Niatku liburan tapi sama saja melelahkan. Malam ini ternyata beberapa orang media di PBSI hendak makan malam di rumah Om Abdul. Bukannya banyak istirahat malah harus memasak ini itu, tidak mungkin kan aku hanya diam dan tiduran di kamar sementara Tante Murni sibuk menata makanan, memasak beberapa makanan penutup. Ada yang pesan tapi ada yang buatan sendiri juga.
Suara beberapa mobil mulai terdengar ketika jam di dinding dapur sudah menunjukkan pukul 18.35 WIB. Itu pasti rombongannya, tidak hanya terdengar satu dua mobil, tetapi seperti lebih dari itu. Suara ramai-ramai juga semakin jelas di teras rumah.
"Banyak ya, Tan? Muat rumahnya?" tanyaku karena rumah ini memang bergaya minimalis dengan dua lantainya.
"Nanti gelar tikar di garasi sama teras. Mereka yang mau ini, ya apa boleh buat."
Aku mengangguk-angguk paham.
"Mbak Murniiiiii," sapa seseorang yang sudah tidak asing lagi bagiku. Lingkar mata pandanya, senyum, serta suaranya. Seseorang yang instagramstories-nya selalu muncul paling depan di berandaku, seseorang yang sejujurnya memberiku secuil semangat untuk terus mencintai pekerjaanku. Widya Amelia.
"Eh, gitu ya, suka nongol duluan langsung ke dapur, tahu aja mana tempat yang banyak makanannya," balas Tante Murni, langsung cium pipi kanan, cium pipi kiri.
"Eike laper, dipaksa nulis terus, berita terus, liputan lagi," bisik Mbak Wid membuatku tertawa.
Tante Murni menggeleng. "Eh iya, kenalin, ponakanku. Wartawan PSSI, katakanlah begitu. Mirip-miriplah kerjaannya sama kamu, Wid."
Aku mengajukan tanganku, berjabat tangan. "Dira, Mbak."
"Widya. Eh, di PSSI liputan enak ya? Nggak tahan aku di PBSI, bukan sama kerjaannya, sama atletnya. Usil banget, atlet bola gitu nggak sih?"
Ini di luar dugaanku, Mbak Wid ternyata ramah dan cepat membuka komunikasi yang menyenangkan. Selama ini hanya melihat sekelebat statusnya untuk sekedar update berita terbaru perihal bulu tangkis.
"Wid, Wid, lebih enak kamu di PBSI, di PSSI banyak tekanan. Kamu tahu sendiri masalah di PSSI semacam apa." Om Abdul menyahut, beliau hendak mengambil beberapa hidangan untuk dibawa ke depan.
"Di PBSI kan banyak tekanan juga, Mas." Mbak Wid membalas.
Aku tertawa kecil. "Jangan deh, Mbak. Lebih enak Mbak Wid, tekanannya dari suporter nggak banyak juga."
"Ihhh, siapa bilang, Dik? Ada aja yang bilang aku pansos, aku ini, itu. Sama aja."
"Tapi kan sebatas itu, Mbak. Aku lebih dari itu, masalahnya setiap kali pimpinan yang buat salah, aku pun turut dihujat mati-matian. Bahkan sempat di-speak up kan, soal mafia bola. Aku tuh tugasnya cuma urusan liputan sama website. Bisa-bisanya ada yang bilang aku ikut ngatur skor, ikut ngatur mafia buat ketemu sama wasitnya. Kan gimana juga, Mbak. Nggak ngurus urusan itu, orang aku liputan juga yang diliput Timnas, bukan klub. Bisa-bisanya disangkutkan kaya gitu. Berat, Mbak Wid. Sudah, nggak usah minat, Mbak," kataku seolah menemukan kotak tepat untuk curhat.
Mbak Wid diam sejenak. "Ya tapi tuh si atlet-atlet suka jahil. Kalau sepak bola gitu juga nggak? Udah ngikutin ke mana aja kemarin?"
