Rasa yang Belum Selesai
Di tengah harapanku agar terjadi keajaiban yang bisa membuat pernikahanku dengan Om Tezza batal, di ruang depan, Mas Abqo sudah mengucapkan kalimat ijab dan akhirnya mengalirlah kalimat sakral itu dari mulut Om Tezza. Tak lama kemudian disusul dengan seruan kata sah dan hamdalah dari para tamu yang hadir. 

Pupuslah sudah harapanku. Sekarang statusku udah jadi istri orang! 
Namun, tiba-tiba terdengar suara keras Mas Abqo di depan pintu kamarku. 
"Sha, Asha! Bangun! Udah subuh!"

Loh, Mas Abqo kenapa menggedor-gedor kamarku? Bukannya tadi dia lagi jadi wali nikahku? 

"Ashaaa! Bangun! Nanti subuhnya kesiangan lagi!"

Ha? Subuh? Sontak, mataku terbuka lebar dan langsung terduduk. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 04.30 dini hari. Dan aku ... masih mengenakan piyama! 

Lekas aku berdiri lalu membukakan pintu untuk kakakku. 
"Aaah, Mas, makasi, ya, udah nyelamatin Asha," ujarku seraya memeluk erat Mas Abqo yang tentu saja membuatnya risih. 

"Ih, apaan, sih! Lepasin, Sha. Nyelamatin kamu gimana?"

"Mas, tadi, tuh, Asha mimpi nikah sama Om Tezza. Untung Mas bangunin. Jadi batal deh nikahnya."

"Seriusan kamu, Sha?"

Aku mengangguk cepat. 

"Kamu semalam jadi Solat Istikharah, nggak?"

"Iya, jadi."

Mas Abqo berusaha melepaskan diri sambil menatapku lekat. 

"Kenapa, sih, Mas?"

"Nggak, nggak pa-pa. Ya udah, buruan solat, yuk. Sana wudhu."

Pagi harinya sebelum berangkat kuliah, aku sempatkan untuk membantu Ibu membuatkan sarapan pagi. Ibu menyiapkan nasi goreng seafood spesial kesukaan Mas Abqo. Sebenarnya kesukaanku juga, sih, tapi memang aku itu tipikal orang yang nggak terlalu pemilih kalau soal makanan. Hampir semua makanan aku suka. Beda kayak Mas Abqo. Dia mah orangnya pemilih. Nggak makanan nggak perempuan, Sama-sama pemilih. Makanya sampai sekarang dia belum menikah. Wong, pacar saja nggak punya. Kata Mas Abqo, kalau mau cari calon istri itu nggak perlu dicari tahu dengan cara pacaran. Cukup pake hati dan perasaan saja, kamu akan tahu jawabannya. Entah gimana maksud perkataannya. 

Pernah beberapa kali ibu mengenalkan Mas Abqo sama salah satu anak gadis temannya. Mas Abqo langsung geleng-geleng. "Hatiku bilang bukan dia orangnya, Bu," ucapnya waktu itu yang langsung dihadiahi cubitan gemas dari ibu karena lagi-lagi gagal menjadi mak comblang untuk anak lelakinya. 

"Bu, si Asha, tuh, semalam mimpiin Om Tezza," ujar Mas Abqo tanpa tedeng aling-aling. Langsung saja kucubit kecil pinggangnya. "Orang udah dikasih tahu supaya jangan kasih tahu ibu juga," ucapku dalam hati seraya melototkan mata padanya. Sayangnya dia hanya meledek sambil menjulurkan lidah. 

Ibu yang baru saja akan menyuap nasi goreng, mendadak menurunkan kembali sendoknya. Pandangannya kini beralih ke arahku. 

"Bener itu, Sha? Mimpiin gimana?"

Aku terpaksa jujur. "Iya, Bu. Eh, tapi Asha, kan, nggak sengaja, Bu. Tiba-tiba aja dia dateng ke mimpi Asha. Asha mana bisa ngelarang."

"Terus?" Ibu terus memandangku lekat dengan mata cokelatnya. 

"Di mimpi itu Asha nikah sama Om Tezza, Bu."

Ibu membelalak, setelahnya kulihat mata tuanya berkaca-kaca. 
"Beneran, Nak? Alhamdulillah, ya, Allah."

Lho, kok, ibu bilang Alhamdulillah. Itu, kan, cuma mimpi?

"Kok, Alhamdulillah, Bu? Orang nikahnya batal. Kan, cuma dalam mimpi."

"Asha, begini, Nak. Kamu inget, nggak, kenapa waktu kemarin kamu ngelamar kerja di majalah terus gagal?"

"Yah, ibu ngelarang Asha dateng ke interview terakhir, ya, gagallah. Kata ibu, Asha, kamu mendingan fokus ke skripsi kamu dulu, abis itu baru cari kerja, tapi kalau bisa jangan jadi reporter, ya. Gitu, kan?"

