Sakha membuka matanya berat dan menyadari bahwa jam sudah menunjuk angka delapan malam. Perempuan itu tertidur sejak petang di atas ranjang besar berdesign Italian Classic, dengan pakaian pengantin yang belum sempat diganti.
Sempat panik mengira telah melewatkan waktu shalat, lalu ia sadar bahwa masih dalam akhir siklus bulanannya sebagai perempuan.
Kalau saja bukan karena sebuah mimpi, mungkin saat ini Sakha belum terjaga.
Seakan ia baru saja memeluk ibu dalam dimensi berbeda. Seolah sosok itu sedang berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Sakha menggerakkan kepalanya ke kiri dan kekanan, demi merenggangkan sedikit otot leher yang kaku. Lalu tak sengaja matanya menangkap lukisan di dinding yang menggambarkan keindahan Tanah Lot, Bali.
Ia ingat lima tahun lalu pernah liburan ke pulau Dewata, dengan Vani dan Lala. Disana, Vani menarik tangan Sakha tiba-tiba, demi memastikan kalau temannya sedang tak salah melihat orang.
Vani menunjuk ke arah sepasang anak manusia bermeseraan di sudut loby hotel. Menurut temannya, tadi ia sempat memergoki kedua orang itu baru keluar dari kamar hotel.
Benar yang Vani duga. Bahwa itu Alisha.
Tapi laki-laki yang duduk di samping bukanlah suaminya. Padahal saat itu Alisha dan Ferdian baru satu tahun menikah.
Saat itu Sakha bingung, harus kasihan atau senang, karena sakit hatinya terbalaskan tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Mantannya mendapatkan pasangan tukang selingkuh.
Lalu kini entah bagaimana nasib mempermainkannya hingga harus menjadi istri kedua dari lelaki itu. Terperangkap dalam apartment miliknya, seorang diri, alat komunikasi apapun.
Sakha mengambil tas jinjing kecil yang dibawanya tadi pagi, ada dua pasang pakaian disana. Walaupun dilemari sudah terisi beberapa pakaian baru untuk wanita, ia enggan melirik satupun.
Hunian pilihan Ferdian memang tak sembarangan. Punya dua kamar, ruang keluarga, ruang tamu, yang kesemuanya di design berkonsep nautical. Warna biru dan putih mendominasi interiornya yang merepresentasikan suasana pantai.
Pajangan berbahan pasir, kulit kerang, atau kemudi kapal, menyuguhkan pemandangan yang bisa mengobati kerinduan akan laut lepas.
Kamar utama berhadapan langsung dengan pemandangan ibu kota. Berbatas kaca besar itu, Sakha menikmati suasana malam perkotaan. Dengan pendaran titik lampu dari bangunan-bangunan tinggi menjulang. Bulan penuh menyempurnakan keindahan pemandangan malam ini.
Hanya saja semua itu seakan kontra dengan suasana hatinya. Sakha masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Bang Faisal 'menjual' adiknya sendiri.
Mereka tiga bersaudara, namun hubungan Sakha dengan Bang Arfan justru lebih dulu renggang jauh sebelum Bang Faisal. Karena istri Bang Arfan yang tidak suka dengan keluarga mereka.
Dan setelah pengkhianatan Bang Faisal, maka tak ada lagi orang yang bisa dipercayainya.
Juga Julian, pria yang telah melamarnya sekalipun masih menghilang sampai sekarang. Andai saja Sakha masih tinggal di kota asalnya, mungkin ada Vani yang akan selalu ada untuknya.
Sesaat ia menyesali kepindahan ke Surabaya. Pernikahan jebakan ini pasti tidak akan terjadi kalau ia dan Bang Faisal tak salah memilih tempat memulai hidup baru.
Lelah terus merutuki keadaan, Sakha butuh seseuatu untuk mengembalikan energinya. Ia tidak makan apapun sejak tadi siang.
Segera perempuan itu melangkahkan kaki ke dapur. Mencari sesuatu untuk dimakan lalu mendapati semua kesukaaannya ada di dalam lemari pendingin.
Tiramisu, Red Velvet, Saus Bolognese instan, Manisan Mangga, Jus delima, dan banyak lagi. Bahkan Susu berlogo beruang yang dulu kerap dibawa Sakha ke kampus juga distock banyak oleh Ferdian.
Usai memasak Spaghetti, Sakha memilih duduk di ruang makan dengan segelas jus. Melahap aneka makanan yang telah lama tak ia nikmati. Tahun ini benar-benar sebuah mimpi buruk.
Setidaknya kehadiran makanan enak sedikit menghibur, dan membuat otaknya berkerja lebih baik. Sakha mulai memikirkan bagaimana untuk keluar dari masalah ini.
Bagaimanapun secara agama dia adalah istri sah Ferdian sekarang. Dan Tuhan meletakkan ridha para istri pada suami. Walaupun secara syariat ia benar-benar paham tentang itu, nyatanya perempuan itu bersiap membangkang suami. Karena menjadi istri kedua sama sekali tak pernah ada dalam kamus hidup seorang Sakha.