"Ke Vietnam terakhir, FIFA matchday, Mbak. Semacam uji coba internasional gitu. Buat naikin ranking. Tapi kalau jahil sih, ya melihat instagramstories Mbak Wid. Rasanya aku lebih sedikit beruntung. Ya, sedikit aja sih. Cuma ya gitu, paling yang berani agak jahil itu anak Timnas U-20 atau U-23. Kalau U-16 tuh pada sungkan, jadi menghormati banget. Kalau senior, beuh, jangan ditanya, Mbak Wid. Sombong," keluhku lagi.
"Sombong gimana? Oke, sedikit lebih beruntung ya gue ya? Eh nggak apa-apa kan gue-elo?" Menyombongkan dirinya.
"Makanya, Mbak Wid lebih beruntung. Nggak apa-apa sih, Mbak, santai."
"Eh sombong gimana? kayanya kalem saja."
"Nggak semua sih, sebagian. Sombongnya tuh pas harus liputan dan wawancara, Ya Allah, Mbak. Itu bisa diulur-ulur waktunya, pernah aku nggak pulang ke kos karena si atlet minta wawancara subuh. Sementara malem aku harus bikin konten buat YouTube sama anak U-20. Baru kapan itu. Pernah juga, aku harus wawancara di tengah dia kencan sama tunangannya di cafe. Setiap pertanyaanku harus disela sama omongan tunangannya. Masih banyak lagi."
Mbak Wid yang awalnya berdiri langsung menarik kursi makan, duduk di depanku yang masih memilah beberapa buah untuk diletakkan di dalam keranjang buah. "Seru nih. Emang nggak bisa lewat WhatsApp. Hendra Setiawan yang kelas dunia aja mau kok. Cuma ya gue harus agak baik-baik gitu, agak sok sopan gitu, cara ngomong gue juga manis. Tetep mau."
"Nggak mau, Mbak Wid. Aku pernah nih ya, WhatsApp pemain senior, ngasih kabar aja kalau besok aku harus wawancara dia, dia pemain kunci lah di dalam pertandingan itu besok. Dia bilang nggak ada waktu, padahal aku juga pegang rundown latihan, Mbak. Aku kasih tahu dong besok kan latihan sore, jadi siangnya bisa ketemu. Aku mau ke hotelnya dia, padahal jauh dari hotel yang aku tempatin karena aku juga habis liputan sama anak U-23. Tiba-tiba dia bilang, nggak bisa siang, dia ada jadwal ketemu sama orang yang nge-endorse dia. Aku masih ngasih solusi, habis itu bisa, cuma sebentar."
"Terus-terus?"
"Serius banget sih?" Tante Murni yang baru saja dari depan sedikit mengganggu.
"Diem dulu, Mbak, curhatan kaum-kaum teraniaya ini. Demi sebuah konten. Lanjut!"
"Ya, karena dia ngotot nggak bisa, Mbak. Aku mikir lama, akhirnya aku tawarin wawancara lewat WhatsApp. Kan enak di aku, enak juga di dia. Coba dia jawab apa, Mbak? Bilang gini, 'Tidak sopan sekali kamu. Toh itu memang kerjaanmu begitu, cari caralah gimana biar kamu bisa wawancara saya!', Mbak, pengen mati aja nggak sih?"
"Wah gila."
"Ada apa nih? Rame amat suara lo, Mbak?" tanya seorang laki-laki dengan kaos merah maroon, celana training merk ternama berawalan huruf A yang kujamin itu produk original, serta brewok tipisny.
Aku langsung menyembunyikan wajahku di balik menja makan dan tumpukan keranjang buah.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Mbak Wid.
"Ngapain lagi kalau bukan minta makan gratis."
"Ya Allah, Jar, Jar. Lo tuh duit udah segambreng masih niat banget nyari makan gratis?"
"Ya kalau ada yang gratis ngapain harus bayar?"
Benar, kudengar hari ini atlet bulu tangkis hanya latihan setengah hari. Makanya si Fajar Alfian ini malam-malam bisa sampai ke rumah Om Abdul.
"Sama siapa aja lo?"
