Jodoh Buat Alin


Alin menatap mangkuk bakso di depannya yang tinggal kuah. Hatinya bimbang, perutnya masih memberikan tanda lapar walau dua butir bakso berukuran sebesar telor dan lima butir bakso berukuran kecil sudah habis dilahapnya. Dia ingin menambah porsi semangkuk lagi dan bermaksud memanggil pelayan. Namun segera diurungkan keinginannya itu. 

Alin mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan rumah makan. Dia tidak mau ada yang melihat  dan memperhatikan dirinya sedang makan bakso dua porsi. Setelah diyakini tak ada yang memperhatikan, Alin segera memanggil pelayan yang sedang membereskan meja di depannya.

"Mbak, minta tolong bawakan seporsi bakso uratnya, yah. Jangan pakai mie dan sayur. Baksonya saja," pintanya pada pelayan tersebut.

"Baik, Mbak. Untuk makan di sini atau dibungkus?" tanya sang pelayan.

"Makan di sini aja. Oh, iya, sekalian tolong dibawa mangkok kotornya," ucapnya tersenyum malu seraya memberikan mangkok kotor bekas makannya kepada pelayan tersebut.

"Baik, Mbak. Mohon ditunggu sebentar," pamit sang pelayan sambil membawa mangkuk di mejanya tadi.

Sambil menunggu pesanan bakso keduanya datang, kembali Alin mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah makan yang sangat ramai. Rumah makan ini memang khusus untuk para penumpang bus yang sedang beristirahat dalam perjalanan menuju kampung halaman.

Di meja depan, Alin melihat seorang lelaki dan perempuan makan es krim stroberi berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk. "Aku tak bisa begini terus," ujar si lelaki, mengeluh. Tak sengaja, Alin mendengar ucapan si lelaki. Mereka tampak sedih, terlihat dari wajah keduanya yang murung.

"Sebaiknya Abang bicara jujur sama Umi kalau kita sudah menikah. Tak baik kucing-kucingan seperti ini." Terdengar suara sang perempuan berkata kepada lelaki di depannya.

"Sabarlah dulu, Dek. Pasti Abang akan mengatakan pada Umi. Kita tunggu waktu yang tepat. Suara si lelaki kembali terdengar. Alin menatap sejenak wajah lelaki dan perempuan tersebut.

"Ish, kenapa ini telinga malah nguping omongan orang sih?" ucapnya pada diri sendiri.

Alin memutar kepalanya dan tak jauh dari tempatnya duduk, dia melihat seorang ibu dan anak kecil sedang menikmati makan siang. Sesekali tangan sang ibu mengelus pucuk kepala anak kecil di depannya yang tampak antusias menghabiskan bakso di depannya.

"Ini baksonya, Mbak. Selamat menikmati." Kedatangan pelayan itu menghentikan keasikannya mengamati pengunjung. Alin segera menghabiskan bakso di depannya dengan cepat, karena sebentar lagi bis yang ditumpanginya akan berangkat kembali melanjutkan perjalanan.

¤¤¤¤¤

"Kapan kau akan mengenalkan calon suamimu, Lin? Ingat, usiamu sudah tidak muda lagi." Suara Ibu terdengar walau sedang berada di dapur dan dirinya berada di balik pintu dapur, menikmati taman di belakang rumahnya.

Pertanyaan Ibu tak dijawabnya. Alin tahu, Ibu pasti akan segera menanyakan hal itu ketika dirinya kembali ke rumah, hal yang tak disukainya. Itu yang membuat dirinya malas pulang ke rumah. Dia lebih memilih tidur di kamar kosnya yang sempit dari pada mendengar pertanyaan itu.

Bukan tanpa alasan dia tak bisa menjawab pertanyaan soal jodoh atau calon suami dari ibunya. Alin belum menemukan lelaki yang bisa membuatnya jatuh cinta lagi. Hatinya masih sakit karena pengkhianatan Bram, mantan kekasihnya dulu. 

"Lin ...." Suara Ibu membuyarkan ingatannya tentang Bram.

