Ukiran Takdir
Oleh: RD Dinne Noviane
"Ucapan adalah doa", demikian adagium yang sering kita dengar. Namun, aku belum sadar sepenuhnya akan makna kata-kata tersebut dalam hidup.
Masih ingat ketika masa SD dulu, ibu guru selalu bertanya, “Apa cita-cita kamu?” Jawabanku ketika itu adalah ‘menjadi guru’.
Memang itu jawaban anak pada umumnya, selain dokter, polisi, dan tentara.
Namun, sungguh Allah itu begitu dekat, begitu baik, dan sebaik-baik pembuat rencana.
Awal kumenginjakkan kaki di dunia kerja sekitar tahun 2015. Saat itu, aku lulus dari Universitas Galuh Ciamis, tepatnya pada Bulan Agustus. Setelah lulus, aku sempat diam di rumah beberapa bulan.
Hingga pada akhir Desember aku mendapat interview kerja pertama, di sebuah perusahaan swasta di Kota Banjar. Pekerjaanku waktu itu adalah sebagai staf administrasi bagian mekanik. Memang tidak sesuai dengan backgroundku yang dari pendidikan. Setiap hari harus bergelut dengan layar komputer dari pagi hari hingga petang. Hal ini menjadi salah satu penyebab aku memutuskan untuk keluar setelah kurang dari 3 bulan aku bekerja.
Entah mengapa, rasanya hati ini tidak betah. Meskipun penghasilan untuk pemula dapat dikatakan cukup lumayan.
Setelah keluar dari sana, aku sempat ‘menganggur’ dan hanya membantu ibu di rumah. Lama-lama banyak omongan sumbang yang cukup menusuk ke telingaku. Ada yang bilang “Sarjana kok nganggur?”, “buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo gak kerja?”, “udah gede masih ngerepotin orang tua” dan masih banyak lagi. Meskipun itu sudah menjadi hal biasa yang terjadi pada banyak orang, tetap saja ada rasa kecewa, sedih, dan sedikit marah saat mendengarnya.
Beberapa bulan setelah keluar dari perusahaan itu, aku sempat bekerja sebagai penunggu lapak dagangan orang lain. Namun hanya bertahan kurang dari seminggu, karena ada rasa malu dan sedih saat ingat bahwa aku lulusan sarjana yang berakhir jadi ‘penunggu lapak dagangan orang lain’.
Mungkin di sini ego ku masih kekanak-kanakan. Padahal pekerjaan apapun, asalkan halal tentu akan mendapat manfaat. Di sinilah mungkin salah satu titik terendahku saat memandang remeh sebuah pekerjaan, dan malah memilih menganggur kembali.
Tidak lama setelah itu, sepupuku memberi kabar yang cukup membawa angin segar. Dia membawa kabar, bahwa ada lowongan pekerjaan di sebuah yayasan PAUD untuk seorang pengajar.
Tanpa pikir panjang, daripada harus menganggur, aku langsung setuju. Menjadi guru di PAUD itu tidak bisa dikatakan mudah, tetapi tidak sulit juga. Hanya butuh kesabaran ekstra dan pandai ‘merayu’ mood anak agar tetap stabil. Selama hampir 7 bulan aku bertahan disana. Dalam hati selalu berkata “tidak mungkin seperti ini terus. Kapan mau bantu orang tua, kapan mau menggembirakan orang tua? Kenapa sudah sebesar ini masih merepotkan orang tua dan keluarga?” perang batin itu, selalu berakhir di hati saja. Tak jarang kata-kata dengan nada penuh keluh kesah terlontar.
Akhirnya, aku putuskan untuk mencari pekerjaan yang lain.
Tidak lama setelahnya, datang salah satu temanku memberi tahu lowongan kerja menjadi guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah swasta. Aku ditugaskan menggantikannya mengajar, karena ia pindah mengajar ke sekolah lain.
