Aku berjalan gontai sambil menggendong anakku menuju toko kelontong milik Bu Odah. Satu tujuanku adalah berhutang dulu untuk memenuhi kebutuhan. Kalau keluarga dekatku tak mau memberi pinjaman, maka dengan menggantungkan rasa malu, biarlah aku berhutang pada orang lain.
"Assalamualaikum, Bu Odah," ujarku takut-takut. Dihina dengan begitu jahat oleh mertua dan iparku seperti itu membuat aku jadi ciut nyali berhutang pada Bu Odah.
"Eh, Neng Kamila. Aya naon, Neng Geulis? Ada yang bisa Bu Odah bantu?" tanya Bu Odah ramah.
Hati ini jadi sedikit lega mendengar ucapannya. Setidaknya sikap ramah Bu ada membuatku sedikit nyaman.
"Anu, Bu Odah. Maaf sebelumnya kalau saya menyusahkan Bu Odah. Kamila mau nanya. Apa Bu Odah butuh tenaga untuk bantu-bantu di toko kelontong Bu Odah ini?" tanyaku takut-takut.
"Eh, kok tumben Neng Kamila nanya begitu? Ada apa, Neng?" tanya Bu Odah kebingungan.
"Sa-saya butuh uang untuk beli susu Rafli, Bu. Bang Herman dari kemarin enggak pulang dan enggak ada kabarnya. Tapi saya enggak mau berhutang, Bu Odah. Biar saya bekerja di sini sebagai gantinya," jelasku dengan napas terengah-engah menahan gemuruh dalam dadaku.
Bu Odah nampak tertegun mendengar ucapanku. Wanita itu seperti tidak menyangka bahwa aku akan mengucapkan hal seperti ini. Mungkin bagi Bu Odah yang tahu latar belakang keluargaku, tidak akan menyangka bahwa rumah tanggaku dengan Bang Herman akan mengalami masalah himpitan ekonomi.
"Neng Kamila butuh apa? Susu ya, buat si Rafli. Berapa kotak?" tanya Bu Odah kemudian.
"Satu aja, Bu. Cukup buat satu minggu," jawabku saat melihat Bu Odah menurunkan dua kotak besar susu formula untuk bayi 6-12 bulan.
"Aduh jangan buat satu minggu. Sampai akhir bulan ya. Tiga kotak cukup? Eh empat deh sekalian enggak apa-apa. Apalagi, Neng Kamila?" tanya Bu Odah terlihat sangat sibuk.
"Bu Odah jangan banyak-banyak. Saya enggak punya uang kalau buat bayar segitu banyak. Saya harus kerja berapa hari di tempat Ibu kalau begitu?" sahutku panik.
"Neng Kamila jangan sungkan. Urusan kerja mah gampang. Sekarang kebutuhan Neng Kamila apa aja? Beras ya, mau berapa kilo? Lima kilo cukup? Minyak, telur, gula, garam, kecap? Ahhh ini juga ya, indomie ya, Neng. Satu kardus mau?" tawar Bu Odah bertubi-tubi membuatku merasa tak enak hati.
"Aduh, Bu Odah. Sudah, jangan banyak-banyak. Ini sudah lebih dari cukup untuk stok sebulan kedepan," tolakku sambil mengembalikan beberapa benda padanya.
"Neng Kamila tenang aja. Enggak usah sungkan sama Bu Odah. Sini duduk dulu, masuk ke dalam biar si ganteng Rafli enggak kepanasan," ujar Bu Odah sambil mengajakku duduk di kursi teras di samping toko kelontongnya.
Aku menurut saja.
"Sri! Tolong kamu buatkan es teh dua. Sama gorengan ya yang masih anget. Itu apa yang baru di goreng? Bala-bala ya, iya mau lima!" titah Bu Odah pada Mbak Sri, penjual es teh dan gorengan di sebelah toko kelontongnya.
"Bu Odah jangan repot-repot loh. Saya ini le sini mau minjam barang dulu nanti saya bayar sembari bekerja. Kok malah dibawain segini banyak dan disuguhi minuman segala," tolakku tak enak pada Bu Odah.
"Neng Kamila jangan begitu. Ibu cerita sedikit ya. Dulu jaman ibu masih mau mulai usaha, bapak dan ibu Neng Kamila banyak membantu. Mereka sering memberi pinjaman dengan cara boleh hutang ambil barang duluan di toko mereka untuk kulakan. Nanti baru bayar setelah barangnya habis," jelas Bu Odah.
