"What is your name?” tanyaku masih dalam bahasa Inggris totok saat pertama kali bertemu. Gadis yang bersimpuh duduk didepanku tampak gelisah untuk menjawab karena ketidakmengertian bahasa serta kebingungan dengan kata-kata apa yang harus diucapkannya. Rambutnya hitam lurus terurai lepas. Terlihat rapi dan serasi dalam balutan baju panjang selutut yang terlihat usang tetapi sangat bersih dengan kain tapih bercorak gelap. Fisik sebagai seorang gadis tampak sempurna belaka. Saat ia tersenyum akan tampak lesung pipit dikedua belah pipinya, sehingga akan membuat siapapun yang melihatnya merasa senang. Pandangan pertama melihat seorang gadis Hindia Belanda yang telah membuatku langsung terkesan.
“Mayang ... ,Tuan!” jawabnya singkat dan pelan. Kata-katanya hampir tidak terdengar, ia menjawabpun masih dengan posisi duduk yang kedua kakinya terlipat sempurna dan kedua belah telapak tangannya menempel dikedua pahanya. Wajahnya tetap menunduk seperti takut terhadap orang yang baru dikenalnya.Tentunya komunikasi kami masih diterjemahkan oleh Arthur yang saat ini masih sering berada disampingku guna keperluanku berhubungan dengan orang-orang pribumi.
Selama aku belum terbiasa dengan bahasa Melayu, maka ketergantunganku dengan Arthur otomatis tidak akan dapat dilepaskan. Sedangkan pemuda plamboyan itu sendiri tinggal bersama dengan pemuda-pemuda Inggris lainnya disebuah asrama yang letaknya tidak jauh dari kediamanku saat ini: Harmonie, sebutan untuk daerah pemukiman dimana ramai sekali berdiam orang-orang berkebangsaan Eropa di kota Batavia.
Seorang Arthurlah yang telah membuat urusanku lancar tanpa hambatan sama sekali selama ini. Ia telah bisa mengatasi semua kendalaku dalam bahasa dengan orang-orang pribumi dan tentu saja sangat membantu disaat adaptasi awal kedatangan di Batavia. Kemudian secara perlahan dengan adanya interaksi harianku dengan Mayang, mengakibatkan kemampuan berbahasa Melayuku meningkat perlahan mesti masih terbata-bata dalam pengucapan kalimat-kalimat pendek.
Mayang, sebuah nama indah yang berasal dari sejenis bunga pohon palem yang belum mekar. Kami dipertemukan secara sengaja dikarenakan kebutuhanku akan asisten pembantu rumah selama tinggal di Batavia. Gadis manis itu berjanji akan melakukan pekerjaan seharian penuh dan ia meminta saat malam tiba untuk tetap kembali kerumahnya dekat kali Ciliwung. Disana jamak ditemui berderet-deret rumah reot dengan dinding beserta atap dari rumbia atau jerami seadanya, dan semuanya menghadap tepian kali. Meskipun seperti informasi yang kuketahui, umumnya asisten rumah tangga biasanya akan tinggal bersama dirumah tuan tempatnya bekerja.
“Aku harus kembali setiap malamnya,Tuan!” ia menegaskan syarat untuk bisa lanjut bekerja denganku. Aku mengangguk-angguk saja menyatakan persetujuanku. Meskipun syarat itu tidak lazim. Ditambah saat ini aku hanya butuh untuk memastikan rumah tetap dalam keadaan rapi, bersih serta kebutuhan sandang pangan harianku terpenuhi dengan baik.
Dari cerita yang kudapatkan sebelumnya, Harmonie adalah sebuah gedung tempat berkumpulnya warga Eropa untuk berbagai keperluan acara besar dan sangat berkelas. Sebelumnya gedung tersebut difungsikan sebagai benteng kota Batavia dari arah selatan. Disana sering diadakan pesta dansa dan tidak jarang dilanjutkan dengan pesta mabuk-mabukan sampai pagi sehingga perkelahian menjadi sesuatu yang lazim ditemui disana.
***
Saat ini, hujan rintik turun. Waktu telah menunjukkan pukul 4 sore, matahari masih bersinar dan terasa hangat menyergap tubuh disaat kumenikmati sore diberanda depan rumah.
“Silakan diminum Tuan Stewart!” seorang gadis terlihat membawa penuh nampan dikedua tangannya, “teh tubruk hangat dari Buitenzorg dan poffertjes” tiba-tiba Mayang mengejutkan lamunanku. Gelas dan makanan ringan diletakkannya sangat hati-hati dimeja dimana tempat aku biasa bersantai di sore hari untuk tea time. Tidak terdengar ada bunyi beradu satu sama lainnya antara gelas, piring, sendok maupun garpu. Posisi Mayang menyajikan tetap dalam keadaan duduk dengan kepala tetap tertunduk. Kemudian dengan posisi berjongkok Mayang berjalan mundur beberapa meter kebelakang sebelum berdiri tegak dengan wajah yang masih tertunduk. Mataku tertuju kepada gadis yang berkulit gelap nan eksotis yang mundur teratur. Menurutku itu adalah aktifitas yang sangat menyulitkan pergerakan dan membuat pekerjaannya menjadi lamban.
“Terima ... kasih ... , Mayang ” jawabku pendek sambil terbata-bata dalam bahasa Melayu yang mungkin bagi orang lain terdengar tidak jelas dalam aku melafalkannya, tapi aku tetap berusaha untuk menguasai secepatnya. Dan itu adalah sedikit kosa kata yang baru dapat kulafalkan setelah sebulan menginjakkan kaki di tanah Batavia.
