Pembantu atau Budak?
*
Guerlain Flagship Shop, Berada cukup jauh dari jangkauan, namun wangi sensasional terkenal di Perancis ini mendadak berasa tercium oleh indraku.
Wangi orang-orang kaya dengan pengalaman jam terbang penuh sensasi, tampilan kreatifnya seakan di depan netra. Flagship store tidak mungkin berpindah tempat.
Kesan mewah nan elegant seolah-olah berada di istana yang indah. Aku menghirup candu segar wangi itu. Siapa pemiliknya?
Sebelum suara ketukan terdengar nyaring di pintu masuk, sengatan harum menguar dari arah pintu. Pesan Madame, tidak boleh membuka pintu sembarangan.
Kulihat Madame berpakain rapi hari ini. Membuka pintu, seorang wanita cantik berwajah France Arabian, penampilannya anggun. Masuk dengan senyum ramahnya.
“Saya seorang Jehovah, dari Lebanon,” ucapnya memperkenalkan diri padaku. Aku mengangguk.
Sudah kubilang, sahabatnya Madame hampir semua sama pahamnya, Apa Monsiuere tidak takut, Iman Madame. Ah, untuk apa kuambil pusing. Toh aku hanya pekerja.
“Hai, Ismah, kamu bisa bahasa apa?” sapanya ramah padaku.
“Inggris,” jawabku singkat.
“Yang lancar berbahasa apa?” tanyanya lagi.
Entah untuk apa? Apa sahabat Madame ini bisa semua bahasa.
“Saya bisa berbahasa Melayu,’ jawabku kemudian.
“Baiklah. Saya akan bawakan buku-buku berbahasa Indonesia,” ucapnya tersenyum.
Apa? Dia mau membawakanku buku-buku dakwah Jehovah.
Nauzubillah.
Hal paling sulit di atas dunia ini adalah menjaga Iman di tengah lingkungan yang tidak sepaham. Aku bergidik ngeri. “Bismillah ya Rabb, kuatkan Imanku.” Doaku dalam hati.
Mereka tidak tahu, di Indonesia dari dulu Missionarist Jehovah itu dilarang keras datang dan menyebarkan ajaran. Baru-baru ini kudengar sudah bebas menyebarkan.
Atas nama Hak Asasi Manusia. Tapi, Sahabat Madame itu baik. Sekilas aku mendengar ia berbicara dengan Madame dengan suara tidak setuju.
“Kau tidak memberinya istirahat? Ini kan sabtu? Kenapa tidak pause?” tanyanya beruntun pada Madame majikan.
Ah, itu benar. Aku kerja bagai rodi. Nyaris siang malam, pinggang serasa patah.
Hanya karena, cita-cita yang kugantung tinggi, selalu memompa semangat ini.
Semoga setahun lekas berlalu. Tapi, bagaimana caranya aku pulang ke Indonesia, passportku ditahan. Jalani dulu saja, tepat waktunya akan kupikirkan kemudian. Dialogku dalam bhatin.
*
Arc de Triomphe bagai mimpi indah untuk dikunjungi, salah satu Landmark Avenue Champs-Élysées dibangun oleh Napoleon I sebagai simbol kehormatan kemenangan perang.
Perang menyisakan kenangan indah di Negeri bernama France. Aliran sungai Seine bagai kristal panjang berliuk di tengah rerumputan.
Siapapun menginginkan pemandangan bak surgawi ini. Begitu pun aku, tergiur lowongan dengan gaji lumayan di Negara Brunei Darussalam.
Aku justru tergoda melirik indahnya Laduree kala swastamhita pulang ke peraduan.
Duduk menikmati lamunan dengan hamparan karpet hijau, bagai menghirup udara segar setelah terkurung asap sekian ratus hari. Kini, di sinilah aku, menikmati indahnya kecipak sungai Seine.
Champ de Mars, Taman indah dengan jalan-jalan setapak, berbagai spesies burung terbang dengan cuit begitu merdu, pepohonan randu berjejer rapi, di tengah halaman rumput luas, area ramah anak membuat tidak bosan hingga lupa waktu, tiada terasa terus beranjak senja.
