Bab 1 (Tamparan)
Bab 1 Tamparan



💖💗💖💗


"Semakin hari semakin kurang ajar ya, kamu. Berani menceramahi Ibu?" Jari lentik Ibu mengacung ke arah wajah Ayu yang tak bersahabat. Tatapan ibu tajam mengintimidasinya.


"Aku bukan menceramahi Ibu. Aku hanya enggak suka Ibu bawa wanita lain ke rumah ini. Lalu, Ibu jodoh-jodohin dia dengan Mas Kevin. Mas Kevin masih punya istri, Bu. Aku masih istri sah-nya." 


Ayu menjawab dengan mengebu-gebu meluapkan emosi yang tersulut karena tahu rencana mertuanya membawa wanita lain. Dia tak rela wanita lain yang dimaksud itu menjadi orang duri dalam rumah tangganya. 


"Heh, kamu enggak ngaca apa? Ngaku-ngaku status istri anakku tapi kelakuanmu tidak seperti seorang istri. Pergi pagi, pulang sore bahkan kadang sampe malam. Itu namanya istri? Nih, Ibu kasih tahu ke kamu, yang namanya istri itu ngurus suami dan anak di rumah. Syukur-syukur masih punya mertua, kamu bisa urus aku, bisa jadi ladang pahalamu."


Ibu masih memberi ceramah bak seorang psikologis rumah tangga yang paling handal. Tangannya dilipat di dada dengan nada dan wajah yang meremehkan kinerja menantu yang ada di depannya. Mulutnya dimajukan beberapa centi dan tatapannya masih sinis.


"Tapi yang aku lakukan di luar adalah bekerja, Bu. Bukan keluyuran ke sana, ke sini seperti dugaan Ibu." Ayu berusaha memberi alasan agar wanita yang usianya sudah tak muda itu tahu alasan dia di luar rumah yang kadang memang harus pulang larut malam.


Ibu dengan cepat menyela kalimat menantunya, dia tak ingin mendengar alasan apapun. 


"Halah, alasan aja, kamu. Memangnya kamu kira anakku udah enggak sanggup nafkahin kamu lagi, pake acara kerja segala. Klise banget sih kamu jadi mantu."


"Sebelum menikah dengan Mas Kevin, aku sudah biasa bekerja, Bu. Lagi pula Mas Kevin juga tidak melarang aku membantunya cari nafkah. Kita juga sudah sepakat cara mengatur waktu. Kapan harus family time bersama dengan keluarga dan Safira." 


Ayu berusaha menenangkan diri dan memberi penjelasan, walau dia tahu ibu dari suaminya itu tidak mau mendengar apa pun alasan yang diucapkan.


"Tetap aja Ibu tidak suka anak Ibu ditelantarkan karena istrinya sibuk bekerja. Ibu mau mantu yang diem di rumah, urus suami anak dan Ibu titik. Dan, sekarang ibu sudah dapat calonnya. Manda. Kamu suka atau tidak suka, terserah kamu. Ibu akan menyuruh Kevin menikah wanita pilihan Ibu." 


Tatapan sinis dan tak bersahabat Ibu diberikan kepada Ayu yang sudah dari tadi berusaha bersabar. Ini bukan satu dua kalinya mereka berdebat. Ibu mertua yang dulu sangat menyayanginya, kini berubah menjadi ibu mertua yang sangat membencinya. 


Ayu bahkan tidak tahu apa yang menyebabkan ibu mertuanya begitu tidak menyukainya. Sejak bertemu dengan Manda, perlahan ibu menjadi sosok ibu yang pemarah, boros dan sombong. Mulut pedas bon cabe level seratus miliknya selalu menghujat dan memaki istri dari putra bungsunya.


"Maksud Ibu?" Ayu mengerti arti ucapan Ibu itu tetapi dia hanya ingin memastikan apa yang dia dengar tidak salah.


"Percuma katanya kamu pinter, lulusan S1, ucapan Ibu barusan kamu tidak mengerti. Lola banget otaknya. Nih, Ibu tegasin biar kamu bisa ngerti. Kamu buka telingamu lebar-lebar. Ibu mau Kevin menikah dengan wanita penurut kayak Manda. Manda lebih pantas menjadi istri putraku ketimbang kamu. Sudah paham?"


Bagai petir di siang bolong, tidak ada angin, tidak ada awan kelabu, tiba-tiba Ibu meminta Kevin menikahi Manda.  Bagaimana mungkin karena Ayu adalah wanita karir terus seenaknya saja diberi madu.

 Apa menjadi wanita karir itu kesalahan yang fatal? Toh, selama ini Ayu membantu banting tulang untuk memenuhi kebutuhan. Padahal banyak ibu mertua di luar sana menginginkan menantunya bisa ikut turut andil dalam mencari nafkah, kok, mertua yang di hadapan Ayu ini bertolak belakang?


