Ini hari liburku, dua hari saja. Cukup waktu untuk main ke rumah Om Abdul, tapi tidak cukup waktu untuk pulang ke Magelang. Mumpung PSSI berbaik hati mengizinkan aku untuk libur karena empat hari lagi Piala Dunia U-20 akan dimulai, kebetulan Timnas Indonesia mendapat lapangan nan jauh di mata, di Stadion Kapten I Wayan Dipta, sehari sebelum pertandingan aku harus sudah sampai di sana. Beruntung sih bagiku, sebab bisa stadium tour di stadiun terbaik versi seorang Andira Farida. Kerja sekaligus menikmati fasilitas kekinian ala Bali United.
Jika ditanya klub mana yang baik, aku tetap memilih Bali United, meskipun aku sebenarnya lebih suka PS Sleman. Manajemen yang lebih sehat dibandingkan yang lain, tata kelola stadion yang begitu luar biasa, serta pengelolaan media yang mengikuti perkenbangan zaman, bisnis yang dikelola juga mengikuti era ekonomi 4.0. Sudah tidak sabar rasanya ingin segera mengunjungi Bali United Mega Store, Bali United Cafe, room tour ke ruang ganti, atau bahkan bisa bermain di Bali United Play Land. Klub pertama pula yang berani menjual sahamnya di pasar saham atau IPO. Bayangkanku sudah bermacam-macam padahal kenyataannya nanti di sana pasti jauh lebih buruk.
"Dira, ke Bali nanti enak dong kerja sambil liburan," seru Tante Murni sedang menyiapkan sarapan pagi untukku dan putranya Arsya. Sebelum beliau berangkat kerja. Aku memang datang terlalu pagi, sengaja, takut terjebak macet.
Aku tertawa. "Nggak ada kaya gitu, Tan. Tapi lihat stadionnya aja sudah berasa liburan kok, Tan."
"Berat hidupnya di PSSI, ke Cipayung ini saja bagaikan liburan ke Europe dia," celetuk Om Abdul yang juga tengah bersiap untuk berangkat ke kantor PBSI.
"Seberat itu?"
"Iya, setiap hari ikut dihujat dan dicaci maki, padahal yang berulah petinggi PSSI. Ya, meskipun semua federasi itu pasti punya masalah, baik PSSI, PBSI, Perbasi, PASI, PRSI, PBVSI, semuanya lah, semua pasti punya masalah, kekurangan dan kelebihan. Apesnya yang paling parah masalahnya memang PSSI. Suporter yang kurang edukasi juga paling parah di sepak bola, pengurus paling parah juga begitu, permainan yang paling dianggap merakyat tapi prestasinya memang kesulitan, kasus mafia terbongkar juga di sepak bola. PSSI yang sedang mengalami krisis pujian di antara semua federasi yang ada, meskipun semua pastinya punya masalah. Nah Dira ini, Ma, yang hanya karyawan tapi ikut juga dihujat habis-habisan, padahal tidak bisa campur tangan untuk keputusan yang dibuat jajaran pengurus maupun Exco PSSI."
Aku menghela napas panjang. Om Abdul paham betul kondisiku, sebab lebaran tahun kemarin, ayahku banyak bercerita tentang keadaanku sebagai pegawai PSSI padanya. Sementara tempatku berbagi hanya pada Allah Swt. dan Ayah.
"Setiap kali pulang atau bertemu suporter di jalan yang kenal dengannya, pasti menyampaikan hujatannya pada PSSI lewat Dira. Terkadang seolah-olah Dira juga salah."
Tante Murni menatapku kasian. "Kamu kok ya betah sih? Pa, memang tidak ada kekosongan di PBSI. Pindah saja lah."
"Tidak mau dia. Kukuh sekali. Mumpung ada yang kosong, kalau besok keisi, nyesel pasti."
"He-he. Kata orang sih gini, Om, Tan. Work on what you love, what you make is important. And I love my job."
Om Abdul dan Tante Murni menghela napas kompak.
"Ma, Arsya diantar Mbak Dira ya?" tanya Arsya.
"Eh, sekalian aja sama Mama. Mbak Dira masih capek, nanti aja deh ya pulangnya biar dijemput Mbak Dira."
Arsya nampak kecewa tapi akhirnya dia mengangguk-angguk setuju. Memang masih capek rasanya, belum sempat tidur karena harus menyelesaikan perkara berita sampai jam 02.00 dini hari.
"Kamu tidur saja dulu habis sarapan. Dari tadi menguap terus," tegur Om Abdul yang sedang menyantap sarapan paginya.
"Iya, Om."
"Eh, kamu sudah bilang ayahmu kalau mau ke rumah, Om?"
"Sudah, Om."
"Sudah bilang juga kalau mau cari jodoh di pelatnas bulu tangkis?"
"Ha-ha. Apaan sih, Om."
"Siapa tahu. Kan kamu sudah 25 tahun kan, tahun ini. Sudah waktunya, menunggu apa lagi? Kamu kan perempuan."