Alhamdulillah dari sini aku bisa mencukupi kebutuhanku sedikit demi sedikit. Selama satu setengah tahun itu aku belajar lagi mendidik, mengajar, dan membelajarkan anak. Jujur saja, lama tak mengajar membuatku sedikit canggung dan malu masuk lagi ke kelas. Aku lupa cara-cara mengajar, dan apa saja yang harus dipersiapkan.
Ternyata benar, ilmu itu akan bermanfaat jika digunakan. Namun ia senantiasa hilang, jika tidak digunakan.
Sampai tibalah informasi adanya tes CPNS di pertengahan tahun 2018 itu. Awalnya aku tak tertarik, dan sudah minder mendengar pesertanya saja sudah ribuan. Aku tidak berniat mengikuti seleksi tes CPNS itu, padahal kakakku, rekan-rekan kerjaku sibuk mempersiapkan persyaratannya.
Namun, orang tua, kakak, teman-teman, sampai kepala sekolahku menganjurkan untuk ikut seleksi tersebut. Rata-rata mereka bilang “Coba saja dulu, kan gratis. Tidak harus bayar”.
Akhirnya aku terbujuk juga untuk mengikuti tes tersebut. Setiap hari ada saja waktu untuk aku dengan rekan kerjaku berdiskusi beberapa hal tentang soal-soal tes CPNS itu.
Meski begitu, kami hanya menjadikan diskusi itu diskusi yang santai sambil bersenda gurau.
Lalu bagaimana dengan persyaratan yang harus dikirimkan via internet itu?
Aku sangat berterima kasih kepada kakak-kakakku yang suka rela membantu dari awal hingga akhir. Mulai dari scan berkas sampai mengunggahnya ke internet.
Waktu itu kebetulan ibuku sedang sakit, bahkan harus dilarikan ke rumah sakit. Ketika aku yang berjaga di rumah sakit, kakakku yang mengupload berkas-berkas itu, bahkan kami sempat berdiskusi via telepon tentang sekolah tujuanku yang awalnya sekolah A, kakakku menyarankan sekolah B. Aku pun menuruti anjuran kakakku itu, alasannya karena ia pun sekolah di sekolah B.
Usaha yang aku lakukan menghadapi tes ini antara lain 1). Berdoa pada Allah (ya Allah, mudah-mudahan ada rezeki untukku dan mudahkanlah, jika pun tidak, sabarkan hamba)
2) Minta doakan kepada Ibu (orang tua)
3) Download aplikasi-aplikasi yang berkaitan dengan tes
4) Banyak bertanya tentang informasi untuk tes
5) Pasrah.
Tibalah hari seleksi tes CPNS itu. Pagi hari sebelumnya aku shalat dhuha sambil menunggu waktunya tiba, tak lupa aku minta maaf dan minta doa kepada ibuku (kenapa aku tak menyebut ayahku? Beliau telah menghadap Ilahi sejak tahun 2013, ketika aku masih kuliah di tingkat 2).
Waktu itu aku melaksanakan tes SKD (Seleksi Kompetensi Dasar) tanggal 6 November 2018 sesi 5 (kalau tidak salah).
Aku berangkat dari Banjar ini menumpang mobil temanku yang juga mengantarkan sepupunya ikut tes ini (istilahnya ‘nebeng’). Bermodalkan niat, doa, dan sedikit hapalan aku beranqkat ke Tasik, tempat tes berlangsung. Tiba di sana aku bergabung dengan beberapa rekan yang aku kenal.
Dari awal, hati ini sudah tidak karuan (dag-dig-dug-der). Kuucapkan berbagai doa untuk menekan rasa grogi dan ‘deg-degan’ ini. Masuk ruangan, badan mulai panas dingin, perut pun sudah mulai perih ‘keroncongan’.
Aku coba fokus, berpikir, memilih, dan tetap berdoa. Hingga waktu mengerjakan soal hampir habis, terdengar sayup adzan magrib. Aku periksa kembali semua soal, takut ada yang terlewat.
