Suka Duka Kehidupan

Terhitung sudah satu tahun lamanya aku mengadu nasib di Jakarta, bersama pihak PSSI yang seringkali menerima kritikan pedas. Bahkan, setiap kali aku pulang ke kampung halaman, yang aku terima adalah kritikan-kritikan yang ditujukan khusus untuk PSSI, berharap aku akan menyampaikan. Sungguh, meskipun aku bekerja di PSSI, dan banyak tahu soal sepak bola, aku sendiri tidak berani mengkritik atau menyampaikan saran. Urusanku hanya dengan Timnas, berita-berita yang aku tulis hanya tentang Timnas, semua kelompok umur, tetapi jika sedang melaksanakan training camp serentak, aku ditugaskan untuk mengikuti Timnas U-19/20 yang sebentar lagi akan berlaga di Piala Dunia U-20. Selain itu aku tidak menulis berita, apalagi perkara Kongres, Rapat Exco dan lain sebagainya.

Katakanlah aku masih junior di PSSI, tugasku hanya berurusan dengan pemain dan pelatih, tidak dengan atasan. Satu-satunya aku berurusan dengan atasan, adalah pelaporan berita di website atau menerima teguran. Bahkan, jika ada yang menitip kritik untuk pelatih saja aku tidak berani menyampaikan. Meski aku pecinta sepak bola juga, dalam SOP kerjaku tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan tim. Apalagi terlalu jauh tentang PSSI, aku tahu sebenarnya tapi aku banyak diam. Kuyakin sudah banyak pemikirnya di atas sana.

Aku duduk lesehan di depan kamar Bagus Kahfi, baru saja aku mendapat telepon untuk mewawancarainya, keperluan untuk YouTube PSSI. Ya, beginilah, terkadang tiba-tiba ditunjuk untuk mewawancarai dan merekam video. Seniorku bilang, suaraku enak didengar di dalam video, maka jika ada konten yang menyangkut game atau wawancara menyenangkan selalu aku yang bertugas. Tak apa, toh memang masih dalam lingkupku mengurus Timnas. Jika pemain klub, aku menyerah mungkin.

"Mbak Dira, ngapain duduk lesehan di sini? Kaya gembel aja nih," canda Bagus.

Dulu bulan pertama mengikuti mereka, tak satu pun dari mereka bersikap baik, maksudku tersenyum untukku. Mereka selalu mengacuhkanku, mungkin kurang nyaman dengan gaya wawancaraku. Aku memaklumi itu, tetapi lambat laun mereka sering mengajakku bercanda, meski terkadang seolah kita tidak ada jarak usia. Padahal di tahun 2021 ini, aku akan berusia 25 tahun, dibandingkan mereka ya cukup jauh.

"Ha-ha, biasa Mbak Dira emang lebih suka lesehan begini," timpal Zico. Dulu dia juga dingin sekali denganku.

Memanyunkan bibirku. "Nungguin kamu, Gus, capek lah berdiri terus, ya udah lesehan. Dari mana sih? Jajan? Bilangin Coach Shin nih!"

"Ya Allah, beli booba doang, Mbak. Jangan dibilangin lah," balas Bagus. "Lagian, tadi bilangnya mau wawancara Bang Andritany, kenapa tiba-tiba wawancara aku coba?"

"Kagak mau diwawancara malam ini, mau istirahat katanya, besok pagi aja, subuh-subuh."

Ya, terkadang memang sesulit itu mencari waktu untuk wawancara, terlebih dengan pemain senior. Ada saat-saat di sela latihan, mereka tidak mau diganggu sama sekali. Pusing juga, putar otak juga.

"Lah, terus Mbak nggak pulang ke kos dong? Emang bisa jam segini pulang, besok harus sampai sini sebelum subuh." Zico mengingatkan, aku memang mencari kos yang sedikit murah, jadi kalau dihitung dengan kemacetan Jakarta dipadukan dengan jarak ya lumayan jauh dari kantor PSSI.

Aku menggeleng. "Tidur di sini juga aku jabanin deh, orang beritanya buat dipublikasikan besok siang."

"Lah?" Dua anak ini berseru kencang.

"Udah ayo wawancara dulu, Gus. Ini tentang kesiapan kamu sebagai striker untuk menghadapi Piala Dunia U-20. Sebatas itu sih pertanyaannya. Eh tapi aku setting kamera dulu," kataku membuka ransel besar yang sejak tadi ada dalam pangkuanku.

Bagus mengangguk. "Kalau bukan karena orang Magelang nggak mau aku diwawancara, Mbak."

