"Oke, Dek. Semoga rencana kita ini bisa maju, lancar, dan terutama berkah ya, Dek."
"Aamiin. Ya sudah, ayo kita tidur, Mas. Pintu sudah dikunci, kan?"
"Sudah, Dek."
Aku pun tersenyum, lalu menatap Lina yang tengah tertidur pulas. Bunda tak akan membuat kamu merasakan pedihnya saat kesusahan, Nak. Bunda akan lakukan apapun untukmu.
--
Hari minggu.
Mas Sani mengajakku ke ruko alias rumah toko yang kemarin lalu pernah bisa diceritakannya. Entah kapan ia menghubungi nomor pemiliknya, yang pasti saat ini kami tengah bertemu.
"Jadi bagaimana, Dek?"
Aku menatap sekeliling. Jalanan ini ramai, tempatnya pun strategis karena berada di dekat alun-alun kota. Dekat pula dengan pabrik milik Mas Sani.
"Oke, Mas. Aku setuju."
Kemudian kami membicarakan tentang harga dan kontraknya, hingga akhirnya diputuskan kami mengontrak enam bulan pertama dengan harga satu juta lima ratus perbulannya.
"Oh iya, untuk masalah air, menyatu sama punya saya, Bu. Kebetulan rumah saya yang di ujung."
Aku beranjak ke luar, memang benar ada sebuah rumah besar di ujung ruko ini. Aku pun mengangguk, sepertinya harga segini sudah termasuk lumayan.
"Baik, Pak. Pembayarannya saya mau enam bulan dulu, ya? Boleh via transfer bayarnya?"
"Oh, iya, boleh. Saya kirim nomor rekeningnya, ya."
"Siap, Pak."
Setelah beliau mengirimkan nomor rekening, langsung kutransfer saat itu juga.
"Uangnya sudah saya transfer ya, Pak, silakan dicek kembali," ucapku.
"Baik, terima kasih banyak, ya."
Alhamdulillah, urusan ruko sudah selesai. Sekarang aku tinggal ke tempat orang yang katanya hendak menjual gerobak bekas mie ayam dulu.
Kami pun berpamitan dan aku mengajak Mas Sani ke tempat orang yang menjual gerobak bakso bekas. Untuk saat ini, aku memutuskan membeli yang bekas dulu.
Setelah satu jam lebih berkendara, akhirnya kami sampai juga di tempat si penjual. Ternyata ia tidak hanya menjual gerobaknya saja, melainkan lengkap dengan sendok mangkok, dan perkakas lainnya. Memudahkanku agar tak usah pusing mencarinya lagi nanti. Karena harganya yang tidak mahal dan juga barangnya yang masih bagus, kami pun membelinya.
"Tolong nanti diantar ke rumag saya bisa, Pak?" pintaku, mengingat tak mungkin kami membawanya saat ini.
"Waduh, kalau diantar..."
"Nggak papa, nanti saya tambahi untuk ongkosnya."
"Ya sudah kalau begitu, nanti kirim alamatnya lewat pesan saja," ucapnya.
Akhirnya setelah semua selesai, kami pun pulang dan sampai rumah pukul lima sore. Hari terasa begitu cepat, tak sadar sudah malam saja.
Setelah membereskan rumah, aku pun masuk ke dalam kamar, menyusul Mas Sani yang tengah menjaga Lina.
Tok-tok-tok!
Baru saja hendak merebahkan tubuh di atas ranjang, sebuah ketukan keras menyita perhatian kami.
"Biar Mas saja, kamu di sini jagain Lina."
Aku mengangguk, lalu berbaring di tempat bekas Mas Sani tadi.
"Ma, ada apa?" tanya Mas Sani.
"Ini, surat pemecatan kamu!"
Aku sedikit tersentak mendengar ucapan Mama yang menggelegar di ruang tamu. Dipecat? Kenapa pemilik perusahaan bisa dipecat?
"Mama adalah direktur di sana, jadi bisa saja Mama memecatmu karena kamu adalah karyawan," ucap Mama seolah menjawab pertanyaanku.
"Ini semua karena ulah istrimu. Seandainya saja ia tak k*r*ng ajar, sudah pasti kamu tak akan dipecat. Sekarang kamu pilih, mau kembali bekerja atau kamu ceraikan dia?!"
Deg!
Apa maksud Mama menyuruh Mas Sani menceraikanku? Apakah suamiku itu akan menuruti ucapan ibu tirinya dan meninggalkanku serta Lina?
Login untuk melihat komentar!