Calon Besan Jadi Calon Mantu
Setelah Om Tezza selesai menceritakan kisah masa lalunya bersama dengan sang istri, hatiku seperti dihinggapi butiran salju yang begitu menyejukkan. Kesetiaan seorang Om Tezza membuatku sedikit terpana. Ternyata zaman sekarang masih ada laki-laki yang begitu setia seperti dirinya. Buktinya sampai sekarang ia masih menduda. Padahal, nih, pasti banyak tante-tante yang udah ngantri sepanjang jalan hanya untuk  menarik perhatian duda keren di depanku ini. 

"Baiklah. Sebelumya ibu ucapkan terima kasih atas lamaran Nak Tezza kepada Asha. Tetapi maaf, sepertinya Asha tidak ...." jawab Ibu sambil melirikku. 

"Tunggu, Bu," ujarku cepat memotong kalimat Ibu. Sontak, pandangan mata semua yang hadir di sana mengarah tepat ke arahku. Kuhirup napas dalam-dalam, menahannya sebentar lalu mengempaskannya kasar. 

"Asha, ada yang mau kamu sampaikan, Nak?" 
Ibu berkata dengan raut wajah penuh pertanyaan. Namun, senyuman seakan enggan turun dari paras cantiknya. Ibu seakan sudah tahu kalimat apa yang ingin aku ucapkan selanjutnya. 

"Bu, jika ibu dan Mas Abqo izinkan, Asha mau menerima lamaran dari Om Tezza."

"Alhamdulillah," jawab Om Tezza yang langsung disambut senyum hangat ibu. 

"Eh, tapi Om jangan seneng dulu. Asha bersedia menikah sama Om dengan satu syarat. Kalau Om nggak bisa memenuhi syarat itu, ya maaf, Om harus melupakan lamaran Om hari ini."

"Sha! Kamu ini apa-apaan? Kenapa lamarannya diterima? Dia itu ayahnya Alfa, Sha. Pasti mereka sama bre**seknya. Jangan-jangan malah sifat buruknya Alfa nurun dari ayahnya ini. Jangan mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya! Kamu nggak sakit hati sama perlakuan mereka?" cecar Mas Abqo. Ia mendadak bangkit dan bermaksud meninggalkan ruangan. 

"Abqo ...." 
Ibu memberi kode dengan matanya untuk menyuruh Mas Abqo kembali duduk. Ibu juga seolah-olah ingin mengatakan jika ia tidak pernah mengajari anak-anaknya bersikap tidak sopan terhadap orang yang lebih tua seperti yang baru saja Mas Abqo lakukan tadi. Tentu saja Mas Abqo langsung duduk. 

"Maafkan sikap anak saya, ya, Nak Tezza."

"Tidak, apa-apa, Bu. Saya maklum. Saya malah kagum karena Kak Abqo begitu menyayangi dan melindungi Dek Asha. Jika saya ada di posisi Kak Abqo pasti saya akan melakukan hal serupa. Atau bahkan lebih parah."

"Kak? Sejak kapan saya jadi kakak Anda? Nggak usah sok akrab, deh. Lagian adek saya juga belum tentu nerima anda, lagi kesambet kali dia tadi."

Ibu hanya geleng-geleng melihat ulah Mas Abqo. Ia lalu mengarahkan pandangannya ke arahku. "Asha, apa kamu yakin dengan yang kamu ucapkan tadi, Nak?"

"Yakin, Bu. Mas Abqo jangan marah dulu, dong. Kan, tadi Asha bilang nggak akan menerima Om Tezza gitu aja. Harus ada syaratnya dulu."

"Sebutkan aja, Dek. Saya akan berusaha memenuhi semua keinginan Adek," imbuh Om Tezza yang diiringi dengan senyuman sehangat mentari senja. 

"Syaratnya masih Asha pikirin. Nanti kalau udah ada, Asha akan kasih tau Om."

Aku tersenyum puas. Dalam hati, aku sangat yakin kalau si Om nggak akan bisa memenuhi syarat yang aku ajukan. Namun, kalau ternyata bisa gimana? ? 

***

Setelah mendapat bujukan dari Ibu, akhirnya Mas Abqo memberikan izinnya. Itu pun setelah aku menjawab ancamannya dengan anggukan yakin disertai rayuan maut. "Kalau nanti kamu ditipu lagi sama mereka, jangan ngadu sama Mas lagi. Mas udah nggak mau ikut campur!"

"Iya, Masku yang paling ganteng segalaksi Bima Sakti. Iya." Tidak lupa kuhujani pipinya dengan ciuman yang membuatnya risih dan langsung melarikan diri. Ah, Mas Abqo, i love you pull. Makasih ya udah mau jagain adekmu yang manja ini. 

Selepas makan malam, ibu memanggilku yang sudah bersiap akan menuju kamar. 
"Sha, sini, Nak. Ibu mau bicara. Sini, duduk dekat ibu." 

