Semenjak di usir dari rumah kedua orang tuaku, kami memang akhirnya pulang ke rumah keluarga Bang Herman. Awalnya kami menumpang di rumah ibunya. Tetapi entah karena alasan apa, Bang Herman akhirnya memutuskan mengontrak rumah Kak Nilam yang terletak di seberang jalan.
Waktu itu aku yang tengah hamil sempat protes, tetapi Bang Herman bilang dia tidak ingin merepotkan ibunya. Padahal sebagai wanita hamil aku sangat butuh bantuan seorang ibu. Wanita lebih senior yang pernah mengandung juga.
"Jangan manja! Kamu bisa urus kebutuhan kamu sendiri. Memangnya ibuku pembantumu, kok harus melayanimu ini dan itu!" hardik Bang Herman padaku saat aku mengutarakan pertimbangan mengapa sebaiknya kami menumpang di rumah ibunya.
"Aku manja bagaimana maksud Abang? Pagi aku sudah bangun dan mencuci piring. Kusiapkan teh hangat dan sarapan, kemudian aku berlanjut menyapu seluruh bagian dalam rumah hingga halaman!" tegasku kesal.
"Mila, kamu jangan banyak protes deh sama suami. Apapun yang suami bilang, istri itu harus nurut sama suami! Ingat ridho Allah itu ridho suami! Kalau mau masuk surga, kamu cukup patuh pada apapun titah suamimu!" hardik Bang Herman terus mendoktrinku dengan pemahaman agamanya yang setengah-setengah itu.
"Bang, aku--"
"Sudah jangan banyak berdebat! Aku mau pergi cari uang dulu. Kamu ini memang selalu ribet dan merepotkan. Enggak kamu enggak keluargamu, semuanya sama-sama bikin susah!" potong Bang Herman waktu itu lalu beranjak pergi.
***
Sudah dua hari suamiku tak ada kabar. Aku berusaha mengirim pesan pada teman-temannya untuk menanyakan. Tetapi semuanya tak memberi jawaban yang memuaskan. Hingga kudatangi tenpatnya mangkal, aku juga masih belum bisa mendapatkan informasi.
"Iya Mbak Mila, aku belum lihat Bang Herman sudah dua hari. Ke mana ya?" tanya salah satu teman ngojeknya yang suka mangkal di pangkalan ojek.
Bang Herman memang mengojek, ojek online maupun offline. Ada beberapa aplikasi yang dia punya untuk melakoni pekerjaannya. Itulah kenapa dulu uang bekal tabunganku yang diam-diam aku bawa dari rumah akhirnya kami belika telepon pintar yang lebih canggih. Handphone Bang Herman aku pakai, sementara ia membeli handphone baru untuk fasilitas bekerjanya.
"Senin malam aku lihat dia masih berangkat ngambil orderan kok. Sekitar jam sebelas malam kayaknya. Katanya terakhir sebelum pulang," sahut temannya yang lain.
Ada lima orang di pangkalan ojek dekat toko kelontong Bu Odah. Di kampung kami tukang ojek online dan offline memang mangkal di tempat yang sama. Mereka tidak saling bermusuhan dan malah suka berbagi informasi.
"Ya udah, Mas, Kak, Bang. Kalau gitu aku pamit dulu. Minta tolong kalau ada kabar dari Bang Herman aku dikasih tahu ya. Ini nomor handphoneku," pamitku akhirnya setelah tidak mendapat jawaban yang berarti.
Aku berjalan dengan langkah gontai menuju toko kelontong milik Bu Odah. Wajahku sedih dan kecewa suamiku hilang tak tahu ke mana.
"Gimana, Neng Kamila? Ada kabar dari si Herman?" tanya Bu Odah dengan wajah penasaran. Rafli di gendongannya nampak tengah bermain dengan mobil-mobilan plastik, mainan milik cucunya.
"Belum ada, Bu Odah. Kata teman-teman Bang Herman juga udah enggak lihat sejak dua hari lalu," jawabku dengan wajah sedih.
"Ya udah, Neng Kamila. Jangan sedih. Kita doakan saja si Herman segera pulang. Kasihan juga Neng Kamila dan Rafli. Harus terlunta-lunta dan cari uang sendiri," ujar Bu Odah dengan mata berkaca-kaca.