Aku hanya mengangguk segan.
"Makanya kalau sekarang Neng Kamila butuh apa-apa jangan sungkan sama Ibu. Ambil aja di sini apa yang Neng Mila butuhkan. Biar nanti urusan bayarnya gampang sajalah," imbuh Bu Odah lagi.
Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan Bu Odah. Wanita itu membuatku terharu dengan ucapannya. Bagaimana bisa orang yamg tidak ada hubungan apa-apa bisa sebaik dan sepercaya ini padaku. Berbeda 180° dengan keluarga mertua dan iparku.
Bu Odah bahkan menggendong Rafli hingga mengajaknya bermain, ketika pesanan gorengan dan es tehnya datang. Ia sengaja melakukan hal itu supaya aku bisa makan gorengan dan minum es teh dengan nyaman.
"Makan yang banyak, Neng Kamila. Enggak apa-apa, Neng Kamila lapar kan," ujar Bu Odah. Ia menyodorkan gorengan padaku dan memintaku menghabiskannya.
Ya Allah, malu betul aku diperlakukan seperti ini. Orang yang bukan keluarga malah seramah ini terhadapku dan bayiku.
"Saipul! Pul! Tolong kamu keluarkan mobil ya. Antarkan ibu!" ujar Bu Odah pada sopirnya.
"Neng Kamila nanti kan enggal bisa bawa ya. Ibu antarkan ya. Biar ini semua nanti dibawakan Saipul," usul Bu Odah.
"Bu, jangan begini. Nanti malah ipar dan mertua saya curiga macam-macam. Tolong jangan salah paham. Bukan saya menolak kebaikan Bu Odah. Tetapi saya hanya takut terjadi masalah di kemudian hari dengan keluarga suami saya," sahutku sambil mengembalikan semua pemberian Bu Odah.
"Loh, Neng Kamila jangan menolak pemberian saya begini. Kalau gini nanti saya yang kecewa," keluh Bu Odah.
"Begini saja, Bu. Saya ambil secukupnya yang saya perlu saja. Tapi nanti saya tetap bekerja di sini ya, Bu Odah. Saya bantu-bantu Bu Odah yang saya bisa," pintaku pada Bu Odah.
"Ya sudahlah kalau itu mau, Neng Kamila. Bu Odah malah berterima kasih Neng Mila mau bantu-bantu saya di sini. Silahkan Neng Mila ambil apapun yang Neng Mila butuhkan. Jangan anggap ini hutang ya, Neng. Ini balas budi Bu Odah pada kedua orang tua Neng Kamila," sahut Bu Odah setuju.
Aku lalu memilih mengambil, susu satu kardus, beras satu kilo dan telur satu kilo serta beberapa bungkus mie instan saja. Selebihnya aku kembalikan semuanya pada Bu Odah yang baik.
Setelah berpamitan aku lalu bangkit dan beranjak pulang.
"Neng! Tunggu! Sebentar, jangan salah paham ya. Ini ibu ngasih Rafli aja, buat cemilan mohon diterima," ujar Bu Odah sembari menjejalkan sebungkus plastik bubur dan biskuit bayi.
"Ya Allah, Bu Odah. Repot-repot aja. Terima kasih banyak ya, Bu. Allah yang balas," ujarku sambil berkaca-kaca.
Aku berjalan pulang dengan hati sedikit ringan. Setidaknya hari ini hingga beberapa hari kedepan anakku tidak akan menangis dan rewel lagi di malam hari.
"Ehhh sudah dapat utangan kamu, Mila? Aduh siapa orang yang mau kasih utangan pemalas macam kamu? Kasihan! Memangnya kamu bisa ngembalikan uangnya?" cemooh ibu mertuaku ketika kami berjumpa di persimpangan jalan dekat rumah kontrakanku.
Aku hanya membisu tak membalas perlakuannya. Kubiarkan saja dia puas menghinaku agar tak berlama-lama harus berinteraksi dengannya.
"Permisi, Bu. Mila buru-buru. Rafli sudah dari semalam tidak minum susu karena bapaknya tidak pulang dan tidak memberk kabar!" tegasku kesal sambil berlalu. Biar ibu mertuaku itu sadar, aku seperti ini karena anaknya.
Aku sudah hampir ngelonyor pergi namun tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku di dorong hingga jatuh terhuyung.
"Aduh!" pekikku kesakitan saat tubuhku menghantam tiang listrik dan tas plastik di tanganku jatuh terhempas di jalan.