Bab 3 (Perdebatan)
Bab 3 Perdebatan

💖💖💖💖


"Kevin!" 

Suara panggilan itu membuat Ayu membuang pandangan sejauh-jauhnya menghindari kontak mata pemilik suara itu.


Sementara Kevin memandang ke arah mobilnya dengan memicingkan mata.


"Jangan lama-lama, nanti kita telat lho." Suara seorang ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya ditanggapi dengan anggukan dan acungan jempol Kevin.


"Gimana, Sayang? Kamu jadi ikut?" Kevin masih berusaha mengajaknya dan berharap sang istri mau ikut bersamanya.


"Enggak usahlah, Mas. Mending aku ke rumah mama saja daripada dapat sindirian terus nanti di sana." 


Kaki Ayu melangkah dan melewatinya begitu saja, tanpa menghiraukan raut wajah Kevin yang sudah berubah masam. Kevin yang sempat mencekal tangannya pun segera ditepis tanpa menoleh.


Ayu melangkah makin menjauh menuju ke mobil hitam yang dibeli dua tahun yang lalu, hasil cucuran keringatnya sendiri.


"Sial! Selalu saja begitu. Dasar nenek tak tahu diri. Selalu mencari ulah dan membuatku kesal," umpat Ayu setelah dia menghempaskan bobotnya di jok kemudi sambil memukul stir sebagai pelampiasannya. 


Dari balik jendela ayu masih bisa melihat punggung Kevin makin menjauh menuju ke mobil kesayangannya. Sampai dia membuka pintu dan di balik kaca jendela bayangan tubuhnya terlihat samar-samar sedang menggunakan sabuk pengaman. Ayu juga melihat saat Kevin menoleh memandang ke arah mobilnya sebelum melajukan mobil.


💗💗💗

Ayu memarkirkan kenderaan roda empat miliknya tepat di halaman rumah yang dia beli dari pinjaman kantor. Iya, setiap bulan Ayu harus menyetor sebagian uang gaji untuk menyicil angsurannya.


Ah, untunglah Ayu sudah bekerja lebih dari sepuluh  tahun di perusahaan itu sehingga atasannya mengabulkan pinjaman kepadanya. Kinerja Ayu saat bekerja juga diacungkan jempol oleh direkturnya. Posisi sebagai manajer keuangan yang digelut selama lima tahun itu memudahkannya untuk mengajukan pinjaman tersebut.


Ayu menghempaskan bobot badannya di sofa empuk berwarna coklat. Tubuh dan pikirannya cukup melelahkan hari ini. Memilih keluar dari rumah Kevin, memang membuat hidupnya lebih tenang, tetapi hatinya menjadi hampa tanpa kehadiran Kevin dan Safira. Hidup sendiri seperti ini bukanlah keinginannya. Dia hanya ingin menghindari perdebatan sengit dengan sang mertua yang hampir setiap hari terjadi.


Ayu merasa bingung dengan perubahan sikap mertuanya setahun belakangan ini. Selama Ayu dan Kevin pacaran zaman kuliah dulu, dirinya direstui dan disayangi mertua. Setelah menikah, mereka hidup pisah dengan orangtua. Namun, tiga tahun belakang ini setelah ayah Kevin meninggal, ibunya pindah dari Bandung ke Jakarta dan tinggal bersama mereka.


Dua tahun berjalan sebagaimana mesti mertua dan menantu yang harmonis. Akan tetapi, setahun yang lalu sejak ibu mengenal wanita janda yang bernama Manda, sikap ibu menjadi berubah. Ibu mengikuti berbagai kegiatan sosialita, mengenal yang namanya sosial media dan hidup lebih glamor.


Iya, Manda itu adalah teman arisan ibu yang umurnya jauh lebih muda dari ibu. Dia seorang janda kaya yang mengaku alasan perceraiannya karena dia sudah bosan dengan kelakuan kasar suaminya itu.


Wanita seksi berambut panjang itu semakin hari semakin akrab dengan ibu. Hampir setiap hari dia berkunjung  ke rumah sekadar mengantarkan makanan kesukaan ibu. Menurut Ayu, sikapnya memang sedikit berlebihan dan wanita itu kerap menjadi penyebab pertengkaran antara dia dengan ibu.


Mungkin karena Manda sering menghadiahkan barang mewah kepadanya sehingga ibu sering membanding-bandingkan Ayu dengan wanita itu. Ibu selalu menganggap dirinya adalah wanita yang pelit dan sombong.


"Lihat aja istri kamu itu, pelit banget sama ibu. Coba pernah enggak dia kasih Ibu uang?" 


Ayu yang berada di kamar mendengar dengan jelas ucapan Ibu mengadu kepada putra bungsunya.