"Masih menunggu jodoh lah, Om. Menunggu apalagi." Terkekeh dibuatnya.
"Memangnya nggak ada pemain bola itu yang mau sama kamu?" Tante Murni menuangkan susu untuk Arsya.
Aku tertawa. "Nggak ada lah, Dira lumayan deketnya sama anak U-23, U-20 dan U-16, Tante. Mana ada yang mau. Habis yang senior suka sombong."
"Ke Pelatnas PBSI aja, banyak yang jomlo. Kevin, Jojo, Fajar, Rian...."
"Dira maunya Hendra Setiawan, Om."
"Heh! Udah punya istri." Tante Murni memukul lenganku dengan kemasan susu UHT.
"Kali aja Cik Sansan ngikhlasin, Tan."
"Heh!"
Om Abdul hanya terkekeh. Tante Murni memang seperti Ibu, kalau aku, ayah, atau Om Abdul bercanda keterlaluan, dianggapnya seriusan.
"Dari dulu idolamu itu yang tua-tua, padahal anak zaman sekarang sukanya yang lepas baju perut kotak-kotak," seloroh Om Abdul.
"Ha-ha. Dira mah kalau nge-fans sama yang legend, Om. Taufik Hidayat, tapi agak kecewa tuh ada kasus sama Pak Imam, nggak tahu gimana sekarang ya, habis ada dugaan kasus itu Dira kecewa jadi nggak mau ngikutin. Liliyana Natsir, Hendra Setiawan, Markis Kido, Tony Gunawan, Candra Wijaya. Ya, pokoknya yang sudah legend lah, karirnya sudah panjang. Kalau yang muda-muda begini mah, jalannya masih panjang, usaha jadi legend aja dulu."
"Padahal Minions bagus," timpal Tante Murni.
"Ah, kalau main bikin jantung Dira mau lari. Tapi tetep ditonton nggak mau ketinggalan."
Sebenarnya mau melihat siapapun, pasti jantung tidak aman. Apalagi kalau sudah sampai semifinal dan final, sudah begitu saling mengejar angka, belum lagi jika harus rubber, di set terakhir deuce lagi. Jantung macam meronta-ronta. Tetapi khusus untukku, jika melihat The Minions tampil, rasanya ingin mati saja. Kecepatan permainan, kerasnya smash yang bisa saja eror, ditambah lagi dengan tengilnya Kevin, sudahlah, mati saja aku ini. Yang pikiran takut mereka terpancing permainan lawan, takut digempur lawan, takut Kevin tidak bisa sabar dengan sikap tengilnya, sampai takut kena kartu merah karena baku hantam di lapangan, ada-ada saja. Padahal mereka yang main santai, tetapi imajinasiku sampai sejauh itu kalau melihat mereka tampil. Sebenarnya juga, semua pemain bisa mengalami keadaan semacam itu. Entah lah, selalu panik kalau lihat The Minions, selalu sedikit lebih damai kalau lihat The Daddies.
"Tapi kan bagus, peringkat satu dunia lagi."
"Tetep legend The Daddies."
"Lihat aja, 10 tahun lagi. Eh, tapi itu Susi Susanti sama Alan Budikusuma juga legend, nggak nge-fans?"
"Beliau-beliau main kan Dira belum lahir, Om. Jadi nggak tahu. Ya, nggak nge-fans bukan berarti nggak tahu prestasinya dan nggak menghargai juga kan, Om? Tetep dukung kok, kalau nggak dukung mah nggak rela buang-buang kuota buat live streaming."
"Pa, ngobrol terus. Telat ini," seru Tante Murni membawakan tas ransel hitam untuk Om Abdul dan tas ranselnya sendiri.
Tante Murni bekerja di salah satu perusahaan besar di daerah Cipayung, sebagai HRD perusahaan.
"Iya, Mama duluan aja. Dekat ini. Arsya berangkat, Nak!"
Arsya dan Tante Murni mencium punggung telapak tangan Om Abdul, lalu berpamitan denganku.
"Mbak Dira, nanti jemput ya?"
"Siap, bosku."
"Eh, main-main ke pelatnas. Siapa tahu ada atlet bulu tangkis mau sama kamu," seloroh Om Abdul.
"Merem kali dia, Om. Banyak cewek cantik di luaran sana."
"Ah, kamu juga cantik. Siapa yang bilang kamu nggak cantik?"
"Mantanku pernah bilang gitu."
"Yang dulu di Akmil itu?"
Aku mengangguk.
"Merem kali dia!"
"Ha-ha."
Dulu, ya, dulu sekali aku pernah mendengar itu. Taruna tingkat dua di Akmil itu memutuskanku karena aku tidak cantik. Dibandingkan selingkuhannya yang pintar dandan dan memakai gincu. Mau bagaimana lagi, masa kuliah aku belum tahu caranya dandan.