Dengan patuh, aku pun menurut. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku seraya memijit-mijit pelan bahu ibu. 

"Nak, ibu cuma mau tanya mengenai keputusanmu tadi siang. Apa kamu benar-benar sudah yakin? Sudah berpikir matang-matang? Kenapa nggak istighotsah dulu?"

Aku menggaruk kepala sambil mengingat sesuatu. "Istighotsah?" Perasaan bukan itu, deh. "Maksud ibu Istikharah?"

"Nah, itu pintar, sudah tahu berarti. Sekarang coba jelasin sama ibu hasil istikharah kamu. Dan satu lagi, memangnya kamu sudah bisa melupakan Alfa? Cepet banget move on-nya."

Aku berpikir sejenak. Sejujurnya aku memang belum melakukan istikharah atau memikirkan apa pun terkait lamaran Om Tezza. Kalimatku tadi spontan karena aku punya rencana untuk balas dendam sama Alfa, tetapi tentu saja Ibu nggak perlu tahu. Bisa kena omel seribu kata perhari aku nanti. Ibuku itu, kan, penulis novel. 

"Sebenarnya Asha belum istikharah Bu. Kan, Om Tezzanya juga baru ngelamarnya tadi."

"Ya udah, nanti malam kamu istikharah, ya, Nak. Minta petunjuk sama Allah. Kalau memang Nak Tezza itu jodohmu insya Allah, Allah akan mudahkan jalan kalian selanjutnya. Mengenai Alfa bagaimana?" Ibu masih terus menatapku tajam. Seolah tidak ingin melewatkan sedikit pun ekspresi wajah dari anaknya ini saat menjawab. 

"Tentang Alfa, terus terang Asha masih sayang sama dia, Bu, tapi untungnya perasaan Asha itu belum terlalu dalam. Asha inget kata-kata ibu dulu, kalau hanya boleh memberikan cinta 100% kita cuma sama suami," jawabku seraya memeluk ibu. 

"Meski nggak muna, sih, Asha kecewa banget karena nggak jadi nikah sama dia. Kan, Ibu tahu kami sempet pacaran selama enam bulan."


Ibu membalas pelukanku dengan belaian lembut di kepala. "Asha, kecewa dan marah itu wajar, kok, manusiawi malah. Namun, meski kecewa, itu semua sudah merupakan ketentuan dari Allah. Jadi, kamu harus sabar dan bisa menerimanya, ya. Ibu yakin, kok, Asha pasti bisa ngejalanin semuanya dengan ikhlas."

"Iya, Bu."

"Eh, tapi kamu juga jangan nerima Nak Tezza karena mau balas dendam atau menjadikan dia sebagai pelarian aja, lho. No no no. Ibu nggak setuju. Kalau soal cinta, ibu percaya rasa cinta itu akan tumbuh seiring waktu. Allah yang akan menumbuhkan rasa cintamu pada Nak Tezza nanti, tentunya kalau kalian jadi menikah."

Aduh, kok, ibu bisa baca pikiranku, sih. 
"Iya, Bu, enggak, kok. Lagian Asha nerima Om Tezza, kan, karena ibu juga."

Ibu mengalihkan pandangannya tepat ke bola mataku. Ia kemudian tersenyum. "Jadi kamu tahu?"

"Ya, tahulah, Bu. Orang ibu senyum-senyum terus gitu pas Om Tezza ngomong. Kayak orang lagi jatuh cinta," jawabku yang langsung membuat ibu tertawa.

"Jatuh cinta sama sikapnya, Sha. Eh, Sha, kamu tahu nggak? Firasat ibu bilang, dia itu memang jodoh yang tepat buat kamu. Ibu yakin banget kalau dia bisa membuat kamu bahagia."

Tidak kupungkiri, pembicaraan mengenai Om Tezza bersama ibu perlahan telah mampu mengikis rasa kecewa di hati ini akibat ulah Alfa kemarin. 

"Eh iya, ibu tahu dari mana kalau Asha akan bahagia sama Om Tezza? Om Tezza, kan, sudah berumur, Bu. Udah tua."

"Ya, tahulah, Sha. Firasat seorang ibu itu biasanya nggak pernah salah. Lagian kalau tua memangnya kenapa? Yang penting dia, kan, single alias belum ada yang punya. Soal penampilan, tugas kamulah nanti yang harus mengubah penampilannya biar bisa sebanding sama kamu," jelas ibu panjang lebar.

"Nanti, nih Sha, ibu juga akan bikin cerbung yang judulnya, calon besanku jadi calon mantuku. Pasti emak-emak pada suka, deh."

Sontak, tawaku langsung pecah sampai mataku berair. 

"Ih, ibu, Asha, kan, juga belum tentu jawab iya. Syaratnya aja belum tentu bisa dia penuhi."

"Memangnya kamu minta syarat apa, sih, Sha?"


Bersambung. 





Komentar

Login untuk melihat komentar!