Air teh pribumi beraroma sangat wangi menyegarkan dan terasa lembut di hidung. Meskipun tampak aneh, dimana sampah tehnya terlihat mengambang memenuhi seluruh permukaan gelas, mulai dari dasar bawah gelas sampai dengan yang terapung-apung diatas permukaan. Itulah sajian teh tawar hangat ditambah kudapan makanan ringan asal Belanda yang terasa manis menjadikan sore itu terasa lengkap. Sehingga beberapa halaman bacaan untuk persiapan misi di kerajaan Sambas Darussalam dapat kuselesaikan. Tanpa terasa sore itu waktu berlalu begitu cepatnya.
Mayang, seperti yang perlahan kemudian kuketahui adalah tipe seorang gadis pekerja keras. Ia mempunyai 2 adik laki-laki dan 1 adik perempuan, malangnya, adik-adiknya semua meninggal sejak balita. Disebabkan penyakit yang menyerang hebat penduduk saat itu baik yang disebabkan oleh muntaber berat maupun sakit kuning, walaupun dokter Eropa Belanda saat itu telah bekerja keras untuk meredakan wabah yang melanda seluruh penduduk kota.
Sedangkan ibunya saat ini bekerja sebagai buruh tani untuk mencukupi kebutuhan harian keluarga dilahan pertanian milik orang Belanda disekitar tempat tinggalnya.
Meskipun tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah formal, disebabkan hidup sebagai masyarakat pribumi miskin, tetapi dengan kemauan belajar yang kuat, ia tetap dapat membaca dan menulis latin. Mayang yang berusia 16 tahun adalah seorang gadis yang cerdas, berkemauan belajar kuat dan mengabdikan sepenuh hidupnya untuk kesempurnaan pekerjaannya dalam membantu kehidupan keluarganya.
Perlahan kuketahui kemudian. Sedari kecil, gadis yang kulitnya sangat khas Asia dengan tinggi sekitar 160 sentimeter itu telah ikut membantu ibunya bekerja pada keluarga Belanda. Ia justru hanya berkesempatan belajar pada saat menemani anak-anak meneer Belanda yang sedang belajar dengan guru yang didatangkan khusus tersebut. Disaat itulah seorang Mayang serta merta menyerap ilmu baca tulis secara langsung.
Mayang masih dapat dikatakan beruntung. Beberapa gadis sebayanya dikampung bahkan sudah harus menjadi ibu rumah tangga dengan anak yang harus digendong dipinggulnya karena telah dinikahkan oleh orang tuanya akibat kemiskinan dan kemelaratan hidup.
Perlahan hubunganku hari demi hari dengan Mayang bertambah dekat. Sejalan dengan bertambahnya perbendaharaan kata-kataku dalam berkomunikasi lisan yang tidak lagi menggunakan penterjemah Arthur. Selain kerja Mayang yang cekatan, ia juga telah mampu membuatku penasaran akan kuliner Hindia Belanda yang beraneka ragam bentuk dan rasanya.
Di Batavia, selera makanku banyak diserang oleh citarasa makanan pribumi yang banyak menggunakan berbagai jenis rempah Asia yang tumbuh subur dan tersedia melimpah. Dimana kecenderungan rasa masakan untuk hidangan utamanya mengarah ke rasa gurih dan pedas.
Justru banyak jenis sajian olahan makanan yang dibuat Mayang selalu menggugah selera dan rasa keingintahuanku lebih jauh. Bahkan ada beberapa menu makanan Hindia Belanda yang kutunggu-tunggu harus ada di meja makan.
“Aku suka sayur asam dan lodeh...ditambah ikan goreng sungai!” suatu ketika kalimat itu kukatakan kepada Mayang yang bertanya kepadaku untuk dimasakkan apa esok harinya.
“Sambal terasi juga, Tuan?” gadis berlesung pipit itu mengingatkanku sambil tersenyum kepadaku.
“Ya, itu!” jawabku singkat sambil mengangguk bersemangat sambil tersenyum.
Arti senyuman Mayang, mungkin bisa saja akibat kata-kataku masih banyak yang terdengar janggal. Bisa juga senyumannya karena ia langsung mengingat kejadian saat pertama kali merasakan sambalnya yang membuat lidahku terasa terbakar. Hal yang menyebabkanku berulangkali bolak balik ke kamar mandi untuk buang air. Kuakui, sebenarnya tugas Mayang telah berhasil membelokkan selera makan Eropa-ku yang sederhana dan monoton ke selera Hindia Belanda yang kaya cita rasa.
Selain itu, selera makan Eropaku sebenarnya juga terobati dengan beberapa sajian makanan utama yang juga biasa rutin disajikan Mayang seperti banger and mash . Sedangkan menu favoritku adalah cottage pie .
Kuakui memang tidak mudah hidup sendiri dan terpisah jauh dari keluarga di negeri yang perbedaan budaya dan cuacanya sangat ekstrim. Kerinduan terhadap Bristol dan kesepian karena kesendirian sering melanda hari-hariku terutama diawal kedatangan di Batavia. Meskipun disini sering diadakan pesta-pesta oleh pejabat tinggi kerajaan di gedung bergengsi yang bernama Societeit Harmonie. Sebuah pesta yang sangat menghibur dan menghilangkan kesepian sesaat bahkan pesta sering diadakan sampai menjelang pagi. Acara yang diisi dengan pesta dansa dan minum-minum sampai pagi seperti kebiasaan yang ditemukan di tempat kelahiranku. Tentu disaat pesta akan ada beberapa gadis pribumi lainnya yang menemani untuk pesta-pesta yang diadakan sepanjang malam tersebut.