Mencari Istriku
Rahasia Istriku [4]


Siang ini juga aku memutuskan untuk ke kosan lama teman Niar, untuk mencari istriku di sana. 

Perjalanan menuju sana butuh waktu berjam-jam ke kota besar, semoga aja memang ada di sana, sehingga tidak sia-sia aku pergi jauh-jauh.

Aku baru sampai di depan kosannya setelah memasuki waktu sore. Bergegas ke luar dari mobil.

Keadaan tempat ini masih sama seperti pertama kali aku menjemput Niar tiga tahun lalu.

Kosan satu rumah, bercat hijau tua, dengan pagar besi setinggi dua meter. Ada seorang wanita yang sedang menyapu daun-daun kering di halaman.

"Permisi," panggilku.

Dia mendongak, lalu bergegas mendekatiku yang berdiri di balik pintu pagar.

"Ya? Cari siapa?"

"Apa Atifa masih ngekos di sini?" tanyaku, menyebutkan nama teman Niar itu.

"Masih, masih. Dia ada di kamarnya. Mau saya panggilkan?" jawabnya.

Aku mengangguk.

Beliau buru-buru memasuki rumah itu. Tidak lama kemudian seorang wanita lain ke luar. Atifa berdiri di ambang pintu menatapku. Aku tersenyum ramah padanya. 

Berbeda dari yang dulu, Atifa sekarang bertubuh kurus, rambutnya disanggul. Bahkan matanya cekung ke luar dengan lingkar hitam.

Atifa berjalan mendekatiku. "Ada apa mencariku?" Suaranya parau dan pelan.

"Ini tentang Niar. Aku sedang mencarinya. Niar kabur dari rumah. Aku sudah mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak ketemu. Hanya kamu seorang yang belum kutemui," jelasku. 

"Istrimu datang padaku setahun yang lalu, dia menangis curhat padaku tentang ketidak adilan orang tuanya, keluarga suaminya, dan tentu saja suaminya. Karena dia sakit dan tak bisa punya anak," ujarnya dengan pandangan marah padaku.

Ini membuatku tertampar, aku selalu memikirkan diriku sendiri, sehingga tak punya waktu mencari tahu apakah Niar bahagia atau tidak.

"Aku salah, itu sebabnya aku mencarinya."

"Ayo, aku akan mengantarmu untuk menemuinya. Mungkin saja dia di sana." Atifa membuka pintu gerbang tersebut.

Aku mundur sembari mengangguk. 

Atifa masuk ke mobilku duluan. Ekspresinya datar sekali, berbeda dengan dulu yang begitu ceria. 

Aku sempatkan melihat ke kosan. Wanita yang menyapu tadi menatapku lekat dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Kemudian aku masuk ke mobil.

•••

"Akhir-akhir ini, setiap malamnya aku bermimpi bertemu dengan Niar." Tiba-tiba Atifa berucap setelah setengah jam hening di antara kami.

"Di dalam mimpi, Niar dalam keadaan selalu bersedih, menangis tersedu," lanjutnya.

Mungkin itu bukan hanya di dalam mimpi saja. Sepuluh hari ini, semenjak Maya menghilang, aku selalu tak peduli dengan Niar. Dia seolah patung di mataku, tak pernah diajak bicara kecuali memang dibutuhkan, terkadang aku hanya tidur di mobil karena kelelahan mencari Maya.

Aku kini merasa bersalah. 

Saat menelepon ibunya di kampung. Ibunya pun bercerita jika didatangi Niar dalam mimpi. Beliau merasakan firasat buruk tentang putrinya.

"Niar meminta tolong padaku, entahlah, dia hanya meminta tolong," jelas Atifa lagi.

Niar, ada apa denganmu? Apa yang sebenarnya kau rahasiakan?

•••

Sore hari semakin gelap karena mendung. Aku turun dari mobil, setibanya di tempat tujuan yang Atifa katakan, yang mungkin saja Niar ada di sini.

Sebentar lagi magrib, dan semoga saja Niar benar-benar ada di sini.

Rumah yang cukup besar, berdinding papan warna coklat. Halamannya begitu luas dan ada beberapa gazebo. 

Di dekat pintu teras, ada dua patung di atas tiang. Patung harimau seperti sedang menerkam dengan kedua tangannya.

Jauh dari pemukiman. 

Atifa menyuruhku untuk menunggu di sini. Sementara dia masuk untuk meminta izin pada tuan rumah.

Aku memperhatikan rumah cukup lama sampai magrib telah datang. Tubuh terperanjat mendengar seperti suara mobil melaju cepat lalu disusul suara seperti ada yang tertabrak.

Aku mengedarkan pandangan, tidak ada mobil lain di jalanan kecuali mobilku. Lalu, suara tadi berasal dari mana?

Aku terkejut ketika ada yang menepuk bahuku. Refleks aku menoleh ke belakang. Ada seorang wanita cantik, dia hamil besar tersenyum padaku.