"Eh iya, saya bekerja bantu-bantu Bu Odah apa ini? Saya dulu di toko orang tua saya suka bantu bikin pembukuan. Kebetulan waktu masih di SMA nilai pelajara Ekonomi dan Akutansi saya memang lumayan. Apa Bu Odah perlu saya bantu bikin pembukuan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Aku merasa tak enak jika hanya menerima kebaikannya tanpa memberikan timbal balik.
"Aduh, Bu Odah jadi enak kalau gini. Sebenarnya Neng Kamila mau main sini sama Rafli aja Bu Odah udah senang. Merasa ditemani, karena semenjak suami Bu Odah meninggal, ibu sendirian kan. Anak-anak ibu pada tinggal di kota," cerita Bu Odah.
"Jangan gitu, Bu Odah. Mila yang enggak enak kalau tidak bantu-bantu. Boleh Mila lihat pembukuan di toko Bu Odah?" tanyaku pada Bu Odah.
Wanita itu lalu memberikan Rafli padaku dan masuk sejenak untuk mengambil buku pembukuan tokonya.
"Ini bukunya, Neng Kamila. Tapi udah dua bulan enggak dicatat, karena si Rahmat, anak ibu udah jarang pulang. Dulu si Rahmat yang suka bikin pembukuan, supaya ibu tahu gimana kondisi keuangan toko ini," ujar Bu Odah sambil memberikan dua buah buku kas. Satu untuk stok barang, satu untuk pembukuan keuangan.
"Tapi semua nota-notanya, Ibu masih simpan? Nanti kalau masih, saya bisa Bu Odah mencoba mengurutkannya," sahutku sambil membaca-baca.
Aku melihat pembukuan toko Bu Odah sebenarnya sudah sangat rapi. Orang yang membuat pembukuannya rupanya memang teliti dan pandai. Semua dicatat dengan jelas dan diberikan keterangan.
"Ini, Neng. Semua nota saya simpan di sini. Tapi berantakan. Apa bisa Neng Kamila merunutkannya?" tanya Bu Odah tidak enak.
"Oh enggak apa-apa, Bu Odah. Coba saya urutkan dulu ya," sahutku mulai memilah dan mengurutkan nota berdasarkan tanggalnya.
Rafli terlihat antusias di pangkuanku. Ia meraih kertas-kertas itu dari tanganku dan ingin memasukkan ke mulutnya.
"Sini-sini, Rafli sama Nini Odah. Bunda biar bekerja dulu ya," ujar Bu Odah meraih Rafli di pangkuanku.
Aku jadi bisa bekerja dengan lebih fokus ketika Bayiku digendong Bu Odah. Wanita itu mengajak anak bermain di dalam rumah sementara aku bekerja di teras membantunya menyusun pembukuan.
Ketika sedang mengurutkan nota dan memilah-milah bukti pembayaran air mataku menetes. Aku teringat hari-hari di mana aku sering membantu orang tuaku di toko dahulu. Sudah sejak kelas satu SMA aku membantu pembukuan di toko kedua orang tuaku. Mereka memang mengajarkan aku untuk memegang dan mencatat pembukuan toko.
Aku ini anak tunggal, jadi kedua orang tuaku memang bersiap-siap untuk mewariskan toko grosir beras dan segala kebutuhan pokok itu untukku. Namun apa mau dikata sebuah peristiwa menyebabkan semuanya berantakan. Kedua orang tuaku marah sampai mengusirku dengan Bang Herman keluar rumah.
Kuseka air mataku yang sempat menetes dan kembali bekerja. Namun baru selesai kuurutkan nota-nota itu berdasarkan tanggalnya, sebuah panggilan dari seseorang di luar pagar rumah Bu Odah mengagetkan aku.
"Stttt! Kamila! Hei, Kamila. Sini deh sebentar!" panggil Mbak Sri. Tukang gorengan yang mangkal di sebelah toko kelontong milik Bu Odah.
"Eh, Mbak Sri. Ada apa, Mbak?" tanyaku pada Mbak Sri.
Wanita itu melambaikan tangan memintaku mendekat dengan gelagat mencurigakan.
"Ada apa ya?" bartinku tak nyaman.
Aku bangkit setelah menutup buku kas, lalu menjepit nota-notanya dengan klip dan memasukkan semuanya ke dalam plastik hitam bekas tempat nota.
"Ada apa sih, Mbak Sri? Misterius amat," tanyaku sambil mendekat.
"Sini sebentar, aku mau cerita sama kamu Kamila!" panggilnya masih dengan berbisik.
Aku berjalan buru-buru ke arah Mbak Sri dengan rasa penasaran yang membuncah di dalam dada.