Bab 3

"Ingat, Sya, hapus nama kami dari dari novelmu itu. Jangan jadi menantu durhaka demi uang tiga ratus ribu!"


Giliran begini, ia merasa aku durhaka dan merasa terdzolimi. 

Ting! 
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Aku tersenyum, segera kutunjukan isi pesan itu pada mereka. 


"Ti-tiga puluh juta?!" 

--


"Alah, paling itu cuma bohong aja, Ma."


Aku memutar mata, malas. Susah meladeni orang yang berwatak keras seperti mereka. Mau kita baik seperti apapun, akan tetap jelek di mata mereka. 


"Terserah, sih. Aku gak nyuruh kalian untuk percaya, kan?"


"Sudah, lebih baik kalian pergi."


Mama dan Fema beneran pergi, kini suasana rumah tampak gelap. Aku sendiri merasa takut saat melihat suamiku. Pasalnya, ia tak tahu menahu soal pekerjaanku ini. 



"Nasya, duduk sini." 


Aku melirik ke arahnya, lalu mengangguk. Sudah pasti aku akan disidang olehnya kali ini. 


"Maaf, Mas."


"Untuk?"


"Nggak jujur soal pekerjaanku." 


Mas Sani menghela napas panjang, seketika aku semakin merasa bersalah. 


"Sya, memang uang yang selama ini Mas kasih, kurang?" 


"Kalau untuk kehidupan kita, alhamdulillah cukup, Mas."


"Lalu? Kenapa masih bekerja?" 


"Aku juga pengen nabung, Mas. Pengen punya rumah sendiri dan nggak ngontrak begini," ucapku dengan suara bergetar. 


Memang sudah menjadi impian sejak lama untukku memiliki rumah sendiri. Aku sudah lelah terus dicemooh oleh keluarganya sendiri, sementara keluargaku tak tahu menahu soal kehidupan kami. Yang mereka tahu, aku hidup senang. 


"Dek, itu sudah jadi kewajiban Mas. Biar itu jadi pikiran mas saja. Kewajiban kamu itu cuma berbakti sama Mas." 


Aku mencebik, susah memang berbicara dengannya. Aku berbuat sampai begini, juga demi dirinya, kan? Agar tak terus-menerus dipandang sebelah mata. 


"Mas, aku bekerja pun hanya di ponsel, Insya Allah tak akan mengurangi waktu untuk memperhatikan kalian. Aku menulis saat Lina tidur dan saat kamu mengasuhnya saja. Selain dari itu, aku tak akan menulis."


Mas Sani menghela napas. Mungkin ia kecewa padaku karena tak mau mengalah. Biarlah, lagipula baru sekali ini aku keras kepala. 


"Ya sudah kalau begitu."


"Mas ijinkan?"

"Iya. Asal ingat, Lina jangan sampai terbengkalai."


"Janji, Mas!" 


Aku tersenyum dan memeluknya. Teringat dengan gaji pertama yang baru masuk, aku langsung melepaskan pelukan. 


"Mas, gaji pertamaku sudah masuk. Jumlahnya tiga puluh satu juta. Niatnya mau beli motor. Menurut Mas gimana?" 


"Motor? Itu kan udah ada." 


"Itu sudah butut, Mas."


"Memangnya kamu ridho, uangnya dipakai?"


"Ya Allah, Mas. Sudah tentu aku ridho dan ikhlas."


"Ya sudah, sisanya nanti ditabung saja."


"Okee."


---


Sore hari aku mengajak Mas Sani ke supermarket dekat rumah untuk membeli kebutuhan rumah dan dapur. Membeli beberapa karung beras serta peralatan memasak, membuat hatiku begitu senang. 


Meskipun status Mas Sani adalah karyawan pabrik, tapi gajinya tak lebih dari empat juta. Sudah dipotong biaya asuransi dan sewa rumah, aku hanya mendapatkan dua juta lima ratus ribu. Itupun kubagi dengan Mas Sani sebagai ongkosnya. Makanya, di saat belanja seperti ini hatiku begitu bahagia. 


     
"Mas, Lina pake diapers yang mana, ya?" 


"Mau dipakein diapers?"


"Iya, Mas. Aku capek tiap hari cucian banyak terus."


"Nggak papa emangnya? Bukannya nanti kulitnya jadi merah?"


"Kita coba aja dulu." 


Mas Sani mengangguk dan mengambil satu merk yang populer. Setelah selesai semua, kami membayar dan mampir ke tempat makan siap saji. 


"Maafkan Mas ya, Dek. Selama menikah, belum bisa membuatmu bahagia seperti ini," ucap Mas Sani saat kami menunggu pesanan datang.


"Loh, kata siapa? Aku bahagia, kok. Alhamdulillah, aku bisa membantumu mencari uang, Mas. Kita sama-sama berjuang, ya." 


"Pasti, Dek." 


Sebenarnya aku masih sangat penasaran, kenapa Mas Sani masih saja mengalah dan tidak merebut perusahaan? Padahal mungkin hidup kami akan menjadi lebih baik dari ini. 


"Mas aku mau nyusuin Lina dulu," ucapku karena sedari tadi Lina bergerak dan merengek. 


Mas Sani duduk di sampingku, menutupi kegiatan ini. Beruntung kami duduk di pojokan dan akupun memakai hijab yang lumayan lebar sehingga memudahkan. 


Usai makan, kami pun pulang. Saat turun dari motor, kami dikejutkan oleh kedatangan seseorang... 

Komentar

Login untuk melihat komentar!