•••
Pukul 11.27 WIB Tante Murni meneleponku, padahal tidurku sedang nyenyak-nyenyaknya. Beliau bilang Arsya pulang lebih cepat dari biasanya. Biasanya, anak sepupuku paling kecil ini pulang jam 16.00 WIB. Tidak melulu soal pelajaran selama itu di sekolah untuk anak kelas 2 SD, tetapi juga tambahan pengembangan minat dan bakat. Sebenarnya alibi kedua orang tuanya saja, karena tidak bisa menjemput di bawah jam 16.00 WIB.
Berbekal google maps, aku menuju ke sekolah Arsya, mungkin 1,5 kilometer dari rumah dengan motor matic, melawan kemacetan yang untungnya masih bisa bergerak. Hingga tiba di lampu merah, aku mendapati pemandangan yang mungkin orang lain inginkan. Empat manusia yang tengah digilai banyak pecinta bulu tangkis di tanah air ada tepat di sebelahku.
"Ha-ha. Ya lo yang bego, ngapain godain banci, Jar, Jar. Giliran disentuh dikit kejang lo kaya cacing disiram air rendaman cucian." Si Sopir dalam mobil hitam ini tentu dikenal banyak orang, pagi ini bahkan sudah kami bicarakan. Siapa lagi kalau bukan Kevin Sanjaya Sukamuljo. Bagaimana aku tahu dan mendengar jelas percakapan di dalam mobil? Jelas karena aku benar-benar mepet di sebelah kanan mobilnya, dan kedua kaca mobil terbuka lebar, sangat lebar, dengan posisi tangan kanan kevin ada di bagian pintunya.
Mereka memang katrok atau mobil ini AC-nya mati makanya dibuka selebar itu?
"Lucu aja, Vin. Tuh tubuhnya lentur banget kaya bolpoin Inul, tahu nggak lo? Itu yang zaman kita masih kecil, ada bolpoin yang warna-warni, ditekuk-tekuk sesuka hati."

(Untuk yang tidakk tahu bolpoin Inul)
"Ha-ha, gue tahu, gue tahu," semua berseru cepat kecuali yang ada di jok depan sebelah kiri kemudi. Iya, si Rian Ardianto hanya tersenyum saja.
"Gue geli aja sama kemolekannya ala binaragawan, tapi ngondek betul orangnya. Gue godain beneran malah gue yang kena pelecehan seksual, kurang ajar emang. Gila zaman edan ini. Mana Koh Marcus diem aja." Fajar menyahut sembari membuang mukanya tepat ke arahku yang sedang melihat ke dalam mobil.
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke depan.
"Ha-ha. Masih inget istri gue di rumah, masih cantikan istri gue soalnya," balas Marcus Gideon, tadi sih posisinya di jok belakang, dekat dengan Fajar.
Lampu sudah kuning, sebentar lagi hijau, harus siap-siap tancap gas, ketahuan sedang menikmati pemandangan tawa para atlet diam-diam itu memalukan sekali. Aku berharap Fajar tidak mengingat tampangku.
"Mbak Dira, mampir ke kantor Papa ya?" pinta Arsya begitu dia keluar dari gerbang dan memakai helm kecilnya.
Mampir? Bagaimana jika nanti bertemu dengan Fajar Alfian? Malu, belum lama dia menatapku tadi.
"Nggak usah lah, nanti mengganggu kerjaan papa gimana?"
"Nggak apa-apa, Mbak. Biasanya itu, em, kalau Bu Guru bilang pulang pagi, Arsya juga ikut ke kantor Papa. Main sama Mbak Wid, sama Mas Rian, sama Koh Kevin."
"Ya, itu karena tidak ada orang di rumah kan? Sekarang kan ada di rumah sama Mbak Dira, lagi pula, Mbak Wid sibuk tahu."
Arsya memanyunkan bibirnya dan tidak berhenti merengek. Bahkan di sepanjang jalan, sampai mengancam akan menjerit-jerit dan menangis sekencang-kencangnya. Memang lah Arsya ini sepupuku sekali, persis denganku, merengek terus sampai kemauanku dikabulkan.
Akhirnya aku menuruti apa yang dia minta dengan syarat ganti baju dulu baru ke pelatnas Cipayung. Di Cipayung, yang aku lihat pertama kali adalah Fajar Alfian sedang memainkan holahop bersama Kevin dan Rian di teras sebuah gedung. Aku langsung menghindar, melewati jalan lain, padahal aku tidak paham bagaimana bentuk PBSI ini.
Untungnya, aku bisa menghindar meskipun kesannya terlalu percaya diri sekali si Fajar akan mengingatku. Tapi kata orang kan lebih baik mencegah. Lebih beruntung lagi Om Abdul meminta Arsya pulang, sebab Om Abdul harus mengadakan rapat dengan rekan kerjanya. Walaupun sebenarnya kesempatan yang bagus bisa di Pelatnas PBSI, bisa bertemu dengan Hendra Setiawan, bisa minta tanda tangan, akan sangat baik jika aku juga bisa memperkenalkan diri. Sayang seribu sayang tapi juga untung seribu untung.
•••
Bersambung...
Follow
IG/Twitter: @artileryca
Login untuk melihat komentar!