibu bayangkan," lanjut Ibu mertuaku.
Jadi seperti ini yang dialami Safira saat bersama keluarganya.
"Ibu, Mas Bayu itu enggak pengangguran!" sahut Safira.
"Halah, gak usah kamu tutup-tutupi deh. Ibu tau dia selama ini kerja sebagai buruh kan, lihat tuh, suami kakak-kakak kamu, orang berwibawa semua, Rita mempunyai suami seorang managers, Misnah mempunyai seorang suami sekretaris dan keduanya mempunyai kedudukan besar di perusahaan, Ida juga, orang kantoran, sedangkan suamimu, apa?" tukas Ibu lagi.
"Astaghfirullah, Ibu---" suara Safira terpotong.
"Fira, suami kamu dimana sih? Kenapa gak bantu-bantu diluar, lihat itu ayah sendirian masak daging kambing!" Seru mas Hendri suami dari kak Misnah yang tiba-tiba datang.
"Ada didalam kamar Mas---" lagi-lagi suara Safira terpotong.
"Apa? Didalam kamar? Dari tadi dia diam diri didalam kamar!" mas Hendri tanpa tak percaya.
"Mas Bayu lagi enggak enak badan tadi Mas, sebentar Fira cek dulu," sahut Safira.
Mendengar suara langkah Safira semakin mendekat pintu, aku sudah siap keluar pun membuka pintu kamar. Alhasil membuat semua orang kini menatap kearahku.
Ternyata keluarga Safira memandang harta, andai mereka tau siapa aku sebenarnya, apakah mereka akan berani mengatakan hal semacam ini kepada istriku.
Bersambung .....