Jungkir Balik Asian Games 2022

Hangzhou, Zhejiang, Tiongkok 2022. Satu jam menjelang pembukaan perhelatan kejuaraan multievent se-Asia. Tanggal 10 September 2022 tepatnya. Apalagi kalau bukan Asian Games ke 19, yang akan dilaksanakan selama 15, tapi aku sudah di sini sejak 5 hari yang lalu. Selain karena harus bertanding lebih dulu, tim sepak bola datang lebih awal agar dapat menyesuaikan cuaca di Tiongkok.

Di saat semua awak media berhamburan keluar hotel menuju ke arena pembukaan Asian Games ke XIX, aku hanya diam menatap keluar jendela di kamar hotelku nomor 421. Aku tidak diharuskan ikut meliput, sementara para pemain sepak bola juga tidak turut serta dalam parade upacara pembukaan Asian Games, mewakili Indonesia. Katanya, nanti bisa berbagi foto dengan pemilik hak siar di Indonesia, salah satu televisi swasta  nasional ternama. Sekarang aku tak ubahnya wanita kesepian yang menunggu teman, sekedar mengobrol dan menyesap secangkir kopi, menikmati bulan meski orang bilang kopi paling pas untuk menikmati senja.

Andaikan juga, aku dan para pemain sepak bola itu ada di dalam satu hotel yang sama, aku akan sangat bersyukur sekali. Tetapi tuan rumah menyediakan hotel sendiri khusus untuk para awak media dari seluruh negara yang turut serta. Dari Indonesia, awak media yang didaftarkan cukup banyak, terutama dari cabang olahraga yang memiliki wartawan khusus serta mempunyai banyak biaya untuk datang ke Tiongkok. Bersyukur, salah satunya aku. Awalnya aku dikabarkan tidak berangkat, tetapi karena Sang Ketua Umum PSSI menyarankan agar wartawan khusus PSSI diberangkatkan, aku lah yang berangkat. Para senior enggan sebab katanya melelahkan, mereka dengan sombongnya juga mengatakan bahwa mereka sudah biasa mengikuti Timnas ke mana pun Timnas berlaga, sudah bosan.

Kling...

Dering ponselku yang tergeletak di atas bantal membangunkan lamunanku atas kerlap-kerlip lampu kota Hangzhou. Sebuah panggilan video dari Bagus Kahfi. 

"Kenapa?" tanyaku sembari membenarkan kerudung yang kuikat asal, tidak memakai peniti satu pun.

"Rindu..." keluhnya padahal hotel kami hanya berjarak seratus meter dan tadi sore kami pun bertemu.

Dalam perhelatan kali ini, pemain yang dikirim rata-rata baru 20-21 tahun, dengan kombinasi pemain senior 3 orang. Tak sulit juga menghadapi mereka untuk wawancara.

"Alah, sok rindu."

"He-he. Mau wawancara aku nggak, Mbak?"

"Nggak. Nggak penting."

"Songong nih, lihat aja ya, besok aku nggak mau diwawancara."

"Besok wawancara Evan Dimas, welk!" ejekku menjulurkan lidah. 

Bagus nampak kecewa. "Sebenarnya aku cuma rindu gangguin Mbak Dira lagi ngetik berita sih. Ha-ha."

"Kurang ajar emang."

"Mbak, Kevin Sanjaya baru saja datang nih. Satu hotel sama aku, pengen ngajak foto bareng tapi gimana, takut ditolak, tadi aku ketemu di lobi hotel."

Jika Kevin Sanjaya sudah datang, itu artinya Mbak Wid juga sudah datang. Kemarin dia menghubungiku, katanya dia ditugaskan untuk Asian Games. Setelah banyak drama yang tayang di Cipayung. Aku langsung menutup panggilan video dari Bagus, bergegas menelepon Mbak Wid. Sudah pasti kita akan satu hotel.

"Mbak Wid, di mana?" tanyaku di dalam panggilann video dan Mbak Wid langsung berteriak seadaanya. Terlihat ada tangan jahil yang tiba-tiba mendorong Mbak Wid, sampai bergoyang layarnya.

"Jom!" bentaknya, membuatku mengerti itu tangan seorang Rian Ardianto.

"Mbak Wid, lebay!" Kevin Sanjaya dari belakang Mbak Wid pun ikut mengganggu. "Eh, siapa sih ini?" Sedikit mendorong kepala Mbak Wid menyingkir.

"Jangan, jatuh cinta lo ntar, bisa berabe!" Mbak Wid menutup kamera depannya. 

"Yaelah, kirain fans gue gitu lho, Mbak. Kan ada tuh biasanya yang videocall Mbak Wid cuma buat lihat ketampananku."

Aku tertawa. 

"Dir, banyak orang rese nih. Nanti aja gue hubungin ya? Gue masih nemenin Cik Vita ngurusin mereka."

Berakhirlah panggilan video itu dengan sesuatu yang tidak aku harapkan, aku berharap bertemu, kenyataanya tidak. Bahkan hingga pagi menjelang, karena semalam aku ketiduran meski Mbak Wid meneleponku puluhan kali, aku tidak terbangun. Memang aku tak berbeda jauh dengan kerbau jika sedang tidur. Kami hanya bertemu singkat ketika sarapan pagi, setelah itu aku harus pergi mengikuti sesi latihan pemain Timnas Sepak Bola. Mbak Wid pun kabarnya hendak mengikuti atlet bulu tangkis melakukan uji coba lapangan.

