Tini segera mengambilkan dan menyuapi makan untuk Lina, putri bungsunya. Ia sangat bahagia melihat anak-anaknya hari ini bisa makan dengan layak.
"Itu apa, Bu?" tanya putri kecil berusia lima tahun itu.
"Daging, Nak. Ayo a'. Yang banyak makannya ya," jawab Tini saat anaknya menunjuk pada potongan daging yang ada di dalam mangkuk.
Ya, dari dua bungkus sayur sop yang dibawa Johan, ia menemukan lima potongan daging berukuran kecil. Ia sengaja pisahkan dan membuat potongan daging itu semakin kecil untuk anak-anaknya makan lagi nanti.
"Enak banget, Bu," ucap Lina sambil tersenyum.
Setelah selesai dengan Lina, Tini beralih ke Ajmi. Pukul tujuh kurang sepuluh menit, anak itu sudah rapi dengan seragam sekolah. Tini segera memotret Ajmi dan mengirim ke guru sekolah sebagai absensi.
Ia menatap ponsel yang ia dapat dari bantuan sekolah Ajmi. Rumahnya juga dilewati oleh jalur Jak-Wifi, sehingga ia tidak perlu keluar biaya untuk membeli quota internet setiap bulannya.
Tini melihat ke arah jam yang ada di ponsel itu. Masih ada waktu sebelum tugas Ajmi diberikan. Tini menimbang-nimbang cerita Sarah tadi. Sambil sesekali menatap wajah Ajmi, ia membuka playstore dan mencari aplikasi menulis yang Sarah katakan.
"Yah, memori hapenya penuh," keluh Tini. Ia melihat kembali ke arah Ajmi, ada rasa bersalah karena menggunakan ponsel Ajmi bukan untuk keperluan sekolah seperti apa yang pernah mereka sepakati.
Namun, rasa penasara Tini tak dapat dibendung. Tini membuka galeri, ia memilih foto-foto dan juga video tugas kemudian segera menghapus semua yang telah selesai disetorkan ke sekolah.
Setelah dirasa cukup, kemudian ia segera kembali ke playstore lalu mendowload aplikasi menulis online tadi.
Tini login dan membaca beberapa cerita di sana sesuai dengan petunjuk yang ia ingat dari ucapan Sarah tadi. Raut wajah Tini berada di antara rasa senang dan tidak.
'Cerita novelnya banyak yang miris ya. Aku kira cuma hidupku saja yang miris,' batin Tini. Setelah itu, ia memberikan ponsel itu kepada Ajmi.
Tini memandang meja makannya yang hari ini berisi banyak makanan dan juga dompet yang sudah berisi uang tujuh puluh lima ribu rupiah. Senyumnya kembali merekah.
"Rezeki memang nggak akan ke mana," ucap Tini.
Ajmi telah sibuk dengan tugas sekolah, anak itu termasuk anak yang penurut dan juga cerdas. Tini memandang Ajmi dengan serius.
"Ajmi, Ibu mau ke rumah Nenek ya. Sepertinya Nenek lagi ada acara di rumah. Ibu nggak enak kalau nggak bantuin di sana padahal sudah dikirimin nasi sama Nenek."
"Iya.. Biar Ajmi jaga Lina, Bu."
"Tapi setelah tugasnya selesai, hapenya ditaruh ya, Nak. Jangan sampai rusak. Nanti kamu nggak bisa sekolah kalau rusak."
"Iya, Bu."
Tina segera berdiri dan beranjak keluar rumah setelah memberi pesan kepada Ajmi dan Lina.
Rumah Juju, ibu mertuanya Tini hanya berbeda dua gang dari rumahnya. Tini hanya memerlukan waktu sepuluh menit untuk tiba di sana. Dari kejauhan ia melihat Keluarga Juju sudah berkumpul dalam keadaan rapi dan berkumpul di jalanan depan rumah. Ada juga saudara jauh Juju dan beberapa tetangga yang berkumpul di sana.
Ada tiga buah mobil yang tersedia di sana. Tini tahu bahwa ketiga mobil itu adalah milik tetangga dekat rumah Juju yang bekerja sebagai Go Mobil.
"Mereka mau ke mana ya? Rapi banget. Apa Nana wisuda hari ini? Tapi nggak mungkinlah, kan dia baru satu tahun kuliahnya," ucap Tini pada diri sendiri.
