"Mas aku mau nyusuin Lina dulu," ucapku karena sedari tadi Lina bergerak dan merengek.
Mas Sani duduk di sampingku, menutupi kegiatan ini. Beruntung kami duduk di pojokan dan akupun memakai hijab yang lumayan lebar sehingga memudahkan.
Usai makan, kami pun pulang. Saat turun dari motor, kami dikejutkan oleh kedatangan seseorang...
--
"Ngapain ke sini, Mbak?" tanya Mas Sani pada Mbak Amel, kakak iparnya.
"Abis belanja kalian?" Bukannya menjawab, malah balik bertanya. Matanya sibuk melihat belanjaan kami.
"Iya, Mbak," jawabku.
"Belanja bisa, giliran bayar utang aja susah banget. Buru bayar, Mbak mau jalan-jalan besok," ucapnya.
"Utang? Utang apa, Mbak?" tanya Mas Sani.
"Loh, jangan belagak lupa kamu, San. Lupa, kalau kamu pernah minta uang lima juta buat lahiran Nasya?"
Ah, aku ingat. Saat itu memang Mas Sani meminjam uang pada Mas Akbar saat aku hendak lahiran. Ketuban pecah dan kering saat sudah sampai ke rumah sakit membuatku mau tak mau harus mau dioperasi kala itu.
"Tapi kata Mas Akbar kan itu buat kita. Nggak usah diganti," ucapku, karena memang saat itu Mas Akbar menolak uang dari kami, begitupun Mbak Amel yang kala itu hanya diam saja dan mengangguk.
"Enak aja! Dikira itu duit tinggal metik dari pohon?" sentaknya.
"Nanti aku bilang ke Mas Akbar kalau saat ini belum ada-"
"Eeeh, ngapain kamu bilang-bilang ke Mas Akbar? Jangan ngadu kamu, San!"
"Lah, lalu gimana?"
"Jangan bilang kalau aku nagih sama kamu!"
Fix, dia bermuka dua. Padahal dulu Mbak Amel tak begini, entah apa yang terjadi padanya hingga mampu berbuah sikap dan sifatnya.
"Kirim saja nomor rekeningnya, nanti aku transfer," ucapku sambil masuk ke dalam rumah. Padahal biasanya aku pantang meninggalkan tamuku, tapi melihat dia yang begini, membuatku enggan untuk sekedar beramah-tamah.
"Sombong! Baru bisa belanja segitu aja belagu. Awas kalau kalian bilang ke Mas Akbar, ya!"
Tak kuindahkan ucapannya, begitupun Mas Sani yang hanya diam saja mendengar ucapan kakak iparnya itu. Tak lama kemudian, suamiku datang dan memelukku.
"Maafkan Mas ya, Dek. Mas pinjam dulu uangmu, nanti Mas ganti kalau sudah ada," ucapnya.
"Nggak perlu diganti, Mas. Ini juga uangmu. Kita kan sama-sama berjuang."
"Tapi Mas nggak enak sama kamu, Dek."
Kuelus-elus lengannya, lalu beranjak menuju kamar karena Lina sudah terlelap. Kubaringkan tubuh dan menatap langit-langit kamar. Aku tak bisa begini, harus ada usaha lain selain menulis agar bisa cepat terkumpul uang dan membangun sebuah rumah. Untuk tanah, alhamdulillah Mas Sani sudah membelinya saat masih sendiri dulu.
"Dek, kenapa melamun?" tanya Mas Sani.
"Mas, aku abis mikir, gimana kalau kita buka usaha aja?" usulku.
"Usaha apa, Dek? Siapa yang mau mengelolanya? Aku kerja kamu pun sudah disibukkan dengan kegiatanmu dan juga anak."
"Ya kita aja, buka pas malam, gitu. Gimana?"
"Kamu kenapa, Dek, kok kayak berambisi banget gitu?" tanyanya.
"Aku udah capek dihina dan direndahkan terus menerus, Mas. Lebih baik kita cepat buktikan pada mereka kalau kita juga bisa."
"Tapi, Dek, modalnya dari mana? Tabungan Mas cuma ada tiga juta aja."
"Pakai uang ini dulu. Saldoku masih ada dua puluh sembilan juta. Dipotong bayar kontrakan setahun dua belas juta, jadi sisa tujuh belas juta lagi. Bismillah aja, Mas. Semoga Allah beri kita jalan rezeki lewat usaha kita kali ini," ucapku.
"Emang kamu mau usaha apa, Dek?"
"Gimana kalau bakso, Mas? Jadi kita jualan bakso, tapi kuahnya ada tiga macam."
"Ori dan pedas, gitu?"
"Iya, dan aku juga mau nambahin kuah rawon, Mas."
"Bakso kuah rawon? Enak kah?"
"Insya Allah enak, Mas. Aku pernah coba dulu pas masih ngekost. Ada bakso dan sisa kuah rawon. Aku jadiin satu dan ternyata enak."
"Kamu serius dengan usaha ini, Dek?"
Aku mengangguk, karena ini memang lah impianku sejak dulu. Membuka warung bakso. Apalagi kuah rawon yang gurih dipadukan dengan bakso kenyal, ah aku sudah tak bisa membayangkan rasanya.
"Nanti dari pagi, adek sudah mulai membuat bumbunya. Soal meracik nanti dikios aja."
"Kita sewa kios di mana, Dek?"
"Mas ada referensi nggak gitu?"
"Oh iya, Mas pernah melihat ada satu kios di tengah kota. Dekat alun-alun, kamu mau?"
"Kita coba lihat dulu besok, Mas. Gimana?"
"Oke, Dek. Semoga rencana kita ini bisa maju, lancar, dan terutama berkah ya, Dek."
"Aamiin. Ya sudah, ayo kita tidur, Mas. Pintu sudah dikunci, kan?"
"Sudah, Dek."
Aku pun tersenyum, lalu menatap Lina yang tengah tertidur pulas. Bunda tak akan membuat kamu merasakan pedihnya saat kesusahan, Nak. Bunda akan lakukan apapun untukmu.