Aku berjalan cepat menuju hotel para pemain, benar-benar masih jam sarapan pagi. Tapi aku harus bersama mereka sebelum mereka selesai sarapan, jika tidak, aku bisa ketinggalan transportasi untuk menuju lapangan tempat latihan akan digelar. Sebenarnya, aku juga belum cukup kenyang, makanya aku membungkus beberapa makanan penutup yang bisa aku bungkus. Real life seorang wartawan katanya. 

Langkah kakiku menari di sepanjang jalur pejalan kaki, menyibak keramaian Tiongkok, langkah cepat atau katakan saja setengah berlari. Hingga sampai di pelataran hotel, aku menabrak dada bidang seseorang, cukup keras sampai aku hampir terjatuh, untung saja kedua tangan orang yang aku tabrak menahan tubuhku.Namun sialnya, ponsel orang yang kutabrak terlempar cukup jauh, ditangkap oleh kerasnya beton, terinjak oleh kaki jenjang atlet asal Uni Emirat Arab, dan layarnya terlihat retak. Aku menunduk dan memohon maaf dengan bahasa Inggris, sebelum akhirnya aku tahu, Muhammad Rian Ardianto yang dadanya aku tabrak  semacam banteng menyeruduk lawannya. 

"Yah, Jom, rusak gawaimu, Jom." Fajar Alfian memungut gawai pintar milik Rian Ardianto.

"Aduh, maaf ya, Mas. Maaf," ucapku menangkupkan kedua tangan dan memasang wajah memelas, berharap betul dimaafkan.

"Masih bisa hidup nggak, Jar?" tanya Rian pada partner-nya. 

"Masih sih, tapi kan retak ini, Jom."

"Maaf, Mas. Saya nggak sengaja."

"Ya, jangan maaf doang dong. Ganti!" ketus Fajar. "Eh, lo ponakannya Mas Abdul kan? Wah, lo songong lagi orangnya. Masa di-follow nggak di-follback."

Dahiku mengernyit, yang rusak gawai pintarnya Rian, tapi dia yang sewot. 

"Mbak Dira, ayo!" seru Bagus dan Zico saat melewatiku.

"Aduh, sekali lagi saya minta maaf, Mas. Kalau memang harus mengganti, saya ganti, nanti kita bisa komunikasi lewat Mbak Wid, maaf banget ya, Mas?" kataku langsung pergi begitu saja. Aku tahu itu sangat tidak sopan sekali, tapi semua pemain Timnas sudah masuk ke dalam bus. Akan lebih parah jika aku ketinggalan bus, uang sakuku di sini bisa semakin menipis, dan tidak ada uang untuk mengganti ponselnya yang tidak biasa itu.

"Woy, ganti rugi lo ya!" teriak Fajar sampai orang-orang Tiongkok yang lewat menatapnya aneh.

Aku duduk tepat di belakang sopir bus. Hanya itu tempat duduk yang kosong. Kepalaku langsung migren. 

"Kenapa sih, Mbak?" tanya Zico dari jok belakangku. 

"Gila, ngerusakin gawainya Rian Ardianto, hua!" jawabku sedikit berakting seolah menangis tanpa air mata, tapi hatiku benar-benar menangis, apalagi ATM-ku.

"Kok bisa, Dir?" tanya Coach Indra Sjafri, asisten pelatih Timnas saat ini.

"Tadi buru-buru, Coach. Takut ketinggalan bus, malah nabrak," jelasku.

"Makanya, Mbak, kalau jalan itu pakai kaki disempurnakan dengan penglihatan. Ha-ha," ejek Bagus di belakang sana.

"Lagian, atlet kelas dunia kaya Rian Ardianto ngapain sih minta ganti? Dia tinggal kedip doang juga kebeli itu gawai terbaru," seru Ernando Ari.

"Emang Rian Ardianto siapa?" tanya David Maulana, mantan Kapten Timnas U-20 tahun lalu.

Semua yang mengetahui siapa seorang Muhammad Rian Ardianto langsung menepuk jidatnya. Memang di bulu tangkis, yang paling banyak orang awam tahu ya Kevin dan Marcus, pelapisnya jika bukan orang yang benar-benar mengikuti bulu tangkis, mungkin tidak mengenal. Hebatnya, meski hanya pelapis, tetapi masuk ke dalam 5 besar peringkat dunia dalam BWF World Tour.  Penghasilannya sudah lebih dari para atlet sepak bola.

Hari ini juga aku langsung menghubungi Mbak Wid, menceritakan semuanya melalui pesan suara saat masih dalam perjalanan ke lapangan. Mbak Wid memberiku saran agar tidak usah diganti saja, kita-kita ini kamu miskin, sementara Rian Ardianto itu kaum-kaum elit, mereka bisa beli gawai lagi dengan mudah. Apalagi kalau yang meminta mengganti bukan Rian, lebih baik tidak usah. Tetapi aku katakan tidak enak, aku harus menggantinya. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dengan sangat aneh dari Mbak Wid.

Mbak Wid Ciumbrella
Ini gue, Rian.
Kagak usah diganti nggak apa-apa.
Asalkan lo mau jadi pacar gue.
Kalau lo nolak, gantiin gawai gue dua kali lipat.

Pesan singkat itu sangat aneh tetapi berhasil membuatku salah tingkah. Aku sampai mengirim pesan beruntun pada Mbak Wid untuk tidak bersikap jahil padaku. Tapi Mbak Wid tidak membalas apa pun, malah nomor ponselku di blokir sesaat setelah dia mengirim lagi sebuah kontak atas nama Rian Ardianto.

Duniaku yang jungkir balik setiap waktu ternyata baru akan dimulai.

•••
Bersambung...
Follow IG/Twitter
@artileryca



Komentar

Login untuk melihat komentar!