Aku melihat ibu mertuaku berdiri sambil berkacak pinggang melihat tubuhku yang menabrak tiang listrik hingga kurasa nyeri di pundak kananku. Wanita itu bengis memandangku penuh emosi.
"Maksud kamu apa? Kamu mau bilang Herman anakku enggak bertanggung jawab? Kamu mau bilang gara-gara Herman kamu hidup susah? Jangan bikin aku emosi kamu ya, Mila!" bentak ibu mertuaku yang langsung mengundang perhatian orang-orang.
Wanita itu seolah tidak malu mengajak aku ribut di jalan seperti ini.
"Ibu ini kenapa marah-marah? Mila kan hanya bilang kalau Bang Herman sudah sejak kemarin belum pulang," jelasku dengan ketakutan. Melihat ibu mertuaku naik pitam begitu aku jadi serba salah.
Bagaimana tidak? Jika kulawan aku akan dianggap menantu tak tahu adab. Namun jika aku diam saja aku takut ibu mertuaku itu akan semakin bar-bar.
"Kamu ini memang benar-benar tidak tahu diri ya Mila. Dasar menantu pembawa sial! Kamu itu ...!"
"Aduh ini apa ribut-ribut? Jangan bikin malu warga dengan berantem di jalan begini deh, Bu!" Seseorang menghalangi ibu mertuaku untuk mengasariku.
"Eh, Bu Bidan! Tolong jangan ikut campur urusan saya sama menantu saya! Suka-suka saya dong mau ngapain!" sahut ibu mertuaku malah menantang. Wanita itu tak terima Bidan Hernik melerai kami.
"Eh, Bu! Jadi pergi enggak? Katanya mau lihat gamis di butik baru di ujung jalan sana? Kok malah ribut sama menantunya di sini sih?" ujar salah satu orang yang aku kenal sebagai teman akrab ibu mertuaku.
"Oh, iya. Lupa deh saya gara-gara kesel lihat menantu pembawa sial ini! Ayo deh, Jeng. Kita beragkat!" sergah ibu mertuaku sambil memandang aku penuh kebencian.
Untungnya wanita itu keburu pergi dengan temannya. Jadi aku selamat untuk kali ini.
"Mila, kamu enggak apa-apa? Sini ke rumah diobatin dulu," ujar Bidan Hernik sambil membantuku masuk ke rumahnya yang memang berada tepat di ujung gang.
"Enggak, Bu. Tadi enggak sempat jatuh kok. Cuma menabrak tiang listrik saja," jawabku sambil pura-pura tersenyum.
"Duduk dulu, Mila." Bidan Hernik memintaku duduk di kursi depan ruang tunggu klinik miliknya. Lalu beranjak masuk.
"Baik, Bu Bidan," sahutku menurut dan duduk menunggu sambil menggendong bayi Rafli. Untungnya bayiku itu sedang terlelap jadi dia tidak perlu mendengarkan kericuhan yang terjadi antara aku dengan ibu mertuaku tadi.
Tak Berapa lama Bidan Hernik muncul. Ia keluar dengan memberi aku sebungkus plastik besar biskuit bayi.
"Anakmu masih belum bisa makan bubur nasi, Mila? Masih muntah kalau makan makanan padat ya?" tanya Bidan Hernik.
"Iya, Bu Bidan. Sedih saya, kenapa Rafli seperti ini? Saya lihat pertumbuhannya enggak secepat anak-anak lain pada umumnya," keluhku sedikit curhat.
"Enggak apa-apa, Mila. Semoga setelah ini si ganteng Rafli makannya banyak," sahut Bidan Hernik menyemangati aku si ibu muda.
Aku hanya mengangguk sambil menghela napas panjang.
"Kamu kasih ini ya, untuk Rafli. Nanti kamu encerkan dengan air hangat lalu kamu suapkan. Lumayan untuk membuatnya kenyang. Sebentar aku timbang dulu si Rafli," ujar Bidan Hernik sambil mengambil bayi Rafli dari buaianku.
Aku membuka selendang yang aku gunakan untuk menggendong dan memberikan bayiku pada Bu Bidan yang baik tersebut.
Wajah Bidan Hernik berubah sedih saat selesai menimbang anakku, Rafli. Ia kembali memberikan bocah itu padaku.
"Beratnya masih di bawah berat normal, Mila. Kamu harus banyak kasih dia asupan gizi yang baik. Asimu tetap tidak keluar ya?" tanya Bidan Hernik padaku.
