DICERAI SETELAH MEMINJAM HP SUAMI
Part 5
Fadel menikmati langit yang mulai berwarna jingga. Ditemani semilir angin yang mulai mengajaknya bercanda. Hatinya masih berderit tatkala mengingat Adara. Bagaimana jika Adara hamil? Tentunya hubungannya dengan Adara tidak bisa lepas begitu saja.
"Fadel! Kamu di dalam?!" Suara Arunika terdengar jelas di telinga.
"Iya, Mbak. Sebentar," ujar Fadel seraya melangkah menuju sumber suara.
Daun pintu terbuka lebar, terlihat wajah cantik Arunika dengan senyum manis terpahat di bibirnya.
"Uwais mana, Mbak?" tanya Fadel. Dia tidak menemukan keponakan kecilnya di gendongan Arunika.
"Ada, di kamar ibu. Boleh Mbak masuk?" tanya Arunika pelan.
Fadel membalikkan badannya, dia kembali melangkah menuju balkon kamarnya. Dijatuhkan kembali bokongnya atas kursi kayu. Kemudian, melempar pandangan jauh ke langit yang sebentar lagi akan gelap.
"Mbak dengar dari ibu, kamu sudah bercerai dengan Adara? Kenapa begitu cepat?" tanya Arunika prihatin. Tangan lembutnya mengusap pundak adik semata wayangnya.
Fadel terdiam. Dia ragu untuk menjelaskan detail permasalahan rumah tangganya.
"Kamu mau merahasiakannya dari Mbak?" selidik Arunika dengan sorot mata yang membuat Fadel menghela napas kasar.
"Dia tidak menyukai ibu, Mbak. Dia juga tidak suka denganku. Aku menyesal terlalu cepat menikahinya. Aku pikir dengan dia merasakan susah hidup akan lebih mudah menjalani rumah tangga. Ternyata aku salah besar. Dia berbanding terbalik dengan Adara yang kukenal sebelum menikah," ungkap Fadel lesu.
"Lha, kalau faktanya begitu kenapa harus sedih?" tanya Arunika. Ekspresi Fadel mengusik pikirannya.
"Gimana nggak sedih, baru aja dapat istri. Eh! Akhirnya ngenes gini," balas Fadel.
"Kamu masih cinta sama dia?"
"Mbak, kenapa sih dari tadi nanya mulu," protes Fadel sewot.
Arunika tertawa melihat sikap fadel. Kehilangan terlihat jelas dari sorot mata Fadel.
"Itulah hidup, kita tidak bisa melihat sesuatu dari luarnya karena dalamnya belum tentu sama. Zaman sekarang, harus pandai pilih istri. Sabar, nanti Mbak kenalin sama adik sahabat Mbak ...,"
"Apaan sih? Nggak ... aku nggak mau. Baru aja beberapa hari cerai udah ditawarin yang baru. Nggak mau," tolak Fadel.
"Hey, kamu itu lelaki. Kemarin cerai, hari ini bisa nikah lagi. Nggak usah nunggu iddah," sindir Arunika dengan kekehan menyebalkan.
Fadel tetap menolak. Dia ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Setidaknya sampai surat cerai keluar. Butuh waktu menata hati. Terpenting harus menyeleksi lebih ketat lagi wanita yang akan menjadi istrinya.
"Mas Shakir mana?" tanya Fadel mengalihkan pembicaraan.
"Ada kerjaan, dia sibuk mulu akhir-akhir ini. Kamu tahu sendiri, sejak Mbak melahirkan, perusahaan dia yang urus," ungkap Arunika. Wajahnya terlihat lesu. Kesibukan Shakir membuatnya merasa kurang diperhatikan.
"Hati-hati sama Mas Shakir. Jangan lepasin sepenuhnya sama dia ...,"
"Kenapa kamu ngomongnya gitu? Dia suami Mbak," potong Arunika. Ucapan Fadel sedikit mengores hatinya.
Fadel mulai menjelaskan tentang hal yang dilakukan Adara. Mencuri uang dan beberapa perhiasan. Fadel hanya mengingatkan kakaknya untuk lebih berhati-hati. Walaupun suami, Shakir tetap orang lain karena kasus Adara membuat Fadel mulai was-was dengan orang luar.
