"Mama adalah direktur di sana, jadi bisa saja Mama memecatmu karena kamu adalah karyawan," ucap Mama seolah menjawab pertanyaanku.
"Ini semua karena ulah istrimu. Seandainya saja ia tak k*r*ng ajar, sudah pasti kamu tak akan dipecat. Sekarang kamu pilih, mau kembali bekerja atau kamu ceraikan dia?!"
Deg!
Apa maksud Mama menyuruh Mas Sani menceraikanku? Apakah suamiku itu akan menuruti ucapan ibu tirinya dan meninggalkanku serta Lina?
--
"Mama menyuruhku menceraikan Nasya? Jangan harap! Mama hanyalah ibu tiri, yang bisa saja tak mempedulikanku. Sekarang saja sudah kelihatan, kok. Mama mau menguasai semuanya, kan?"
"Nasya benar-benar sudah membutakan mata hati kamu, ya, San. Ingat, Mama yang merawatmu sejak kecil!"
"Bukan Mama, tapi Mbok Yem yang merawatku. Mama hanya bisa menghabiskan uang Papa saja dulu. Bahkan saat Sani ingin membeli tas baru karena sobek, Mama dengan entengnya mempengaruhi Papa untuk tak membelikannya, kan?"
Astaghfirullah... Ternyata cerita ibu tiri jahat tidak hanya ada di sinetron. Suamiku sendiri mengalaminya. Kuusap tubuh Lina yang seakan merasa tak nyaman karena suara keras di luar sana.
"Oh, melawan kamu, ya? Lihat, apa yang kamu bisa tanpa Mama. Mulai hari ini, kamu dipecat!"
Brak!
Aku terperanjat saat mendengar suara gebrakan. Mungkin Mama keluar dengan cara membanting pintu. Sungguh tak ada adab. Meskipun ke rumah anak, tapi tak sepantasnya ia berlaku begitu.
Tak lama kemudian, Mas Sani masuk. Matanya berkaca saat menatapku. Aku bangun, lalu memeluknya. Ia pasti sangat terluka saat ini. Bagaimana diperlakukan tidak adil sejak kecil dan sampai sekarang.
"Jangan dengarkan ucapan Mama karena itu tidak benar. Aku, selamanya akan bersama kamu dan anak-anak kita," ucap Mas Sani.
"Iya, Mas. Aku percaya kamu."
"Aku memang nggak pernah cerita tentang masa laluku. Kupikir, untuk apa? Kita hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu. Semoga kamu bisa tetap menerima Mas meskipun sekarang Mas pengangguran," ucapku.
"Mas nggak pengangguran, karena kita akan mulai berjualan bakso. Syukurlah, kalau Mas dipecat. Jadi kita bisa lebih cepat membuka usaha kita, Mas. Kita buktikan sama Mama dan Fema, kalau kita bisa tanpa mereka."
"Mas pengen ngadu ke Nenek, tapi rasanya tak mungkin. Nenek dan Mama sama saja. Mama terlalu banyak mempengaruhi Nenek sehingga tak menyukaimu."
"Aku nggak peduli jika orang lain tak menyukaiku, asal kamu tetap memandangku, Mas."
Jadilah malam itu, kami berromantis-ria dan diakhiri dengan ibadah halal pasangan suami istri.
--
Pagi.
Penjual gerobak beserta isinya itu datang menggunakan mobil pick-up. Aku yang sedang belanja di tukang sayur pun menoleh, menyudahi acara belanjaku dan segera membayar.
"Kamu mau jualan, Sya?" tanya Rohma, teman akrabku di sini.
"Iya, Ma. Mau jualan bakso."
"Wah, bagus tuh. Bakso buatanmu kan enak," ucap Rohma.
"Kamu sudah nyobain emang, Roh?" tanya Ibu-ibu yang lain.
"Sudah, Bu. Memang enak, apalagi yang kuah taichan. Beh, seger-seger pedes."
"Wah, kita harus coba nih nanti. Jualan di mana, Sya?" tanya Bu Siska, pemilik kontrakan.
"Di ruko depan alun-alun itu, Bu."
"Oh, yang punya Haji Salim, ya?"
Aku mengangguk. Alhamdulillah, semoga saja nanti mereka mau membeli. Aku melihat ke arah Rohma, secara tidak langsung dia mempromosikan daganganku yang belum buka ini.
Aku pun bergegas menuju rumah, terlihat Mas Sani tengah berbincang dengan penjual itu sementara dua orang lain menurunkan gerobak serta isinya.
"Jadi, maunya langsung ke ruko ya, Mas?"
"Iya, Pak, gimana? Nanti saya tambahi ongkosnya."
"Ya sudah kalau begitu."
Akhirnya gerobak itu dinaikkan kembali. Aku pun sudah bisa menebak dengan mendengar pembicaraan mereka barusan. Mas Sani ingin meletakkan gerobak ini langsung di ruko.
"Mas ke ruko dulu, ya?"
"Siap, Mas. Adek mau bebenah dulu."
Mas Sani mengacungkan jempolnya, sementara aku mengambil uang dan memberikannya pada penjual itu. Ia sempat menolak, tapi kuyakinkan jika ini memang rezekinya.
--
Esok hari.
Mas Sani sudah mulai berbelanja bahan-bahan bakso dan juga menggiling adonannya. Tentu dengan resepku. Ia ke sana hanya membeli daging di tukang giling, sementara takaran bumbunya dariku.
Pulang ke rumah, aku segera mencetak bakso-bakso itu dan menaruhnya di baskom besar. Aneka bakso urat, telur, isi cincang, mercon, bakso jumbo, semuanya kubuat. Untuk pertama, aku menyuruh Mas Sani menggiling lima kilo daging dahulu. Kita tak tahu seperti apa nanti usaha, ini hanya untuk permulaan.
Satu persatu bahan diangkut Mas Sani menggunakan keranjang di motor. Aku menatap Mas Sani yang mulai menjauh, berdo'a semoga usaha kami lancar.
Aku pun masuk, bermaksud segera mandi setelah melihat Lina tengah terlelap. Namun, langkahku terhenti saat ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dan ... Ya Allah!
Login untuk melihat komentar!