7
Seminggu setelah sadar dari koma aku sudah diperbolehkan pulang. Dave yang mengantarku. Dia bilang Diego tidak bisa datang karena sedang ada urusan di luar kota. Pantas saja sudah dua hari ini dia tidak menjengukku di rumah sakit. Padahal biasanya dia datang setiap pagi dan malam. 

Aku baru ingat dengan segepok uang yang pernah kutemukan di atas meja malam itu. Aku langsung menanyakannya pada Dave, takut lupa lagi jika aku menanyakannya lain waktu. 

“Oh, itu. Emang sengaja buat ganti rugi karena kami sudah merepotkanmu. Tuan Diego sangat berterima kasih karena kamu tidak banyak tanya saat menolongnya,” jawab Dave. 

“Kalau boleh tahu, kenapa Tuan Diego sampai terluka?” tanyaku ragu. 

Dave terdiam sejenak, seolah ragu untuk menjawab. “Biasa, hanya saingan bisnis yang iri,” jawabnya mengambang. Mungkin tidak mau kalau aku sampai tahu kebenarannya. Baiklah aku tidak akan memaksa. 

“Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Aku hanya ingin membantu orang yang sedang kesusahan. Oiya, waktu itu kenapa Tuan Diego tidak langsung masuk ke rumah sakit saja? Kenapa malah naik ke mobil yang kutumpangi?”

Dave menoleh ke arahku lalu tersenyum. “Kamu bisa tanyakan itu pada Tuan Diego nanti. Aku tidak berhak menjawabnya,” ucap Dave yang lagi-lagi menyisakan pertanyaan di benakku.

Banyak sekali rahasia di hidup Diego dan aku sama sekali tidak berhak ikut campur. Dia bukan siapa-siapa bagiku. 

Nayla menyambutku di rumah. Tadi aku memang memberitahunya akan pulang hari ini. Pantas saja dia tidak menjemput, ternyata dia membereskan rumahku. Sahabatku ini memang paling super. 

“Maaf, aku tidak bisa menemani kamu, karena masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan.” Dave berkata sambil melirik pada Nayla. 

“Mmmhh.” Dave seperti ingin berkenalan, tetapi terlihat ragu. 

“Nayla,” ujar sahabatku itu seperti yang mengerti. 

“Oh, ya. Nayla, tolong jaga Michele, ya,” kata Dave kemudian. Gadis berambut sebahu itu langsung mengacungkan jempol. 

“Cantik,” guman Dave sambil berlalu. 

Aku menahan tawa mendengarnya. Akhirnya setelah sekian purnama, ada juga yang melirik sahabat cantikku ini. 

“Ish, apaan, sih?” Nayla mendengkus pelan. 

Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih dan titip salam untuk Diego. Dave hanya mengacungkan tangannya tanpa menoleh. 

Dan itulah terakhir kali aku bertemu dengan lelaki itu. Aku tidak berani untuk menghubungi Dave ataupun Diego. Bahkan setiap kali aku menjenguk bayiku di rumah sakit, aku tidak pernah bertemu dengannya. Padahal suster bilang sesekali Dave suka datang untuk mengetahui kondisi bayi yang kuberi nama Adnan yang artinya penenang hati. 


**

Sore itu terdengar gedoran di pintu. Terdengar sangat tidak sopan. Aku simpan dulu kertas pola yang sedang kuotak-atik, juga menaruh meteran pelastik yang tersampir di leher ke atas meja kerja. 

Siapa yang mengetuk seperti orang yang kesetanan? Tidak mungkin jika itu adalah Nayla. Dia tidak pernah mengetuk pintu dengan cara kasar seperti itu. 

“Michele! Buka pintunya atau kudobrak!” teriak seseorang di luar sana. Aku tahu sekarang, ternyata pe cun dang itu yang datang. Mungkin dia sudah mendapatkan surat penggilan dari kepolisian. Baguslah.

“Sekali lagi kau menggedornya dengan tanpa etika, aku pastikan kau juga akan mendapatkan somasi.” Aku mengancam dengan mata melebar sempurna. Tangan Dimas yang hendak kembali menggedor, seketika menggantung di udara.

Rahang Dimas mengeras. Dia tersenyum sinis padaku. 

“Berani kau, ya, sekarang?”katanya dengan wajah angkuh. Aku membalas senyumannya dengan tak kalah sinis. 

“Aku bodoh karena sudah mengemis tanggungjawab dari pe cun dang sepertimu. Tapi tidak usah khawatir, sekarang aku sudah menyadarinya.”

Dimas berdecih mendengar apa yang kuucapkan. Dia melihat pada perutku yang sudah rata. 

“Ke mana bayi itu? Apa dia mati?” tanyanya tanpa menurunkan kadar keangkuhannya. Sungguh demi apapun, hatiku hancur mendengarnya. Dia benar-benar menganggap kami seperti seonggok sampah. 

“Apa pedulimu?” tantangku dengan mengangkat dagu. 

Dia kembali berdecih. “Ya, aku memang tidak peduli,” katanya dengan kekehan mengejek. Saliva kutelan berat. Rasanya aku ingin memaki dan mem ban-tai lelaki di hadapan, tetapi otakku masih waras. Biar dia berhadapan dengan hukum saja. 

“Aku minta kamu cabut laporan pada Amel!” bentaknya. “Dia tidak bersalah. Dia hanya mempertahankan haknya terhadapku.” 

Seketika aku terbahak. Sungguh sangat lucu. Hak katanya. Walaupun pernikahan kami tidak terdaftar di catatan negara, tetapi akulah yang berhak pada Dimas di hadapan Tuhan pada saat itu. 

“Apa kau pikir lucu?” Dimas kembali membentak. 

Aku menggeleng sembari menahan tawa. “PIkirkanlah sendiri. apa itu lucu atau tidak.” Aku berbalik dan hendak membanting pintu. Tidak ingin lagi berlama-lama berhadapan dengan seorang pe cun dang seperti dia. 

“Tunggu!” sergahnya seraya menahan pintu. 

“Apa kau tidak dengar? Cabut laporanmu di kepolisian. Aku perintahkan kamu sekarang juga!” bentaknya. Membuat aku tertawa sinis seketika. 

“Kau ingin aku mencabut laporan?” tanyaku kembali menantang. Dia mengangguk dengan wajah terpasang angkuh. 

“Cium kakiku. Berlutut sekarang juga! Minta ampun padaku dan minta maaflah pada anakmu!” Aku membentak dengan napas tersengal dan mata melebar sempurna. 

Wajah Dimas semakin masam. “Apa kau ingin aku membunuhmu?” ucap Dimas menyambar leherku dan mencekiknya. Aku berontak dengan menendang selangkangannya. 

“Bu-nuhlah, agar kalian membu-suk di penjara!” teriakku dan langsung berbalik dan membanting pintu. Masih sempat kulihat tadi sesaat sebelum masuk, Dimas membungkuk dan meringis memegangi bagian sensitifnya. 

Aku segera mengunci pintu. Dan di sana  aku menangis tersedu. Memegang dada kemudian luruh di lantai. 

Lelaki yang begitu pe cundang, bodohnya aku pernah begitu mencintainya. 




Komentar

Login untuk melihat komentar!