"Aku tidak mau punya madu, Bu. Aku juga yakin Mas Kevin tidak mau menikah dengan wanita mana pun. Mas Kevin sudah berjanji padaku akan setia sampai kami menua. Ibu tidak bisa sesuka hati untuk memberi keputusan apa pun dalam kehidupan rumah tangga kami." Mendengar ucapan ibu,  Ayu semakin yakin mertua ini tidak menyukai dirinya.


"Kenapa tidak bisa? Ibu yakin Kevin akan menuruti keinginan Ibu. Kevin adalah anak laki-laki Ibu yang paling patuh dan sayang kepada Ibu." sergah Ibu dengan napas yang memburu dan mata yang melebar seolah akan menelannya hidup - hidup.


"Lagi pula apa Ibu nyadar enggak sih? Kalau dikasih madu itu hidupnya tidak enak banget. Bukannya dulu Ibu pernah dikasih madu sama mendiang ayah? Ibu sudah tahu kan gimana rasanya dimadu? Mengapa sekarang Ibu memberi madu itu kepadaku?"


Plak!


Satu tamparan keras membekas di pipi Ayu yang mulus. Dengan wajah yang memerah, mata Ibu melebar penuh kebencian ke arah menantunya yang berani membantahnya dan mengusik kehidupan masa lalunya.


"Beraninya kamu mendikte kehidupan masa lalu Ibu. Emang kamu kira kamu siapa? Hah? Apa Ibumu tidak pernah mengajari sopan santun? Dasar mantu tak tahu diri!" bentak Ibu dengan mengacungkan jemari lentik berkutek merah ke arah wajah menantu yang memerah.

"Aku hanya ingin Ibu buka mata dan mengingatkan kembali bagaimana perasaan Ibu kala itu. Itulah yang aku rasakan sekarang. Dimadu itu bukanlah sesuatu yang mengenakan. Ibu pernah merasakannya juga kan?"


Dirinya tak menyangka mertua yang dulunya merupakan tempatnya berbagi dan bermanja kini tega melemparkan noda merah di pipinya. 


"Kau!" Kelima jari itu bergetar, melayang siap membenturkan ke arah wajah Ayu lagi.


"Apa? Ibu masih mau menamparku? Nih, Bu!" 


Kalimat lantang itu lolos begitu saja saat melihat tangan itu. Ayu mendekatkan pipi satunya lagi yang masih belum tersentuh ke arah ibu. Ayu menahan air berharga itu tidak luluh di hadapan sang mertua. Dia tidak mau tampak lemah di depannya.


Ibu mengepal tangan, matanya melotot seperti ingin mengeluarkannya dari rongga itu. Rona wajahnya memerah dan bibir yang bergetar. Terlihat napasnya makin memburu karena tersulut emosi.


Melihat reaksi dan kondisi Ibu seperti itu, terbesit di dalam hati Ayu berdoa jahat, semoga penyakit diabetes ibu kambuh dan segera masuk ke rumah sakit lagi. Sebuah bisikan busuk memaksa terlintas karena Ayu lelah mendengar mulut pedas boncabe level 100 yang selalu mengiris hatinya yang terluka. 


"Ya, Tuhan. Maafkan hambaMu ini, karena kekesalan yang sudah lama kupendam selama ini, doa jelek meluncur di lisanku. Tarik kembali doa-doaku untuknya." 


Ayu membatin sambil menghembus napas panjang, berharap udara yang keluar dari mulutnya dapat mengangkat kepedihan yang ada di hatinya.


"Ibu tak sudi punya menantu sombong sepertimu, pergi dari kehidupan anakku! Ibu juga berdoa semua gugatanmu segera dikabulkan hakim. Sekarang Ibu tidak mau melihat mukamu lagi, segera angkat kaki dari rumah ini."


Jari ibu menunjuk-nunjuk ke arah muka Ayu yang sudah hampir menumpahkan air bening. Wajahnya marah seperti singa yang siap menelannya bulat-bulat.

"Satu lagi, jangan pernah kau bawa Safira."

Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang didengar Ayu sebelum dia mengemasi semua pakaiannya.


"Mama!"


Bersambung.

Jangan lupa subcribe dan komen ya. Karena komenan dari kalian merupakan mood boster aku dalam melanjutkan bab selanjutnya.


Dapatkan koin emas @15 untuk komen pertama dari bab 20 sampai bab tamat. Pemenangnya akan saya rekap di bab TAMAT. Jangan lupa dicek.


Terima kasih. 💗


Komentar

Login untuk melihat komentar!