"Iya, bener. Itu karena waktu malamnya ibu juga Istikharah dan jawabannya ibu nggak sreg sama keinginan kamu untuk jadi reporter. Malam itu ibu mimpi kamu kecelakaan saat sedang meliput berita."

"Asha, nggak ngerti. Maksud ibu gimana, sih?"

"Setahu Ibu, mimpi itu adalah salah satu cara Allah untuk memberi tahu jawaban atas Istikharah kita. Insya Allah pernikahan kamu dan Nak Tezza di mimpi itu adalah jawaban Istikharah kamu, Sha. Memang, sih, ada juga yang bilang kalau hanya mimpi belum tentu petunjuk dari Allah, bisa jadi itu tipu daya setan juga. Tapi kalau memang itu asalnya dari Allah, hati kamu itu lama-lama akan semakin yakin. Keraguan yang masih kamu rasain, pelan-pelan akan berkurang dan setelah itu Allah akan memudahkan proses selanjutnya sampai kalian benar-benar sah."

Kali ini mataku yang membulat sempurna. Iya, sih, gara-gara waktu itu, nggak nurut sama Ibu, aku malah ketemu Alfa yang udah mainin perasaan aku.

"Jadi, Bu, Om Tezza beneran jodoh Asha?"

"Ya belum tahulah, nikah aja belum. Makanya sana jawab iya aja, mana udah kasih syarat aneh-aneh. Pas udah dipenuhin, dia malah kabur. Mas, ni, ikutan jadi korban!"

"Korban gimana maksud kamu, Abqo?"

Ih, Mas Abqo, nih, bener-bener nggak bisa jaga rahasia! Aku terus melotot ke arahnya agar Mas Abqo tidak meneruskan ceritanya, tetapi tetap saja mulutnya mengoceh dengan lancar mengenai peristiwa di puncak kemarin.

***

"Saya akan naik paralayang. Tapi saya mau Kak Abqo dan Dek Asha juga ikut naik. Tenang aja, saya yang bayarin tiketnya."

Ha? Kok si Om jadi ngajakin kita. Dih ogah, takut gue naik gituan.

"Gimana? Kalian mau, kan?".

"Nggak. Saya nggak mau, Om. Sha, kamu aja sana yang naik."

"Ih, nggak mau, ah, Mas. Asha nggak  berani. Eh tunggu, Om nggak berhak nyuruh-nyuruh kita. Sekarang itu, kan, Asha yang harusnya nyuruh Om, bukan sebaliknya."
Kulihat Om Tezza tertawa. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan  kalau dia takut. 

"Mas, gimana, nih?"

Mas Abqo bukannya bantuin malah ngebuang muka. "Nggak tahu, ah."

"Kak Abqo aja yang naik paralayang temenin saya. Takutnya nanti di atas saya kenapa-napa. Kalau ada Kak Abqo, kan saya jadi tenang."

"Maksud, Om?"

"Ya, siapa tau saya nanti takut sampai jantungan."

"Jadi maksud, Om, kita akan lari dari tanggung jawab kalau Om nanti kenapa-napa di atas sana? Lagian pasti di sana juga ada pemandunya, Om. Om, nggak akan kenapa-napalah!"

"Ya, kita, kan, nggak ada yang tahu."

Ih, gemeees. Om Tezza tampaknya begitu menikmati kebingunganku. Buktinya dia senyum-senyum terus dari tadi. Nyebelin! 

Akhirnya setelah kulancarkan rayuan maut ala Asha, demi adiknya yang tercinta ini, Mas Abqo bersedia naik paralayang. Walaupun saat mendarat dia langsung memuntahkan semua isi perutnya. Jujur, sebenarnya aku ingin tertawa, tapi, tidak tega. Maaf, ya, Mas. 

***

Satu minggu setelah Om Tezza memenuhi syaratku dan aku memastikan kalau aku menerima lamarannya, dia kembali datang ke rumah untuk menentukan hari pernikahan kami. Namun, kali ini dia tidak sendiri.  Ia datang bersama Pak Ahmad, yang katanya adalah salah satu orang kepercayaannya di kantor. 

Om Tezza, Mas Abqo dan ibu memutuskan pernikahan akan dilaksanakan dalam waktu enam bulan ke depan, setelah sidang skripsiku selesai, dan dua minggu menjelang bulan Ramadan. Sebenarnya ibu ingin pernikahan kami dilakukan dalam waktu secepat mungkin, tetapi aku merasa masih belum siap. Untungnya ada skripsi yang masih bisa kujadikan alasan. 

"Oh, iya, Alfa juga sudah saya kasih tahu kalau saya akan menikah. Semalam akhirnya dia mau membalas pesan dari saya. Dia bilang dia usahakan akan datang di pernikahan kita nanti. Bulan depan kalau tidak ada perubahan, dia mau pulang ke Indonesia."

Apa? Jadi Alfa akan muncul di hari pernikahan kami nanti? Lihat saja, apa yang akan kulakukan padamu wahai calon anak tiriku! 

Bersambung. 






Komentar

Login untuk melihat komentar!