"Bu, kalo butuh uang, minta sama Kevin, bukan sama Ayu. Uangnya biar dia yang atur dan simpan. Dia punya hak atas keringat yang dia keluarkan. Bukan kewajiban dia juga nafkahi Ibu." Kevin membela.


"Bukan nafkahi Ibu, Ibu cuma minta buat bayar arisan bulan ini saja. Itu aja perhitungan banget." Ibu masih nyolot tidak mau kalah.


"Sini, biar aku yang bayarin arisan Ibu. Lagi pula uang bulanan sepuluh juta yang aku kasih ke Ibu itu cukup besar. Apa sudah habis? Ibu ke manain aja uang itu?" Nada Kevin sedikit menyelidiki.


"Uang yang kamu kasih, ya Ibu pake untuk kebutuhan sehari-hari. Buat bayar arisan, Ibu kan bukan ikut cuman satu dua arisan, Vin. Ibu enggak enak kalo ada teman Ibu ngajak, trus Ibu tolak. Mau taruh di mana muka Ibu? Lagi pula mereka semua tahu kalau anak Ibu posisinya GM, general manager. Mereka bisa perkirakan gaji kamu berapa." Alasan Ibu dengan nada mengebu-gebu.



"Iya, tapi enggak gitu juga cara menghabiskan uang."


"Eh,eh, jangan sembarang menuduh. Ibu itu enggak ngehabisin uang, Ibu itu nabung, na-bung. Dicatat. Arisan itu kan ngumpulin uang ke satu orang, nah, tiap Minggu dikocok, siapa yang dapat."


"Setelah itu?" tanya Kevin singkat sambil menaikkan salah satu alisnya.


"Setelah itu ya, uangnya diambil sama yang punya nama di kertas itu."


"Lalu?" Kevin terus menanyakan dengan ketus.


"Lalu ... ya, boleh diambil pokoknya." Ibu mulai tidak nyaman dengan pertanyaan Kevin yang sedikit memojoknya.


"Uangnya dipakai buat traktir bu-ibu arisan lainnya kan? Bukannya itu sama saja menghabiskan waktu untuk kumpul dan hura-hura untuk kesenangan, Bu?" 


Terlihat raut geram di  wajah Kevin yang kini sudah tahu ternyata sang ibu suka bersenang-senang dengan teman sosialita. Dia tahu dari status ibu yang sering mem-posting dirinya bersama teman-teman berada di cafe-cafe ternama di Jakarta. 


"Ehh, kamu kok jadi ngatur-ngatur Ibu sih? Eh, dulu zaman kamu sekolah, apa Ibu pernah ngelarang kamu jajan ini-itu? Apa Ibu pernah nunggak uang sekolah dan uang kuliah kamu? Waktu kamu kecil, apa pernah kamu merasa kelaparan? Hah? Ibu merawatmu dengan baik tanpa kekurangan apapun." Mata ibu melotot, wajahnya pun mulai memerah, urat-urat di leher mulai muncul.


"Cukup, Bu. Kenapa jadi Ibu ngungkit apa yang sudah Ibu berikan kepadaku? Ibu ikhlas enggak sih?" Suara Kevin tak kalah lantang ketika mendengar ibu mengungkit jasa-jasanya.


"Kamu duluan yang bahas-bahas dan ngelarang Ibu pake uang kamu." Ibu membuang wajah ke sembarang arah, tidak berani menatap mata Kevin yang sudah tersorot kemarahan.


"Bukannya ngelarang, Bu. Hanya saja aku minta Ibu untuk tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak begitu penting. Zaman sekarang sudah berubah. Dulu apa-apa masih gampang diraih, sekarang beda. Untung saja sekarang Kevin bekerja di posisi yang bagus karena bantuan teman. Untung juga perusahaannya masih bisa bertahan. Banyak teman Kevin lain yang di-PHK." Kevin menjelaskan.


"Oh, sekarang kamu kasih ceramah ke Ibu? Siapa yang ajarin? Istri kamu yang sok hebat itu? Dia yang sudah racuni dan menghasut anak Ibu yang penurut ini?" Kini, mata ibu berani ditolehkan ke arahnya setelah kalimat pedas itu terlisan di bibir itu.


Selalu saja ujung-ujungnya nama Ayu yang disalah-salahkan jika sudah terjadi seperti itu. Padahal Kevin sendiri yang semakin lama semakin tahu kelakuan dan sifat ibunya.


"Ibu jangan sangkut-pautkan masalah ini dengan Ayu. Dia tidak pernah memanas-manasin Kevin. Apa lagi yang Ibu bilang tadi, menghasut atau apa lah itu. Ini hanya pemikiran Kevin sendiri."


Bersambung.


Jangan lupa subcribe dan komen ya. Karena komenan dari kalian merupakan mood boster aku dalam melanjutkan bab selanjutnya.

Terima kasih. 💗




Komentar

Login untuk melihat komentar!