Amnah, Yusuf dan Firos meminta untuk bermain di sini. Aku menuruti untuk menemani.
Bukan kah memang tugasku?
Champ de Mars memang tempat yang sangat menyenangkan, tembusannya langsung bisa menemukan maha karya termahal--Champ Elysées.
Tempat yang pernah digunakan untuk latihan dan baris berbaris militer Prancis ini menjadi salah satu icon yang wajib dikunjungi bagi mereka pemilik dana Sultan.
Sedangkan aku bisa sampai ke sini karena pekerjaan.
“Sudah senja, Yusuf, Firos, mari kita pulang! Ayuk, Amnah,” ajakku menatap matahari meluncur dengan begitu indah.
“Enggak. Aku masih mau main, lihat burung-burung terbang di sore hari, itu menyenangkan.” Amnah menolak untuk pulang.
Aku bisa apa? Anak-anak bukan mainan yang bisa seenaknya menghilangkan kesenangan.
Alamat waktu yang terulur mundur, berakibat fatal untukku. Madame pasti marah karena telah lalai dengan waktu.
Setelah memundurkan beberapa jam ke belakang, akhirnya mereka mau diajak pulang, dan--benar. Madame murka.
“Kau tidak memasak, sengaja mengulur waktu biar kerjaan rumah tidak selesai,” teriak Madame nyaring.
Sudah hampir setahun aku di sini, jangankan membantah Madame, permintaan anak-anak dengan berbagai macam saja kuturuti, ini malah dituduh sengaja mengulur waktu.
Sengaja tidak memasak. Sakit banget! Padahal anak-anaknya yang tidak mau pulang. Madame masih mengomel tak karuan, aku memilih diam, apalagi yang harus aku lakukan, dan langsung beranjak ke dapu--memasak.
Padahal kaki dan pinggang masih terasa sakit kelelahan, apalagi harus ekstra menjaga Amnah si bungsu.
Setiap hari, aku disodorkan wajah masam, pagi hari Madame sudah marah-marah, benar kata Puspa, setiap yang bekerja di rumahnya tidak ada yang betah karena tenaga dikuras tanpa istirahat.
Sebelum aku bekerja di sini, ada gadis philipines yang kabur dari rumah. Sebelum-sebelumnya lagi, entahlah.
Aku malas mikir. Hari ini hatiku benar-benar tak kuasa, lelah, ngilu sekaligus, sedikit bening menetes di pipi.
Aku rindu kebebasan, rindu tanah air. Betapa bahagia mereka yang merdeka tanpa takut melakukan banyak hal.
Tidak sepertiku, menemani anak Majikan saja dan itu atas dasar perintahnya juga tetap disalahkan.
Ternyata menyembunyikan semua kesedihan kita itu sangat sakit terasa. Tanpa meluahkan sedikit saja agar di dada terasa lega.
Setelah masak, aku memejam netra agar tetap berpikir waras. Seharusnya weekend aku bisa libur. Eh malah kerja full time dua puluh empat jam.
Malam pun tetap diberi perintah, ngurusin Amnah dan lain sebagainya.
Gaji kecil, majikan sering marah-marah, bahkan acap berbahasa kotor. Aku bingung mengapa Madame yang cantik, istri diplomat ternama, bisa membahasakan kalimat-kalimat kotor.
“France itu jorok, kotor sebab gaul bebas.”
Ya. Mau bagaimana? Toh, emang sudah resiko tinggal di France begitu.
Lingkungannya, tentu tidak sama dengan yang kita inginkan, apalagi aku yang baru saja beradaptasi.
Jika boleh meminta hal yang paling ingin dilhat adalah di samping menara Eiffel ada masjid besar nan indah.
Lah, yang indah justru hotel. Mana mungkin segala keinginan dikabulkan sekelip mata. Itulah namanya resiko.
Sepertinya Madame harus bersikap bijak, atau menghentikan pertemanan dengan teman-teman tak sepahamnya.
