Mila, Pinjam Beras Dong!
Aku segera bangkit dan bergerak menuju ruang tamu. Rafli kubiarkan saja bermain-main di atas tempat tidur dengan pembatas bantal di sekelilingnya. 

Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu itu seolah tak sabar. 

Aku bergegas membukakan pintu. Terlihat Kak Nilam berdiri di sana dengan wajah tersenyum manis. Mau apa dia? 

"Mila, kamu ada beras enggak? Kakak pinjam dulu dong. Di rumah kakak sedang kehabisan beras. Kakak pinjam tiga gelas aja, buat masak nasi. Nanti sore kakak balikin," ucap Kak Nilam padaku. 

Nah kan, kalau Kak Nilam tersenyum manis di depan rumahku itu berarti dia ada maunya. Ia pasti mau merepotkan dan menggangu aku dengan segala kesulitan hidupnya. Tapi mengapa, saat aku kesulitan ia tak pernah ada? 

"Maaf, Kak. Kenapa kakak enggak beli ke toko Bu Odah aja? Masih buka kok tokonya kalau jam segini," tanyaku sambil berusaha mengelak. Aku tak mau terus jadi bulan-bulanan kakak iparku itu. 

"Maleslah, Mila. Toko Bu Odah jauh di depan gang masih harus jalan lima meter lagi. Aku pinjam kamu aja dulu ya," elak Kak Nilam manja. 

"Ya udah sini uang Kak Nilam. Biar Mila yang pergi ke toko Bu Odah buat beli, enggak apa-apa Mila yang belikan untuk Kak Nilam," sahutku bertahan tidak memberikan apa yang dia minta. 

"Aduh kelamaan kalau ke sana. Aku butuh cepet, Mila. Anak dan suamiku keburu pulang dari sekolah kalau nunggu ke warung Bu Odah dulu," kelit Kak Nilam sungguh lihai. 

"Warung Bu Odah dekat kok, Kak Nilam. Apa mau aku yang belikan ke sana? Sini uangnya," usulku sengaja tetap bertahan. 

Aku berharap dengan sikapku, Kak Nilam sadar diri. Tidak sekali dua kali dia berbuat seperti ini. Selalu mengetuk rumahku untuk meminjam entah beras, gula, bawang, minyak, telur dan berbagai bahan makanan. Mending kalau dikembalikan. Ini suka pura-pura amnesia setelahnya. 

"Aduh, Mila! Kok kamu ribet gini sih. Sama aja kan kalau kamu yang ke toko Bu Odah lama. Kamu jalannya aja kayak siput, belum bawa Rafli dan lain-lain. Pinjemin aku aja sih! Pelit amat jadi adik ipar!" protes Kak Nilam seperti sudah bisa aku perkirakan. 

"Enggak, Kak Nilam. Janji aku akan lari ke toko Bu Odah demi kakak. Rafli aku titip Kak Nilam untuk menjaga sebentar bisa kan? Masa aku berusaha Kakak enggak mau jaga anakku sih?" sindirku mulai berani. Jengah aku dijadikan bulan-bulanan terus oleh ipar dan mertuaku. 

Kak Nilam memasang wajah kesal padaku. Aku yakin ia tak suka dengan sikap ngeyelku saat ini. 

"Sini uangnya, Kak. Biar aku belikan. Oh iya kalau mau lebih cepat, pinjami aku motor baru Kak Nilam itu. Biar semakin cepat aku berangkat ke toko Bu Odah," lanjutku lagi menyindirnya hingga habis. 

Wajah Kak Nilam semakin marah dan terlihat merah padam. 

Bug! Kak Nilam mendorongku dari depan pintu dan beranjak masuk ke dalam rumah kontrakan. Ia lalu bergerak menuju dapur dengan segera. 

"Kakak mau apa?" tanyaku menghalangi. 

"Kamu jadi ipar jangan pelit! Inget kamu itu numpang di rumah keluargaku! Membantu aku sedikit apa salahnya sih?" protes Kak Nilam seenaknya. 

Wanita tak tahu malu itu terus bergerak menuju dapur dan melihat beberapa kebutuhan dapur yang aku pinjam dari Bu Odah. 

"Ih belanja banyak kamu hari ini, Mila. Gitu kok pelit amat sama aku. Jangan pelit-pelit jadi orang! Sedekah itu bikin cepat kaya. Kalau kamu pelit ya miskin terus kayak gini," cerocos Kak Nilam makin tidak terkontrol. 