Seketika perempuan itu menemukan ide untuk membuat list yang harus Ferdian sepakati atas hubungan ini. Karena jelas, lelaki itu berulang kali mengatakan takkan mau menceraikan Sakha dengan alasan apapun.
****
"Apa ini?"
Ferdian kaget saat kembali ke apartemen lalu menemukan secarik kertas yang terselip dibawah Monstera artificial, di meja tamu.
Sakha keluar dari dapur, dengan blouse sederhana miliknya. Raut perempuan itu lebih tenang siang ini dalam balutan khimar instan berwarna hijau.
"Kamu pilih menceraikanku hari ini juga. Atau harus menyetujui poin-poin itu? Waktunya 15 menit, sampai aku selesai di dapur!"
Sakha berbalik badan untuk kembali ke tempatnya memasak Ayam Wuku.
"Eh, tapi aku beli makanan untuk kita. Ini kasihan dong? Jangan masak dulu." Ferdian menunjuk bungkusan makanan yang ia bawa.
"Ogah!"
"Mubazir lho Sa."
"Siapa jamin kamu gak menaruh seseuatu di makanan itu?"
"Emangnya, aku naruh apaan?"
"Bisa aja kan, obat perangsang."
Sakha melenggang begitu saja ke dapur, meninggalkan Ferdian yang gelengkan kepala. Perempuan itu masih saja dengan sikapnya selalu waspada akan kebaikan pria manapun.
Selembar kertas berisi tulisan tangan Sakha kini Ferdian baca dengan seksama. Ada sepuluh poin.
Tentang jadwal berkunjung yang hanya satu jam sehari, tentang tidak boleh membatasi apapun yang istri lakukan. Dan yang buat Ferdian terkejut adalah poin-poin terakhir yang membuat mulutnya menganga.
'7. Suami dilarang memerintah istri apapun. Apalagi harus membawa dalil agama biar istri patuh. Karena saat menjebak seorang perempuan untuk menikah, dengan cara licik, itu juga tidak ada perintahnya dalam agama.'
'8. Dilarang minta nafkah batin, dalam bentuk apapun.'
'9. Dilarang sedikitpun menyentuh istri tanpa izin'
'10. Bila satu point saja dilanggar maka talaq harus dijatuhkan.
Membaca satu persatu poin itu membuat Ferdian merasakan dengung di kepala. Lelaki itu merebahkan punggungnya ke sofa dan menyugar rambutnya kasar. Kesepakan yang Sakha buat benar-benar tak masuk akal.
Bagaimanapun ia harus segera berpikir keras demi melakukan pertahanan. Kalau tak bisa disebut perlawanan.
"Kamu sengaja buat poin ini agar aku menceraikanmu kan?" tanya Ferdian menuju ruang makan. Lalu berdiri dihadapan Sakha yang tengah melahap masakan buatannya sendiri. Perempuan itu tak menjawab sepatah katapun.
Ferdian akhirnya menggeser kursi di hadapan Sakha untuk duduk disana, lalu mencomot sepotong ayam di piring istrinya. "Oke, Aku tanda tangan!"
Sakha mengernyitkan dahinya. Lalu nyaris tersedak saat melihat Ferdian menandatangani kertas itu dengan santainya. Padahal jelas-jelas point tentang bahwa tak boleh menyentuh istri, apalagi minta nafkah batin.
"Tapi aku heran, kenapa di point ini tak ada satupun yang membahas nafkah lahir? Kamu gak perlu uang? Seharusnya kalau kamu minta uang ratusan Milyar, mungkin aku bakal gak sanggup." Sakha merutuki kebodohannya, entah kenapa ia sama sekali tak ingat untuk memeras Ferdian.
"Aku sudah tanda tangani ini, disamping tanda tanganmu. Jadi kamu gak bisa revisi lagi." Ferdian melanjutkan kalimatnya. Sementara Sakha masih bingung kenapa ia bisa salah menyusun taktik perang.
Ferdian kini malah terkekeh, lalu mencomot lagi ayam dari piring Sakha.
"Jangan ambil makanan orang!" Sakha memukul lengan Ferdian sangat keras.
"Aw! Tenagamu masih sekuat dulu ternyata."
Ferdian meringis, ia masih ingat bagaimana dulu rasa sakit saat perempuan itu memukulnya. Sakha belum berjilbab seperti sekarang kala itu, namun bajunya selalu sopan. Satu masa Sakha sudah memperingatkan agar tak boleh mencium pipi. Ferdian nekat, alhasil sebuah tamparan mendarat sempurna.
"Terkait ambil makanan istri, sepertinya tak ada di perjanjian. Jadi terserah aku. Berhubung makananmu lezat sekali, aku akan sering pulang untuk makan siang." lanjut Ferdian.
Lelaki itu meletakkan muka pada kedua tangan yang ia tumpukan diatas meja. Menatap Sakha sangat lama, sambil menarik garis senyum. Ferdian sangat senang bisa melihat sosok yang dicintainya lagi meski, tak bisa menyentuhnya.
"Dilarang lihat istri lama-lama!" ucap Sakha kesal dipandangi terus.
"Tidak ada dalam poin!" ucap Ferdian penuh kemenangan.
( Bersambung )