Bab 2
[Tentu saja, Tante. Itu adalah karya Nasya dan memang sengaja pakai nama Mama dan Fema. Supaya abadi di buku Nasya karena terus-menerus menyakiti hati kami.] 


Setelahnya aku keluar dari grup itu. Tak lama kemudian banyak pesan pribadi dan telepon dari Mama, juga Fema. 


Rasakan! 
Salah siapa hobinya menyakitiku? Namanya jadi abadi, kan? 

--


"Loh, Mas beli makan?" tanyaku saat melihat Mas Sani datang membawa plastik. 


"Iya, Mas lapar. Tadi lihat di meja makan cuma ada ayam sisa satu saja, jadi Mas beli."


Aku tersenyum. Inilah hal yang membuatku berat meninggalkannya. Di balik diamnya ia ketika aku dihina, masih banyak kebaikan yang ia perbuat untukku. 


"Kamu makan dulu, biar Mas lanjutkan jagain Lina," ucap Mas Sani. 


"Nggak papa, biar Lina ditaruh di sini saja."


Aku masuk ke dalam kanar dan menggendong bayiku yang masih tertidur itu. Melihatnya, seolah sakit karena penghinaan itu lenyap sudah. Duh, Nak, kamu sangat menggemaskan! 


Aku pun meletakkan Lina di kasur depan televisi, lalu mulai menyuap nasi padang yang sudah disiapkan suami. 


"Loh, itu bukannya ayam yang adek masak?"


"Iya, masakan adek jauh lebih enak, jadi Mas tadi beli nasi aja. Toh nasi kita juga habis." 


Aku menepuk jidat. Benar, aku belum masak nasi karena niatnya memang akan makan di rumah Mama, aku tak sampai terpikir akan mengalami hal tadi. 


"Alhmdulillah."


"Biar adek saja yang bereskan, Mas." 


"Sudah nggak papa, kamu cuci tangan saja sana." 


Aku mengangguk. Mas Sani memang termasuk orang pembersih. Banyak yang kupertimbangkan ketika terpikir untuk meninggalkannya. Dia sudah disakiti keluarganya, masa aku juga akan memberikan luka yang sama padanya? 

--


Esok hari. 


Tok-tok! 

Aku bangkit dari kursi, lalu membuka pintu. Terlihat Mama dan Fema datang dengan wajah geramnya. Aku sudah menduga, pasti mereka akan datang. Terbukti, kan? 


"Mana Sani?"


"Mas!" panggilku. 


Mas Sani yang baru selesai mandi pun keluar, ia keheranan melihat Mama dan Fema datang. 


"Ada apa?" 


"Ajari istrimu ini untuk sopan santun, ya! Apa maksudnya dengan memakai nama Mama dan Fema untuk novelnya? Berapa sih, bayaran untuk novel online yang bahkan nggak ada wujudnya?" 


"Iya, paling dua ratus atau tiga ratus ribu. Tapi demi duit segitu, Kak Nasya sampai tega menghina kami, Mas! Menjadikan nama kami sebagai mertua jahat dan adik ipar jahat juga. Karena perbuatannya, kami diejek oleh keluarga di grup chat kemarin!"


Mas Sani menatapku tajam. Matilah aku! Bagaimana jika ia marah? 


"Benar begitu, Dek?" 


"I-iya, Mas." 


"Nah, kan, ngaku juga dia! Berarti memang benar kalau kamu ingin membuat malu kami ya, Sya! Kurang baik apa kami selama ini?" 


Hah? Kurang baik apa? Kurang banyak! 


"Kurang banyak!" 


Aku menoleh ke arah Mas Sani. Bagaimana bisa pemikirannya sama denganku? 


"Maksudmu?"


"Kurang banyak kebaikan yang kalian perbuat pada kami. Lebih banyak hinaan yang kami terima. Ma, apa Mama tidak lelah menghina serta meremehkan kami terus? Perusahaan itu, seharusnya jadi milik Sani, tapi karena Mama kekeuh ingin memegangnya, maka Sani mengalah. Ingat ya, Ma, mengalah bukan berarti menyerahkan. Perusahaan itu masih atas nama Sani. Jadi, jangan sampai Sani berubah pikiran dan merebut pabrik itu kembali." 


Wajah Mama dan juga Fema memerah, mungkin marah serta tak menyangka akan mendapat respon tegas seperti ini dari anak yang mereka remehkan. 


"Oh, jadi kamu lebih membela dia, San?" 


"Tentu. Nasya adalah istri saya, jadi harus dibela dan dilindungi. Selama ini saya diam, bukan berarti kalah dan menerima semua perlakuan kalian. Oh, tidak! Mama dan Fema sebaiknya pergi, sebelum aku benar-benar marah pada kalian." 


"Ingat, Sya, hapus nama kami dari dari novelmu itu. Jangan jadi menantu durhaka demi uang tiga ratus ribu!"


Giliran begini, ia merasa aku durhaka dan merasa terdzolimi. 

Ting! 
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Aku tersenyum, segera kutunjukan isi pesan itu pada mereka. 


"Ti-tiga puluh juta?!" 

Komentar

Login untuk melihat komentar!