Bayiku Menangis Semalaman
[Abang di mana? Tolong belikan sekotak susu formula untuk bayi enam bulan, Bang. Rafli menangis terus karena kehabisan susu]

Kukirim pesan ke nomor aplikasi hijau milik suamiku. Entah sudah berapa banyak pesan seperti itu ku kirim ke nomor suamiku, namun tak kunjung mendapat jawaban. 

Aku meletakkan ponsel jadul lungsuran dari Bang Herman, suamiku. Aku kemudian kembali menimang Rafli, bayi yang baru berusia enam setengah bulan itu. Bayi Rafli dalam gendonganku terus menangis, karena kehausan. 

Kucoba memberikan asiku, tetapi tak keluar. Meski berbagai daya upaya kulakukan, air susu ibu yang harusnya masih bisa dinikmati anakku hingga usia dua tahun itu rupanya telah mengering. 

"Ya Allah, aku harus bagaimana?" batinku teriris perih melihat bayi Rafli yang terus menangis hingga menjelang tengah malam. 

Bang Herman belum menjawab pesanku. Kucoba menghubungi nomornya tetapi rupanya nomor suamiku itu sudah tidak aktif. 

"Ke mana, Bang Herman. Mengapa sudah semalam ini masih belum pulang dan ponselmya tidak aktif pula?" batinku bertanya-tanya. 

Aku memandang jam dinding usang yang tergantung di atas tembok kamarku. Sudah puluh sepuluh malam, tapi Bang Herman masih tak kunjung pulang. Aku takut toko dan swalayan yang menjual susu formula sudah tutup. Bagaimana nanti jika bayi Rafli tidak mendapatkan susunya? 

[Bang, Abang di mana? Kenapa ponselnya tidak bisa di hubungi?]

Kembali kukirim pesan pada Bang Herman meski setelah kukirim hanya centang satu. Beneran, nomornya memang tidak aktif. Entah mati karena kehabisan batrei atau karena kehabisan paket data. 

Bayi Rafli masih menangis di dalam buaianku. Hangat peluk ibu kandungnya ini ternyata tak mampu meredakan tangis bayi enam setengah bulanku itu. Aku tahu dia lapar. Bayi Rafli sangat lapar karena sudah sejak pukul enam sore tadi dia kehabisan susu. 

"Sssshhhh! Sabar ya, Nak. Ayah sebentar lagi pulang. Bawa susu buat Rafli," ucapku sambil menimang-nimang putraku itu. Bayi yang aku lahirkan dengan bertaruh nyawa. 

Betapa tidak? Ketubanku sudah pecah waktu Bang Herman membawaku ke rumah Bidan Hernik. Bahkan dari lubang peranakanku sudah mengalir cairan bening keruh berwarna merah. 

"Ya Allah, Man! Ini bagaimana kok istrimu sampai pecah ketuban begini baru di antar ke sini? Harusnya sudah sejak semalam kamu bawa ke puskesmas!" tegas Bidan Hernik ketika Bang Herman menurunkanku di depan klinik bersalin di depan rumah Bu Bidan. 

Bang Herman waktu itu hanya diam membisu. Entah dia merasa bersalah atau tidak, karena dia sendirilah yang membuat aku mengalami pecah ketuban hingga bercampur darah pekat seperti itu. Pria itu sendiri yang tak mau mengantarku ke rumah Bu Bidan, saat aku sudah merasakan mulas-mulas sejak semalam. 

Kutatap bayi Rafli yang masih terus menangis. Kucoba menenangkannya dengan menyuapkan air putih agar tenggorokannya tidak kering dan bayiku tidak dehidrasi. 

Bayi Rafli hanya diam selama beberapa menit saja setelah aku beri minum air putih. Tak lama kemudian ia kembali menangis kelaparan. Aku tahu tindakanku memberinya sesendok air putih memang hanya akan mendiamkan bayi itu beberapa saat saja. Aku sudah melakukannya sejak ba'da magrib tadi. 

Aku bangkit dari dudukku. Kuambil selendang dan kugendong bayiku agar aman. Lalu bergerak ke dapur mencoba mencari makanan. 

Tak ada makanan di meja makan selain jatah makan malam Bang Herman dan segelas teh manis yang sudah dingin. Aku menyiapkannya sudah sejak lepas isya tadi, namun suamiku tak kunjung pulang. 