Dengan mengucapkan bismillah, aku pasrahkan hasilnya.
Dan… alhamdulillah aku mendapat nilai total 365 dengan semuanya di atas passing grade.
Antara percaya dan tidak percaya. Rasanya ingin menangis, senang, kaget, semua bercampur. Mulut ini tak berhenti berucap syukur. Keluar dari ruangan, tangan ini masih bergetar, badan terasa panas dingin (mungkin karena kaget bercampur lapar), mataku pun berkaca-kaca (antara sedih, shock, terharu, dan mengantuk). Aku lihat kanan kiriku orang-orang disambut keluarganya, temannya, atau pasangannya. Waktu itu aku masih menunggu dan mencari temanku (untuk menumpang pulang). Sambil mencari, aku balas pesan kakakku yang menanyakan hasil tes ku. Dengan mata kerkaca-kaca ku bilang “alhamdulillah, aku lulus”.
Aku pun pulang bersama temanku, rasanya ingin segera sampai saja di rumah dan kucium tangan ibuku.
Setelah itu hari berlalu, banyak orang meninggalkan mimpinya di ruangan itu karena tidak memenuhi passing grade yang ditentukan.
Namun, ada pula yang masih menunggu kelanjutan ‘perjuangannya’ dengan harap-harap cemas.
Begitu pun aku. Aku belum tahu siapa saja yang menjadi pesaingku, atau siapa saja yang lolos di tahap SKD ini. Doa terus aku panjatkan, karena harapan itu masih ada.
Kabar kelulusan tahap SKD pun datang. Informasi peserta yang lolos itu diumumkan lewat web BKD Banjar dalam bentuk file pdf. Dengan hati yang berdebar, ku cari namaku dalam daftar SMPN 3 Banjar (instansi yang ku pilih, sebagai guru Bahasa Indonesia).
Alhamdulillah, sungguh Allah itu baik, Dia memang sebaik-baik pembuat rencana.
Aku satu-satunya peserta yang lulus passing grade. Padahal waktu itu dari segi nilai sebenarnya aku kalah dari pesaingku di urutan kedua. Masih ingat nilai SKD-ku? Ya. 365, dan peserta kedua memiliki nilai 370 namun salah satu bidangnya kurang dari passing grade. Ku beritahukan kabar gembira ini kepada ibu, kakak, dan adikku. Ibuku yang saat itu masih dirawat di rumah sakit menangis haru dan tak lepas dari berucap syukur.
Aku pun tak lupa sujud syukur karena kabar gembira ini. Aku lulus ke tahap SKB (Seleksi Kompetensi Bidang) tanpa pesaing.
Sambil terus mengikuti informasi dari BKD, aku ikuti semua alur seleksi sampai tes SKB. Pada tahap seleksi ini, aku diantar adikku ke Tasik.
Alhamdulillah untuk tahap ini, karena aku lulus sendiri di instansi yang aku tuju, tes SKB ini hanya perlu kehadiran dan mengerjakan soal yang ada.
Sedangkan hasilnya, tetap tidak akan mempengaruhi kelulusan. Setelah itu, tahap demi tahap aku jalani. Mulai dari menunggu pengumuman kelulusan, pemberkasan, pembagian SK, sampai aku harus mengucapkan selamat tinggal pada sekolahku yang sebelumnya dengan berat hati.
Hingga sekarang aku menjalankan tugasku di tempat baru.
Bismillah… semoga kita semua bisa menjalankan kewajiban kita sebagai guru yang amanah, dan Allah limpahkan rezeki yang barakah di dunia akhirat untuk kita semua. Perjalanan ini belum usai, perjalanan ini masih panjang.
Namun, tak lupa kuucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, sahabat, kerabat, dan orang-orang terdekat yang telah mendukung dan membantuku baik berupa pemikiran, usaha, dan doa.
Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian di dunia dan akhirat. Aamiin…
*Penulis adalah CPNS Guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Banjar