"Sama anak MD lah, semua. Lagian emang diajak Mas Abdul kok. Kan anak WS, MS, sama XD lagi pada ada acara masing-masing team. Anak MD doang ngenes di asrama."
Semua anak Men's Double? Ada Hendra Setiawan berarti kan?
"Eh Hendra Setiawan ada nggak?" tanyaku keluar dari persembunyian tanpa berpikir terlebih dahulu.
Fajar dan Mbak Wid menoleh padaku.
"Eh, lo, kamu, eh apa sih. Pokoknya, lo yang ngelihatin kita terus kan, yang pas di mobil tadi? Itu di lampu merah ujung sono tuh. Iya, kan?" ujar Fajar membuatku menelan lidah. Dia masih ingat.
"Bu, bukan, Mas salah orang kali," elakku. Malu setengah mati ketahuan memperhatikan atlet dengan cukup lama.
"Ih iya nih pasti. Kenapa? Terpikat sama salah satu dari kita? Noh terpikat aja sama si Jom. Masih jomlo dia, kalau gue kan ya, udah punya gebetan. Kevin juga, Koh Marcus apalagi udah punya istri."
Kedua alisku bergerak ke atas. Kalimatnya sungguh merendahkanku dan sangat meninggikan dirinya. "Kebetulan nggak minat sama semuanya!"
"Ishhh, wartawan PSSI nih, ponakannya Mas Abdul. Main nyerocos aja lo. Lagian ngapain sih anak cowok ke dapur?" Mbak Wid berusaha mendorong Fajar pergi.
"Wartawan PSSI? Buset, nggak pusing dia. Eh, lupa, gue disuruh ambil buah."
Dengan wajah kecewa dan marah, aku menyerahkan beberapa buah yang sudah aku cuci dan sudah ada di dalam beberapa keranjang. Tanpa maaf, tanpa apapun, Fajar pergi begitu saja. Kesal kan pastinya?
"Lo nggak usah dengerin dia deh, emang mulutnya ancur."
"Nggak apa-apa kok, Mbak. Mungkin bercanda doang." Padahal aku menahan kesal.
"Ya, anak MD emang mulutnya lebih racun."
Aku tersenyum saja.
"Oh iya, kayanya seru nih ngobrol banyak sama lo soal drama-drama wawancara dan liputan. Kapan-kapan ketemu dong di mana gitu. Syukur-syukur kita bisa ketemu di ajang multievent. Sea Games paling dekat ya? tapi gue nggak ditugasin."
"Yah, nggak bisa. Aku terus sih, Mbak. Kalau nggak bentrok sama kelompok usia yang lain. Asian Games (AG) mungkin, Mbak. Tapi masih tahun depan, entah berapa purnama tuh. Ha-ha."
"Kemungkinan kalau AG, gue berangkat. Ya semoga aja bisa, jadi kita bisa satu hotel syukur-syukur, terus kongkow-kongkow kita."
Aku tertawa kecil. "Ha-ha, lain kali kalau ada liputan di Istora, mampir ke kantor, Mbak. Aku traktir deh."
"Ha-ha. Boleh, boleh. Eh, btw gue pengen tahu juga, kenapa lo ngelihatin mereka di dalam mobil? Gue tahu tadi habis latihan, empat orang ya itulah, mau makan di luar katanya."
"Ya, habisnya kaca mobil dibuka semua, Mbak. Terus mereka ngobrolin banci di dalam. Lah aku denger banget, orang keras banget."
"Emang sih mereka. Itu mobil juga boleh pinjem. Eh, tapi makasih udah ngobrol seru ya? Boleh tukar nomor?"
Aku langsung mengangguk. Sayangnya obrolan kami terputus sebab Mbak Wid harus bergabung di depan. Sementara aku memilih tiduran di kamar, tidak nyaman mau ikut bergabung dengan orang-orang yang tidak mengenalku. Lagi pun kalau dipaksa aku tetap tidak mau, wajahku sudah dihafal sama Fajar Alfian, sudah ditandai kupikir.
•••
Bersambung...
Follow
IG/Twitter: @artileryca
Login untuk melihat komentar!