"Pergi ke mana sebetulnya kamu, Bang?" keluhku cemas namun hanya bisa kupendam dalam hati saja. 

Aku meraih beras di wadah yang tinggal segenggam jatah untuk kami sarapan esok pagi. Kujerang air di panci dan kumasukkan beras tersebut ke dalam panci untuk membuat air tajin. 

"Mungkin dengan diberi air tajin, bayi Rafli bisa tenang dan pulas sampai esok hari," begitu pemikiran yang terlintas di kepalaku saat itu. 

"Owek! Owek! Owek!" Bayiku masih terus menangis ketika aku sibuk membuat air tajin. 

Aku memandang iba pada bayiku, merasa menjadi ibu yang gagal karena untuk menyediakan kebutuhan gizi anakku saja aku tak mampu. 

"Sshhhh! Tenang ya, Nak. Sabar dulu, ibu buatkan Rafli makanan," pintaku pada bayi Rafli. Bayi mungil bermata bulat yang sebetulnya tampan, namun agak kurus karena kurang gizi. 

Aku menenangkan bayi Rafli sambil mengaduk-aduk beras yang aku jerang di atas kompor. Terus kuaduk agar cairan kental berwarna putih itu keluar dan bisa segera kuberikan pada bayiku yang kelaparan. 

Sambil menunggu air tajinnya siap, kembali kuraih ponsel jadul milikku dan kuhubungi suamiku. Namun lagi-lagi hanya pesan suara operator yang kudengar. 

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi."

Astaghfirullah halazim! Ke mana perginya Bang Herman hingga larut malam begini? Apa iya pamit mengojek semenjak siang tadi masih juga belum selesai hingga jam segini? 

Beras dan air yang kujerang di atas kompor sudah mulai mendidih. Aku aduk-aduk agar cepat mengental dan air tajinnya segera siap dimakan anakku. Sambil menunggu, sesekali aku masih memberikan sesendok demi sesendok air putih agar anakku berhenti menangis. 

Seperempat jam kemudian air tajinnya sudah siap. Kuambil sendok sayur yang akan aku gunakan untuk menciduk dan mengisi hingga memenuhi gelas kaca yang telah disiapkan. 

"Sabar ya, Nak. Ini air tajinnya di dinginkan dulu. Nanti kalau sudah, ibu suapkan buat kamu ya," ujarku pada bayi kecil dalam gendongan ini. 

Aku bergerak menuju kamar utama dan satu-satunya dalam rumah kontrakan sederhana kami ini. Rumah yang sengaja dikontrak Bang Herman untun tempat tinggal kami berdua. 

Bayi Rafli sudah agak tenang. Mungkin ia sudah paham bahwa aku sedang menyiapkan asupan energi untuknya. 

Kuletakan gelas berisi air tajin itu di meja kecil dalam kamar, lalu kudinginkan dengan bantuan kipas angin. Kuambil sesendok, kudekatkan pada kipas angin, lalu setelah dingin kusuapkan pada bayi malangku itu. 

"Ayo, Nak. Aaaa, ammm! Aduh pinternya anak ibu," ujarku dengan sabar menyuapi bayi Rafi dengan air tajin. 

Mungkin ini bukan makanan bergizi yang layak untuk mendukung tumbuh kembang bayiku. Tetapi hanya inilah usaha terbaik yang bisa aku lakukan malam ini untuk meredakan tangis kelaparan bayiku ketika tak punya susu. 

Setengah jam kemudian bayiku sudah kenyang dan bisa pulas tertidur dalam buaianku. Kulepas selendang lalu kuletakkan bayi mungil itu di atas ranjang. Kurapikan alas tidur untuk bayi Rafli agar putraku itu nyaman terlelap sampai pagi.

Sayup-sayup kudengar suara motor yang datang mendekat. Kupikir itu suara motor Bang Herman yang akhirnya pulang. Namun tak kudengar suara motor itu berhenti di depan rumah kontrakanku. Tak kudengar pula ketukan pintu dari suamiku tersebut. 

"Mungkin bukan Bang Herman," batinku menerka-nerka. 

Namun aku masih penasaran, ke mana perginya suamiku malam ini? Mengapa hingga tengah malam ia belum pulang dalam kondisi ponselnya mati dan tak bisa dihubungi? Haruskah aku mulai curiga ia tengah bermain api? 


Komentar

Login untuk melihat komentar!