Aku menggeleng. Sudah sejak usia si Rafli tiga bulan, air susuku memang berhenti keluar. Kami yang memang sedang berada di kondisi ekonomi sulitpun jadi semakin sulit karena harus terus membeli susu formula.
"Ya sudah, enggak apa-apa kita usahakan tambah gizinya dengan bubur dan biskuit susu dulu saja. Jangan sampai bayimu mengalami stunting," sahut Bidan Hernik.
Bidan Hernik menyilahkanku pulang setelah membekali beberapa makanan bayi untuk anakku. Aku pamit dan bergegas pulang.
Kondisi bayi Rafli memang lemah sejak lahir. Sudah mengalami ketuban kering hingga kuning saat dilahirkan, bayiku ini juga tidak tumbuh sesuai dengan aturan berat serta tinggi badan bayi normal pada umumnya. Aku sudah berusaha untuk memberinya asupan gizi yang baik, tetapi bagaimama bisa maksimal, jika suamiku sendiri tak mendukung.
Bang Herman kerap marah-marah jika kuminta uang untuk beli susu dan kebutuha Rafli. Bukan hanya Bang Herman, ibu mertua dan kakak iparku juga tak jarang mengomentariku boros tiap kali minta uang belanja pada Bang Herman.
Aku tidak mengerti dengan mereka. Di bagian mana aku ini dibilang boros? Jika aku meminta uang untuk beli susu, popok bayi sekali pakai dan kebutuhan makan sehari-hari yang sederhana, apa iya aku boros?
Lalu apa Kak Nilam itu tidak berkaca saat menghinaku boros? Setiap hari ada saja paketannya belanja online. Berbagai baju, rupa-rupa make-up dan beberapa peralatan tidak jelas yang lebih sering dia buang atau jual rugi pada orang lain.
Air mataku kembali menetes, ketika mengingat betapa menderitanya kehidupan pernikahanku setelah kejadian itu. Menyesalpun sudah terlambat, aku memang seharusnya mendengarkan nasihat orang tuaku. Tapi nasi sudah terlanjut menjadi bubur. Aku terjebak dengan pernikahan bersama pria yang sudah seharian ini tidak pulang.
Aku tiba di depan pintu rumah kontrakan dan membuka kuncinya. Bang Herman masih belum pulang jadi aku kembali memguncinya saat membawa Rafli masuk.
"Maafkan aku, Bu. Mungkin ibu benar soal suamiku dan keluarganya," desisku sambil membuka beberapa plasik pemberian Bu Odah dan Bidan Hernik.
Telurnya pecah tiga karena jatuh saat didorong ibu mertuaku tadi. Langsung aku masak saja telurnya. Lumayan aku belum makan dari kemarin sore. Aku memang sengaja tidak makan untuk menunggu suamiku pulang.
Ingin rasanya menemaninya makan berdua sambil mengobrol bagaimana keberlangsungan pernikahan kami ini. Aku sungguh ingin dia peduli. Setidaknya jika bukan demi aku, lakukan demi buah hatinya.
Ah, memgingat-ingat tentang suamiku membuat aku jadi mencari telepon pintarku untuk mencari tahu kabar suamiku. Kucari-cari benda itu di antara lipatan kasur dan tumpukan bantal guling. Ketemu, benda itu sudah sekarat karena baterainya tinggal 20%.
Sambil mencari charger aku memeriksa beberapa pesan. Namun selain grup RT dan RW di kampung ini tetap tak ada jawaban dari suamiku. Bang Herman seolah hilang ditelan bumi.
[Bang, Abang ini ke mana sebetulnya?" mengapa tak kunjung membalas pesanku, Bang?]
Kukirim satu lagi pesan tapi hanya centang satu.
[Sudah cukup aku bersabar menghadapi segala sikap Abang ya! Tolong kali ini Abang pulang dan selesaikan semua urusan dengan Mila]
Aku yang sudah gemas dengan sikap Bang Herman yang seenaknya tak bisa lagi menahan diri. Biar saja dia marah saat membaca pesan ini. Aku ini istrinya tapi mengapa seperti tak dianggap. Kalau dia bisa bersikap abai, akupun tak akan bersabar lagi!
Namun, baru aku meletakkan telepon pintarku. Terdengar suara ketukan pintu di luar rumah. Siapa yang datang?