Tini kemudian melangkah mendekati rumah Juju, setidaknya ia berpikir untuk menyapa karena sudah berada di sini. Namun, lidahnya terasa kelu saat ia berdiri di dekat rumah Juju, karena semua mata seakan memberi pandangan tidak suka kepadanya.
"Mbak Tini. Kok ke sini sih? Nggak mandi ya?" tanya Nana dengan nada ketus dan sinis kepada Tini. Ia juga mengibas telapak tangannya beberapa kali di depan hidung.
Tini terdiam dan menunduk. Seharusnya tadi pagi ia menyempatkan diri untuk menyalin pakaian sebelum ke mari.
"Ada acara apa, Bu?" tanya Tini kepada Juju, mengabaikan ucapan adik iparnya tadi.
"Bukan urusan kamu! Mending kamu pulang saja, kasih makan anakmu," jawab Juju, tak kalah sinis.
Tini kembali terdiam, pandangannya kini beralih ke arah pintu rumah Juju. Johan keluar dari sana dengan sangat rapi dan tampan. Laki-laki itu masih terlihat gagah dan tampan, mengingatkan Tini pada saat mereka akan menikah.
"Mas ...." sapa Tini.
"Kamu ngapain ke sini, Tin? Anak-anak sama siapa?" tanya Johan, ia sangat terkejut dengan kemunculan Tini.
"Mereka ada di rumah, Mas. Ajmi sedang mengerjakan tugas sekolah."
"Seharusnya kamu dampingin dong. Jangan malah ditinggal. Lina sudah dikasih sarapan, belum?" tanya Johan lagi.
"Iya. Sudah. Makanya aku ke sini. Mau bilang makasih sama Ibu. Aku pikir, Ibu bikin acara. Jadi aku mau bantu-bantu."
"Nggak usah! Kita semua mau pergi. Udah kamu pulang sana!" bentak Johan.
"Udah, yuk. Udah siap semua kan? Ayo berangkat sekarang," perintah Juju dengan suara keras, membuat semua yang berkumpul di sana hendak masuk ke mobil.
Tini menepi, memberikan jalan pada orang-orang yang berjalan menuju mobil. Ia hanya bisa menatap mobil yang membawa keluarga besar suaminya pergi.
Setelah mobil-mobil itu tak lagi tertangkap mata, Tini menarik napas panjang, mengingat tingkah Juju dan Nana. Memang bukan sekali, dua kali keluarga Johan berlaku ketus kepadanya. Sebisa mungkin, ia berusaha memakluminya.
"Tini!"
Tini menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
"Sarah," sahut Tini sambil tersenyum kemudian menghampiri Sarah.
"Kamu dari mana, Sar?"
"Ngajak Ghani keliling," jawab Sarah sambil menunjuk balita yang ada di dalam kereta dorong.
"Kamu sendiri ngapain?"
"Ooh, tadi Mas Johan pulang bawa sayur. Aku pikir, Ibu ada acara jadi aku ke mari mau bantu-bantu. Nggak taunya mereka mau pergi," jelas Tini.
"Kamu nggak marah, Tin?"
"Kenapa marah? Emangnya aku anak kecil, yang nggak diajak pergi, terus marah?"
Sarah melihat ke arah Tini dengan seribu perasaan berkecamuk. Pagi tadi ia menahan lidah agar tidak menyakiti perasaan Tini. Namun, melihat perlakuan keluarga Johan kepada sahabat kecilnya tadi membuat Sarah emosi.
"Kamu tau ke mana mereka pergi, Tin?"
Tini menggeleng.
Sarah menggenggam pegangan kereta dorong dengan kuat. Ingin rasanya ia memaki Tini karena telah memilih menikah dengan Johan. Laki-laki itu dengan sempurna merebut keceriaan yang ada dalam diri Tini. Namun, ia sadar jika meluapkan kemarahannya saat ini hanyalah akan berbuah kesia-siaan.
"Semua orang di sekitar sini sudah tau mereka mau ke mana. Cuma kamu doang yang nggak tau, Tin!"
Sarah sedikit berteriak, tetapi setetes air bening dari matanya keluar tanpa bisa ia cegah. Tini merasa bingung dengan sikap Sarah.
"Kamu juga tau? Emang mereka mau ke mana, Sar?"
"Mereka mau mengantar Johan menikah! Johan telah mengkhianati kamu, Tin!"