"Iya, Bu."

"Kalau kau belum ada lelaki yang dekat denganmu, Ibu bermaksud mengenalkanmu dengan anak guru ngaji Ibu," ucap Ibu tiba-tiba sambil duduk di sebelahnya.

"Alin belum siap, Bu," jawabnya pelan. 

"Sampai kapan kamu siap? Usiamu sudah dua puluh tujuh tahun, mau nunggu sampai kapan?"

"Ya, nantilah," ucapnya malas-malasan.

"Hmm ... ya sudah, sekarang mandi. Tolong antar Ibu ke rumah Bu Hamidah. Ibu mau mengambil pesanan gamis," pinta ibunya seraya bangun dan masuk ke dalam rumah. Alin berjalan mengikuti ibunya masuk ke rumah.

¤¤¤¤¤

"Ini, lihat fotonya dulu. Siapa tahu kamu suka." Ibu menyodorkan selembar foto kepada Alin yang sedang duduk menonton drakor di handphonenya.

Alin mengambil foto yang disodorkan Ibu dan melihat foto tersebut dengan malas. Sejenak, dia merasa seperti pernah melihat lelaki di foto itu. Namun siapa dan di mana, dia tidak mengingatnya.

"Namanya Rudi. Dia bekerja di Jakarta sebagai dosen di sana. Nanti akan Ibu kenalkan langsung dengannya. Bagaimana? Kamu tertarik?"

"Lihat saja nanti, Bu. Alin yakin, nanti dia pasti akan menolak Alin."

"Hei, jangan bicara seperti itu. Kamu cantik. Semua lelaki yang melihat kamu, pasti akan langsung jatuh cinta."

"Tapi nyatanya, Bram meninggalkan Alin demi perempuan lain," ucapnya sedih. Ibunya mengenal Bram dan sangat tahu tentang perjalanan cintanya dengan lelaki itu.

"Jangan pikirkan Bram lagi. Dia bodoh karena telah meninggalkan kamu. Kemaren Ibu sudah bertemu dengan Rudi. Dia juga baru datang dari Jakarta.  Nanti malam, kita ke rumah Bu Ustadzah. Ibu akan memperkenalkan kamu dengan Rudi," sahut ibunya antusias.

Alin memutuskan untuk mengikuti kemauan ibunya. Buatnya kini, tak ada lagi alasan untuk tidak membahagiakan ibu. Ayahnya telah berpulang dua tahun yang lalu dan Alin bertekad untuk menemani Ibu di kampung setelah selesai kuliah.

¤¤¤¤¤

Ibu segera turun dari motor dan berjalan masuk ke rumah Ustadzah  meninggalkan Alin yang sedang memarkir motornya. Ibu sangat antusias dan bersemangat menjodohkan dirinya dengan Rudi. 

Alin melihat Ibu sedang berbicara dengan seorang wanita yang berpakaian hijab. Dia segera menghampiri  karena beliau melambaikan tangan mengisyaratkan untuk segera mendekatinya.

"Ini, loh, anak saya, Bu Ustadzah. Namanya Alin." Ibu langsung memgenalkannya kepada perempuan berhijab yang dipanggil Bu Ustadzah. Alin segera menyalami perempuan tersebut. 

"Oh, ini toh, Alin. Wah cantik sekali, kelihatannya cocok sekali sama Rudi," ucapnya terlihat senang. Alin hanya tersenyum mendengar ucapan Bu Ustadzah.

"Eh, itu Rudi!" seru Bu Ustadzah kepada seorang lelaki yang berjalan ke arah mereka.
Alin segera melihat ke arah lelaki itu. Dia merasa pernah melihatnya.

 Semakin dekat, dia semakin mengenali lelaki yang dipanggil Rudi oleh ibunya. Ingatannya melayang ke rumah makan tempat pemberhentian bis kemaren. Rudi adalah lelaki yang sedang memakan es krim stroberi bersama seorang wanita.

Komentar

Login untuk melihat komentar!