"Iya, kamu benar. Namun, tenang aja. Semua harta Mbak masih atas nama Mbak semuanya," ungkap Arunika. Bertemu dengan Fadel malah membuat dirinya menaruh curiga pada Shakir.
Pikiran Arunika mulai berkelana. Sisi buruknya membisikkan hal-hal negatif yang merusak suasana hati. Namun, sisi baiknya menepis segala praduga yang belum jelas kabar berita.
****
Adara mematut diri di depan cermin. Memoles bedak di wajahnya, menyapu blush on di pipinya. Dia juga menyempurnakan matanya dengan memakai bulu mata anti badai. Uang yang dia curi dari Fadel digunakan untuk membeli barang-barang mewah dan berkelas.
Diraihnya tas yang harganya jutaan, padahal andaikan berhemat. Uang tersebut bisa mencukupi kehidupannya beberapa bulan ke depan. Ketika gaya membumbung tinggi, maka harus siap-siap dihinggapi darah tinggi. Miris.
"Kamu mau kemana?" tanya ibunya.
"Mau jalan, Bu," jawab Adara singkat.
"Kemana? Sama siapa?" selidik ibunya.
"Nggak tahu kemana. Palingan ngopi. Sama calon suami, Bu," ujar Adara seraya mengenakan higheelsnya.
Nada bicara ibunya meninggi. Dia meminta Adara untuk menjaga diri selama surat cerai belum keluar. Jangan sampai dia diberi label janda gatal atau semacamnya. Ada masa iddah yang harus dia lalui.
"Bu, udah ah! Jangan ribut. Lebih cepat lebih baik, 'kan? Uang kita udah menipis," ujar Adara enteng.
"Di otak kamu hanya ada uang, uang dan uang ...,"
"Ibu juga, 'kan?" potong Adara. Ibunya langsung terdiam.
"Kalau dibilangin kamu ngeyel terus. Ini semua untuk kebaikan kamu," lanjut ibunya yang berusaha menahan emosi.
Beeeep!
Suara klakson mobil menghentikan perdebatan mereka berdua.
"Aku pergi ya, Bu," ujar Adara seraya melangkah pergi.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam sudah menunggunya di pinggir jalan. Secepat kilat ditariknya pintu mobil. Duduk dengan manis dan menyunggingkan senyum indahnya untuk lelaki di balik setir kemudi.
"Kamu cantik banget," ujar Shakir seraya membelai pipinya Adara.
"Selalu muji. Udah jalan, nanti ketahuan ibu," ujar Adara manja.
"Kita kemana, Cantik," tanya Shakir dengan kedipan mata menggoda.
"Kemana aja, yang penting happy, Mas," balas Adara.
Shakir melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Mereka asyik berbicara dengan berbagai topik. Sepertinya Shakir mulai lupa pada Arunika. Kobaran api mulai dihidupkan, entah siapa yang dibakar atau malah terbakar dengan api yang sengaja mereka hidupkan.
****
Arunika sibuk menyusui Uwais, tiba-tiba Shakir masuk ke kamar dengan mengulas senyum semringah.
"Sayang, Mas boleh pinjam uang nggak?" tanya Shakir dengan wajah memelas.
"Uang, untuk apa?" tanya Arunika.
Selama ini keperluan Shakir sudah lebih dari cukup. Semua fasilitas diberikan oleh Arunika.
"Mas mau buka usaha, Dek. 100 juta aja."
Mata Arunika terbelalak kaget. Nominal yang disebutkan oleh Shakir terlalu besar.
"Usaha apa sebesar itu?" tanya Arunika antusias. Ucapan Fadel kembali terngiang di telinga.
"Kamu tahu sendiri, selama ini aku hanya mengandalkan perusahaanmu. Mas pikir udah waktunya Mas mandiri." Alasan yang Shakir berikan.
Arunika terdiam, pikirannya mulai berkecamuk. Pembicaraannya dengan Fadel sungguh merancuni pikirannya.
"Gimana, Dek? Mas yakin uang segitu nggak ada artinya untuk kamu," ujar Shakir kembali.
Bersambung
Login untuk melihat komentar!