Aku tersenyum sembari menyiapkan semua perlengkapan. Lalu wawancara berlangsung setengah jam karena ada bagian yang ingin Bagus ulang. Katanya dia terlalu berkelit dalam menjawab pertanyaan. Ada juga bagian di mana dia tidak sengaja mengungkapkan sedikit keluh kesahnya, dia meminta untuk dipotong videonya. Ya, terkadang aku juga mendengar keluhan mereka yang tidak pernah disampaikan pada siapa pun. Tetapi aku juga tidak bisa berbuat apapun.

Usai wawancara, aku turun ke lobi hotel untuk memotong beberapa percakapan yang tidak perlu sebelum dikirimkan kepada editor sekaligus admin YouTube channel PSSI. Hingga larut malam sebab harus memastikan file yang aku kirimkan sesuai, serta tidak ada sesuatu kalimat yang menimbulkan salah paham antara pihak PSSI dengan pemain.

"Dira," sapa seseorang mengenakan jersey Li-Ning warna putih.

"Om," balasku menjabat tangannya.

Ya, beliau Om-ku adik dari Ayahku, Om Abdul yang bekerja di kantor PBSI. Sejak muda memang bergelut di dunia bulu tangkis. Pernah bekerja di PB Djarum namun akhirnya berlabuh ke PBSI sejak sepuluh tahun yang lalu. Betah sekali, dan ceritanya setiap bertemu denganku selalu menyenangkan.

"Ngapain jam segini masih di hotel? Kamu tidak melakukan sesuatu yang berbau prostitusi, kan?" tanyanya menatapku.

"Om, memangnya ponakan Om ini perempuan semacam itu? Pacaran saja tidak pintar, mau terlibat prostitusi. Lagi pula, Om, Dira masih sangat waras untuk tidak menyerahkan apa yang Dira miliki begitu saja. Dira juga masih ingat kalau cita-cita Dira sebelum Dira dilahirkan adalah menjalani hidup dengan baik dan masuk surga," candaku.

Keluarga kami memang suka banyolan yang parah semacam ini, oh atau mungkin hanya aku, Om Abdul dan Ayahku saja.

Om Abdul tersenyum. "Lalu, ngapain kamu di sini? Jam segini. Pulang ke kos sana, mau Om antar?"

Aku menggeleng. "Tidak usah, Om. Sudah terlalu malam sementara sebelum subuh Dira harus siap wawancara di sini pemain senior di sini."

"Tidak difasilitasi kamar hotel untukmu?"

Menggeleng lagi. "Karena memang tidak direncanakan Dira bakalan bermalam di sini, Om."

Om Abdul menghela napasnya. "Makanya, Om bilang kan kemarin-kemarin, kerja saja di PBSI, jadi asistennya Widya, wartawan PBSI. Kalau memang Widya ada kerjaan lain, kamu kan bisa menggantikan dia meliput. Malah nekat ikut PSSI."

Ya, jauh sebelum aku masuk stasiun televisi swasta lokal di Yogyakarta, aku memang sempat ditawarkan pekerjaan itu berulang kali. Mungkin dengan jabatan Om Abdul semuanya bisa diatur. Tetapi aku tidak mau, tidak siap dengan kecaman orang nantinya karena aku masuk kerja dengan orang dalam, tidak mau juga aku begitu mudahnya bekerja tanpa kerja kerasku sendiri.

"Di PBSI tidak ada lah wawancara sampai larut begini, kalau mengerjakan berita pasti banyak begadangnya. Tapi kan bisa dilakukan di kos atau di rumah. Dan wawancara bisa melalui WhatsApp. Manfaatkan fasilitas teknologi yang ada, Dira."

"Pemain senior di sini tidak akan menjawab jika wawancara melalui WhatsApp, Om. Dira dianggap tidak sopan, Dira juga mendapat teguran keras. Masalahnya kan atlet di sini beberapa ada yang kaku, beberapa lagi enak. Kalau yang kelompok umur masih bisa dikendalikan, Om. Mereka kan lebih muda dari Dira, jadi mudah komunikasi dan bergaulnya. Kalau senior kan, ya, usianya banyak yang di atas Dira."

"Ya sudah, sudah puas kan jadi wartawan PSSI? Sudah tahu lelahnya kan? Pindah saja ke PBSI, kapan pun kamu mau."

Aku menggeleng tegas. "Tidak, Om. Dira masih menikmati pekerjaan Dira. Menyenangkan tahu, Om, lihat atlet-atlet berkeringat di lapangan, lepas baju, perut kotak-kotak..."

"Heh!" bentak Om Abdul.

"He-he, bercanda, Om. Nggak ada nafsu juga ngelihatin mereka buka baju, masih cukup berakhlak Dira, Om. Oh iya, Om Abdul ngapian jam segini di sini?"