"Kak aku kurang baik apa? Kakak butuh uang aku pinjami. Kakak ingin ini dan itu tinggal ambil di rumahku. Tapi kenapa kalau aku butuh bantuan Kak Nilam, kakak enggal pernah ada buat bantu aku?" protesku pada ipar jahatku itu. 

"Kamu ini ngelantur ya. Aku kalau ada juga aku bantu. Masalahnya kamu datang pas aku enggak ada. Udah deh jangan banyak bicara!" omel Kak Nilam. 

Perempuan berwajah culas dengan kulit seputih pualam dan alis dijungkitkan setinggi monas itu mulai memilih-milih bahan pokok yang mau diambil. 

"Kak jangan diambil, itu buat kebutuhan aku seminggu. Ini juga boleh hutang di warung Bu Odah, Kak! Lagian Bang Herman udah enggak pulang dari semalam," aku menahan tangannya ketika hendak mengambil plastik untuk diisi beras. 

"Kamu ini ngeyel ya! Kamu kan belum bayar sewa kontrakan satu bulan. Udah aku ambil ini nanti potong biaya sewa kontrakan!" Kak Nilam semakin seenaknya. 

Wanita itu tak malu mengambil beras, telur,  juga minyak goreng yang aku bawa dari toko Bu Odah. 

"Eh ini ada biskuit, aku minta ya. Si Brian suka nyemil biskuit bayi. Makasih ya, Mila. Jangan pelit-pelit jadi ipar. Lagian orang tuamu kan juragan beras di pasar. Kalau stok kamu habis, tinggal minta ke mereka! Jangan terus-terusan numpang hidup di keluargaku!" oceh Kak Nilam terus saja menyakitkan hati. 

"Kakak ini dzalim betul dengan aku! Sudah merampok persediaan dapurku, masih pula enggak tahu malu menghukumi aku macam-macam!" balasku tak terima. Aku sudah jengah dengan sikapnya yang seenaknya itu. 

Bruk! Wanita itu mendorongku hingga menabrak pintu dapur. 

"Jaga mulutmu! Jangan kurang ajar sama aku. Kalau Herman dan Ibu tahu, habis kamu!" ancam Kak Nilam sambil melenggang pergi. Tangannya penuh membawa plastik berisi kebutuhan dapur hasil menjarah dari tempatku. 

Begitulah selalu hidupku semenjak pergi dari rumah dan ikut suamiku. Kami tinggal mengontrak di rumah milik Kak Nilam. Rumah yang ia beli dan bangun dengan uang hasil mengutang padaku. Utang yang tak pernah di bayar dan selalu minta diikhlaskan. 

Uang bulanan selalau dia tagih, meski memang jauh lebih murah dari harga kontrakan di manapun, tetapi embel-emblenya bisa lebih mahal. Bagaimana tidak, hampir setiap minggu Kak Nilam meminta bahan kebutuhan dapurku. Alasannya sama, pinjam, kalau tidak di kasih ya memaksa masuk dan mengambil sendiri seenaknya. 

Pernah kuadukan sikap Kak Nilam pada Bang Herman. Tetapi setali tiga uang dengan saudaranya, pria itu malah mendukung keluarganya dan memusuhiku. 

"Kita ini sudah menumpang di rumah Kak Nilam. Jangan pelit, kalau bisa bantu kamu bantu dia! Lagi pula selama ini kan aku yang bekerja cari uang. Uang itu uangku, keluargaku lebih berhak dari pada kamu!" tegas Bang Herman waktu itu. 

Aku yang tengah hamil lima bulan dan memang hanya mengandalkan pendapatan suami, hanya bisa menghela napas dan mengelus dada. 

Kudengar suara bayiku menangis di dalam kamar. Aku bergerak menuju kamar dan melihat Rafli sudah berada di tepi tempat tidur dan terhimpit di antara bantal dan guling. 

"Ya Allah, Nak. Banyak betul tingkahmu ini. Padahal belum bisa terngkurap, tapi tangan dan kakinya gerak-gerak saja sudah bisa sampai pinggir kasur," keluhku sambil meletakkan bayiku kembali ke tengah tempat tidur. 

Meski tubuhnya kurus dan berat badannya kurang, tingkah bayiku lumayan aktif. Tangisnya juga begitu kencang saat kelaparan. Aku masih bersyukur bayiku bisa lahir dengan normal dan selamat meski dengan perjuangan yang tak mudah. 

Aku kembali terkenang perjuanganku dalam melahirkan bayi mungil yang aku beri nama Muhammad Rafli Al-Islam ini. Bayi yang lahir tanpa diazani bapaknya dan dibuang nenek serta kakeknya sendiri. Malang sekali nasipmu, Nak. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!