Nego
"Sa, buka dong! Masak kamu tega biarin aku  sendirian disini."

Sakha selalu memilih masuk kamar saat Ferdian datang. Ia mengunci ruang berukuran 8x10 itu dari dalam. Sementara Ferdian hanya bisa bengong di ruang tamu, karena ditinggal begitu saja seorang diri.

Sebenarnya lelaki berumur 32 tahun itu bisa saja memaksa masuk, karena punya kunci cadangan. Tapi memaksa bukanlah jalan baik untuk memulai apa yang telah dengan susah payah ia bangun kembali.

"Siapa juga nyuruh kamu bengong. Pulang sana! Anak dan istrimu nungguin." balas Sakha.

"Alisha gakda dirumah, lagi ngemall. Paling juga sore baru pulang. Trus ini jam tidurnya Mika, aku gak mungkin main dengan balita yang lagi tidur bukan?"

Tak ada jawaban apapun dari dalam kamar. Sakha masih sibuk mengurai benang kusut dalam kepalanya. Ia sebenarnya suka apartment ini, sangat betah dengan interiornya. 

Sudah satu tahun ini Sakha telah sangat lelah berpeluh membiayai hidupnya sendiri. Sebagian besar waktu dihabiskan dengan berpindah dari satu bimbel ke bimbel lain, dari satu rumah ke rumah lain untuk mengajar private. Demi menyewa tempat tinggal, demi bisa tetap makan.

Dengan hunian senyaman ini dan stock makan terjamin hingga hingga dua minggu lebih, seharusnya Sakha bisa senang bisa cuti dari kerja keras. Tapi melalui cara instan--dengan menjadi istri kedua--sama sekali tak pernah ia inginkan.

Mungkin satu minggu tak akan masalah meski terkurung di hunian ini, pikirnya. Tapi mengingat tak ada yang bisa dilakukan, tak ada yang bisa ia hubungi, sejenak ia ingin kabur segera setelah minggu pertama berlalu.

Akhirnya Sakha memutuskan untuk beberapa hari ini bertahan di apartment. Sebelum menemukan langkah terbaik untuk melepaskan diri dari belenggu mantan. Mencari tempat murah yang mungkin bisa ditinggali.

Terkait Bang Faisal.

Bagaimanapun kesalnya ia akan saudara kandungnya sendiri yang mau diperalat Ferdian. Pada nyatanya sosok itulah yang paling berjasa  kepadanya setelah orang tua. Bang Faisal yang menjaganya dari dulu, menjadi penyelamat saat ia kerap digangggu teman sekolah. Bang Faisal yang merawat ayah dan ibu dengan baik disaat hari-hari terakhir keduanya.

Pesan almarhumah sang ibu sebelum meninggal kembali terngiang di ingatan Sakha. Bahwa mereka bertiga harus selalu mendoakan ibu, agar akur selamanya, supaya ibu tak tersiksa di alam sana.

Bagaimanapun Bang Faisal juga telah berjanji pada kedua orang tua, bahwa akan menjaga perusahaan percetakan milik keluarga agar tetap bertahan. Meski cara--menggadaikan adik perempuannya sendiri--tetap tak bisa dibenarkan.

Sekarang ia baru paham kenapa Bang Faisal berulang kali mengingatkan Sakha agar patuh pada suami setelah menikah, agar tak membangkang.Tentang beratnya tanggung jawab seorang suami akan istrinya di akhirat nanti. Bahwa Ridha Allah Ada pada  ridha suami. 

Ternyata itu semua karena abangnya tahu bahwa Sakha pasti akan melakukan hal yang dilarang, jika tahu siapa suaminya.

"Sa. Halo! Kamu gak apa-apa di dalam sendirian?" Ferdian kembali mencoba berbicara di depan pintu kamar.

"Justru sendiri yang gak apa-apa. Kalau berdua sama kamu ... baru bahaya!" akhirnya Sakha menjawab sesuatu.

"Aku kan udah tanda tangani perjanjian. Kamu khawatirkan apa lagi sih, Sa?"

"Aku takut keluar ... di apartment ini seperti ada hawa mahluk lain." ucap Sakha sedikit mengurangi tekanan suaranya, ragu.

"Hah! Maksudmu apa?"

Ferdian menoleh ke kiri dan kanan, tak ada penampakan aneh atau apapun yang isyaratkan kehadiran mahluk tak kasat mata.

"Kamu lihat apa Sa? Mana ada sih setan gentayangan di apartment!"

Ferdian tiba-tiba teringat, dulu Sakha pernah mengaku melihat penampakan hantu di kosannya. Mengaku kalau kadang semacam punya Indra ke enam, entah itu bercanda atau tidak. Seketika Ferdian merasa merinding. Bagaimana kalau hunian mereka benar-benar berhantu, karena telah kosong selama tujuh tahun.

"Kamu jangan bikin aku takut Sa! Mana ada sih setan siang-siang!"

Ferdian memang punya ketakutan akan sosok ghaib, sampai umur kepala tiga saja ia tak berani keluar rumah diatas jam 12 malam.

"Ada!"

"Mana? Mana setannya? Aku kok gak lihat!" 

"Ada! Coba kamu bercermin di sana. Ada nampak setan, setan yang suka selingkuh!"

Ferdian sadar baru dikerjai perempuan yang masih bersembunyi di balik kamar. 