Agar dia tahu bahwa Leo Tolstoy pernah berkata “ISLAM akan memerintah dunia suatu hari nanti, karena di dalamnya ada kombinasi antara pengetahuan dan kebijaksanaan”.
Suatu hari France tidak akan kita temukan wanita berpakaian mini atau lelaki mabuk judi. Ah, tap siapa lah diri ini menasehati sosok boss angkuh nan arogan itu.
Kalau sudah marah-marah, aku memilh masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Entah mengapa hari ini aku berniat untuk lari. Capek banget rasanya kerja tanpa jeda waktu. Plus Majikan yang makanan sehari-harinya adalah marah-marah.
Pengen nangis kuat plus gila dalam satu waktu.
Astagfirullah, Ismah! Tenang. Aku mengusap dada sambil istigfar.
Bagaimana aku menjaga pikiran agar tetap tenang dan menjaga fisik agar bisa bekerja dengan layak? Majikan saja tidak pengertian.
Setiap hari, baru bangun saja sudah marah-marah tanpa jelas apa yang menjadi bahan marahnya.
Bahkan Madame berdehem saja, sendi-sendiku ikutan ngilu. Takut dan deg-degan jadi satu. Lama-lama bisa mengidap jantung coroner jika aku bertahan di sini.
Mengurus tiga anak, memasak, menyetrika, mencuci plus menyapu, membereskan kamar, jendela dalam dan luar, dengan gaji yang tidak sepadan.
Rasanya pinggang dan betis ingin lari dari sangkar sendinya. Untuk urusan makan, para bocah harus ditungguin, makan malam jangan harap bisa istirahat, yang ada menunggu pring kotor lalu membereskan segera.
Benar-benar seperti budak. Melarikan diri sepertinya jalan terbaik. Tiba-tiba pikiran itu melintas di otakku.
Alat pembersih jendela masih sempurna dalam genggaman saat seseorang melintas dan melambai dengan senyum semringah, apa dia baru saja melihat aku melamun?
Gurat merana dari wajahku terlihat jelas? Atau ia kira aku sedang memperhatikannya. Sampai begitu parah kah ekpresi tertekan ini?
Hingga orang lewat pun bisa membaca. Tiba-tiba aku tersenyum menemukan ide baru. Kenapa aku tidak mencoba bertanya pada Negaraku, harusnya orang-orang sepertiku dijamin oleh mereka.
Hari ini, seperti biasa, Madame pergi dengan sahabatnya dari negeri Qatar, wanita sosialita begitu, temannya dari berbagai Negara, Kemarin Lebanon, sekarang Qatar.
Biarin saja, kali ini aku harus mengincar telpon, tanganku sigap menekan tombol.
KBRI!
"Maaf, Ismah, kami belum bisa membantumu, jika ingin lari dari tempat kerja, harus ada keluarga yang menjamin kamu di sini. Apalagi passport kamu ditahan majikan,"
Luruh sudah semua harapan.
Apa Negaraku tak lagi peduli padaku?
Aku menarik napas, sesak.
Selesai urusan menelpon KBRI. Kukira tidaklah rumit mengadu pada penjamin kita sebagai warga Negara. Ternyata aku salah. Tim KBRI meminta harus ada orang yang menjaminku di sini. Kecewa, tentu saja.
Astaghfirullah. Harus cari akal lagi.
Menunggu tanggal gajian, sambil menghapal jalur-jalur metro, kelak melarikan diri aku tidak tersesat. Sholat tahajjud minta dimudahkan, memohon pada sang Rabb, menjagaku di negeri orang dari segala mara bahaya.
Tekadku sudah bulat, minggat dari membabu di sini. Pada tanggal gajian, Majikan akan memberiku waktu untuk menelpon.
Saat itu, aku akan memberitahu ibu, menceritakan kondisiku, dan rencana melarikan diri. Ibu setuju dan memberi pesan hati-hati.
Bismillah …
#TBC
*
Jangan lupa melipir ke sini ya gaess:
Sang Bidadari
Aku Masih Perawan
The Power Of Sedekah