"Oh, itu nganter yang mau pesan beberapa kamar untuk tim ganda putra dan tunggal putra. Ada masalah di hotel yang sudah dipesan, jadi dipindahkan ke sini, nanti sebelum subuh mungkin."

Aku mengangguk-angguk. "Eh, Hendra Setiawan masih ikut nggak, Om?"

Dalam bulu tangkis aku memang menggilai permainan Hendra Setiawan, ketenangannya, caranya membunuh lawan dengan perlahan, bahkan tak terlihat. Aku menyukai gaya permainannya, sangat.

"Ada, belum niat pensiun mungkin dia."

Aku tertawa. "Nanti kabarin ya, Om. Aku pengen minta tanda tangannya. Hi-hi."

Om Abdul mengangguk. "Om ngurus itu dulu. Eh tapi, tawaran Om masih berlaku. Nanti Om coba bicara dengan PBSI kalau kamu mau."

Tersenyum saja. Bagaimana pun, aku masih cukup sadar untuk tidak menerima tawarannya. Kecuali jika aku bisa mengikuti rangkaian pendaftaran seperti saat aku mengikuti perekrutan di PSSI. Yang pasti, aku tidak ingin menggunakan orang dalam.

"Dira, Om pesankan kamar untukmu, di lantai 1, ini." Menyodorkan kunci kamar berupa kartu dan sebotol minuman mengandung isotonik untukku.

"Aduh, merepotkan, Om."

"Ah, sekali-kali. Lagi pula Om jarang traktir kamu. Kapan-kapan main ke Cipayung ya? Ke rumah, Om. Ke PBSI juga boleh. Arsya mungkin pengen ketemu juga sama kamu."

"Ya, nanti ada libur sebelum pildun Dira main ke rumah, Om. Nanti juga Dira usahakan bisa video call sama Arsya."

Om Abdul mengangguk. "Ya sudah, istirahat."

"Makasih, Om."

Hanya dibalas anggukan dan lambaian tangan.

Masuk kamar dan merebahkan tubuh rasanya baru lima menit, tapi alarmku sudah berbunyi dan lima menit lagi azan subuh berkumandang, waktu DKI Jakarta. Aku dibuat panik sendiri, harus mandi, salat, dan langsung bergegas ke kamar Andritany dengan berlari-larian ke arah lift untuk menuju ke lantai 4. Sampai di lantai 4, aku melihat Hendra Setiawan di ujung lorong, hendak masuk ke kamarnya. Ah, ini kesempatan emas tapi kalau aku tinggal terus tiba-tiba Andritany datang, bagaimana? Aku bisa kehilangan waktu untuk wawancara lagi, sebab pagi ini Timnas Senior yang akan berlatih dan malamnya Timnas U-20.

"Duhhhh," keluhku masih bingung mengambil keputusan yang mana.

"Jadi wawancaranya?" tanya Andritany yang benar saja dia sudah kembali dari mushola.

"Jadi, Bang. Maaf."

"Tumben tepat waktu," katanya membuka pintu kamarnya bersama Hansamu Yama.

Apa pernah aku terlambat liputan atau wawancara? Yang ada para pemain yang seenaknya saja mengatur jadwal wawancara. Terlebih pemain senior.

Akhirnya aku masuk ke dalam kamarnya dengan pintu yang sengaja dibuka, ditemani Hansamu Yama serta Evan Dimas yang baru saja datang dari kamar sebelah. Wawancara kali ini terkait laga ujicoba melawan Uzbekistan Minggu depan. Bulan-bulan ini memang bulan tersibuk bagi persepakbolaan Indonesia. Terlebih bagi Coach Shin Tae Yong yang dengan percaya dirinya menerima tawaran untuk melatih 3 Timnas sekaligus. Harus menyiapkan Piala Dunia U-20, Minggu depan harus menukangi laga ujicoba juga, masuk dalam FIFA Matchday pula.

Wawancara selesai, tidak lama karena bahanku hanya untuk satu berita saja. Aku keluar dan menatap lorong yang ramai, para pemain bulu tangkis itu melangkah ke arah pintu lift, hendak aku kejar tapi mereka sudah masuk lebih dulu.

Tak apa, kehilangan kesempatan minta tanda tangan pada Hendra Setiawan, nanti bisa main ke Cipayung jika aku mau.

Suka duka seorang wartawan, mau mengejar urusan pribadi pun tidak bisa. Tapi segala waktu pribadinya banyak yang disita untuk wawancara dan liputan.

•••
Bersambung...
Follow
IG/Twitter: @artileryca


Komentar

Login untuk melihat komentar!