"Pulang sana! Udah satu jam!" teriak Sakha lagi.

Ferdian akhirnya menuruti perintah istrinya dengan berat hati. Ia sudah mempersiapkan  diri akan penolakan ini sebelumnya, jadi tak dilempar sapu saja sudah cukup baik baginya. Toh hari ini ada hal yang harus ia selesaikan di Royal. Perusahaan yang bergerak dibidang otomotif miliknya.

Usai memastikan Ferdian benar-benar pergi,  Sakha memilih menonton film korea seharian. Setidaknya lelaki itu benar-benar menepati kesemua poin perjanjian, Sakha menjadi menyesal kenapa tak menambah beberapa poin lagi.


***

"Aku butuh laptop!"

Ucap Sakha saat Ferdian masuk keesokan siangnya.

"Untuk apa?"

"Daripada minta beli HP?"

Ferdian bingung kemana arah permintaan Sakha. Perempuan itu masuk ke apartmen ini memang tanpa alat komunikasi apapun. Semua berkat kerjasama Bang Faisal yang menyembunyikan ponsel adik perempuannya.
Mereka berdua takut kalau Sakha akan menghubungi seseorang untuk membawanya kabur.

"Aku bosan. Dan mungkin bisa menulis sesuatu di Laptop. Seperti menulis cerita ... tentang Azab Tukang Selingkuh, mungkin."

Ferdian memicingkan mata. Ia tahu kalau Sakha memang masih suka menulis di blognya yang kebanyakan berisi cerita fiksi.

"Trus, kalau nanti kamu pakai Laptop itu buat yang nggak-enggak?"

"Enggak-enggak gimana?"

"Nonton******mungkin. Who knows."

Ferdian tak tahu harus bagaimana menutupi ketakutannya kalau Sakha berusaha memakai laptop untuk melakukan sesuatu agar bisa bebas.

"Kamu gak usah ngarang. Bilang aja kalau kamu takut aku buka medsos, trus minta bantuan kan?" Sakha mampu membaca pikiran lelaki dihadapannya dengan akurat.

"Emangnya ... enggak?"

"Nggak usah takut. Udah hampir sebulan ini aku delete semua akun kecuali WhatsApp. Aku lagi mau menjauh dari postingan toxic di medsos."

Ferdian mengernyit, ragu akan kejujuran perempuan dihadapannya.

Sudah tiga minggu ini memang Sakha berusaha berhenti bermedsos, karena merasa tak ada gunannya. Membuka medsos ia hanya melihat begitu banyak jejak kesenangan teman-temannya disana; foto liburan, foto mesra bersama pasangan, foto bersama barang mewah.

Bukan karena tak suka melihat kesenangan orang lain. Hanya saja ia merasa menjadi kurang bersyukur dengan keadaan sendiri. Lalu lupa bahwa Allah telah memberikan begitu banyak nikmat sebelum ini.

"Jangan pelit sama istri, ntar kena azab!" ucap Sakha sambil membuka kulkas.

"Apa aku bisa memegang ucapanmu, bahwa tak akan menghubungi siapa-siapa?"

"Selama kamu mengenalku lima tahun, apa aku pernah bohong? Berbohong ... seperti yang pernah kamu lakukan?"

Sakha melempar kalimat itu dengan keras ke wajah Ferdian. Kalimat yang sengaja dipilih untuk menjebak lawan bicaranya agar menafsirkan sendiri. Padahal nyatanya perempuan itu hanya sedang mengelak dari sebuah jawaban jujur. Setidaknya satu atau dua minggu ini Sakha memang tak akan melakukan upaya apapun untuk membebaskan diri. Justru ia akan menggunakan waktu dan laptop itu untuk mempersiapkan lainnya.

"Baiklah. Sekarang kita lihat beli yang online. Tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Masalah poin pertama, tentang cuma boleh satu jam disini. Aku minta revisi."

"No!"

"Yes, or never! Lagian masalah laptop gak ada di poin bukan? Aku berhak menolak."

"Memang berapa jam maumu?" tanya Sakha akhirnya, ingin tahu.

"Tiga jam sehari, dan terserah aku waktunya." 

Sakha memutarkan bola matanya, seolah sedang berpikir keras. Sebenarnya tak ada masalah asal Ferdian benar-benar menuruti point-point lainnya. Toh nanti perempuan itu bisa mengurung diri dikamar selama Ferdian datang.

"Oke, tiga jam. Asal bukan malam." Sakha berdiplomasi.

"Oke."

Ferdian segera membuka market place dari ponselnya, lalu menampakkan beberapa laptop terbaik yang mungkin Sakha inginkan.

"Aku tak mau yang merk itu." ucap Sakha saat melihat logo berbentuk buah apel.


"Kenapa?"

Sakha hanya menggeleng. Walau berniat mengerjai Ferdian tapi ia sama sekali tak tertarik untuk memanfaatkan uang lelaki itu.

"Bagaimana, kalau aku pinjam laptopmu yang nganggur aja? Yang tuapun boleh, asal masih bisa dipakai buat ngetik."

"Gak. Harus yang baru."

"Point nomor 8: dilarang memerintah ataupun mendikte istri!
Kasih laptopnya, atau poin 10 berlaku!"

Kali ini Ferdian menyerah, poin-poin yang dibuat Sakha bisa mengancam kapan saja.


( Bersambung )

Komentar

Login untuk melihat komentar!