"Cari siapa?" tanyanya.

"Anda siapa?" Aku balik bertanya. Untuk apa wanita hamil besar keluar magrib-magrib begini.

"Saya istri dari pemilik rumah ini. Saya lihat kamu tadi menunggu seseorang. Atau ingin menjemput istrimu?" jawabnya.

Aku sedikit kaget, dia bisa tahu jika aku mencari istriku di sini. "Ya. Aku mengira istriku di sini. Dari mana kau tahu?" 

"Terlalu banyak istri orang datang kemari. Jadi saya tidak heran lagi. Istrimu pasti berobat di sini. Suami saya bisa menyembuhkan penyakit atau kesedihan," jelasnya.

Aku manggut-manggut. 

"Sebaiknya kau berhati-hati. Istrimu dalam masalah besar," ucapnya. Dan kali ini aku tidak mengerti apa maksudnya? Apakah dia juga tahu masalah rumah tanggaku?

"Mas," panggil Atifa. 

Aku menoleh padanya, berjalan menghampiriku.

"Ayo, Niar ada di dalam," lanjut Atifa. Mengajakku untuk mengikutinya masuk.

Bergegas aku berjalan di belakangnya dengan tidak sabaran. Saat aku memasuki rumah ini. Udaranya jauh lebih dingin dibandingkan di luar, padahal aku tak melihat AC ataupun kipas angin. 

Aroma kapur barus tercium menyengat, membuat tidak nyaman dan kepala pusing. 

Sangat ramai orang di sini. Mereka duduk melingkar ke dinding. Aku sedikit membungkukkan badan melewati mereka yang hanya diam saja dengan pandangan mengikutiku. 

Aku mengedarkan pandangan, ada satu bingkai foto besar yang menjadi perhatianku. 

Foto seorang lelaki paruh baya, berkulit sawo matang, dengan kopiah hitam, dan baju kokoh panjang berwarna hitam pula, serta lipatan sorban putih pada bahunya.

Di foto, lelaki paruh baya itu tidak sendirian, ada sembilan wanita di sisinya. Berdiri sejajar di depan rumah ini. Ada dua wanita yang kutahu di foto itu, dan cukup membuat terkejut.

Wanita hamil yang kutemui di luar tadi, dan ... istriku. Di foto itu, Niar masih berambut panjang. Itu setahun lalu, karena satu tahun terakhir ini rambutnya selalu dipotong pendek di atas bahu.

Atifa mengajakku ke ruangan lain. Pandanganku langsung tertuju pada Niar yang duduk di karpet bersandar di dinding. 

"Niar," panggilku. Dia yang sedang melamun, langsung terperanjat, kemudian menoleh padaku.

"Mas? Kenapa Mas ada sini?" tanya Niar sembari berdiri.

"Anda ini Hafnu, kan?" 

Aku menoleh pada seorang pria paruh baya yang kulihat tadi di foto. Tubuhnya menguarkan aroma wangi yang cukup menyengat.

"Ya. Aku datang untuk menjemput Niar," jawabku.

"Niar, kemarilah. Suamimu menjemputmu," panggil lelaki paruh baya itu.

Niar melangkah mendekat, kepalanya tertunduk, lalu menatapku dengan mata ... putus asa bercampur kesedihan.

"Saya Ratiman, panggil saja Mbah Timan. Saya guru spiritual istrimu," jelas lelaki paruh baya tersebut. Meskipun dia masih belum terlalu tua untuk dipanggil Mbah olehku.

"Niar, pulanglah bersama suamimu. Dia sudah datang sejauh ini untuk menjemputmu," ucap Mbah Timan menasehati.

Niar mengangguk, lalu lebih dahulu melangkah ke luar. 

"Maaf merepotkanmu, Mbah. Kami memang ada sedikit masalah," ucapku.

"Tidak apa. Istrimu dalam keadaan tidak sehat. Apalagi dia sedang hamil, kan? Sebaiknya kamu hati-hati, ada sesuatu yang buruk meliputi istrimu, jika terjadi apa-apa, cepat hubungi saya," ujar Mbah Timan.

Aku mengangguk. "Sekali lagi aku minta maaf, dan berterima kasih."

"Kamu pulanglah saja, aku masih ingin di sini," ucap Atifa.

"Baiklah. Kalau begitu terima kasih sudah membantu mencari Niar," jawabku. Kemudian bergegas ke luar menyusul Niar.

Saat memasuki mobil, aku mengerutkan kening melihat wanita hamil tadi masih ada di jalanan, tidak masuk ke rumah, padahal sudah memasuki malam.

Dia hanya berdiri tepi jalan, sembari mengusap perutnya yang besar.

Kemudian menoleh pada Niar yang hanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. 

Sebenarnya ada apa ini? Apa yang sedang disembunyikan dariku?

Komentar

Login untuk melihat komentar!