Bertemu Lagi
Bahasa Inggris bukan mata pelajaran yang Nisa kuasai, gadis manis dengan pipi yang bulat itu masih membutuhkan kamus Oxford yang tebal untuk membantunya mengerjakan tugas. Namun, itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sementara 10 menit bukanlah waktu yang lama.
Jadilah ia di sini, berdiri menghadapi lahan kosong di belakang kelas IPS yang tak jauh dari kantin sekolah. Tangan kanan memegang tempat sampah, ada sarung tangan karet di dalamnya, sementara tangan kiri memegangi surat panggilan orang tua.

“Hhh. Ada-ada aja,” gumam Nisa. 

Ia melepaskan pegangannya pada tempat sampah. Membuat benda itu terguling di tanah, mendekati rumpun rumput liar yang memenuhi lahan tersebut. Bukan hukuman tambahan dengan membersihkan rumput yang membuat Nisa mengeluh, malah senang-senang saja berada di luar saat jam pelajaran. Namun, surat panggilan orang tua, benda ini membuat perasaannya sangat sedih, karena tahu tak akan ada yang datang untuk memenuhi panggilan dari sekolah.

“Gimana kondisi Ibu, ya? Tadi aku pergi gitu aja ... bahkan enggak berusaha buat nahan Ayah supaya enggak mukul Ibu ....” 

Nisa berjongkok, mendekap lututnya dan mencoba menerka wajah sang ibu dalam benaknya. Wanita yang selalu melarangnya melakukan banyak hal, membuatnya merasa kesal dan terkekang. Namun, jika melihat wanita yang melahirkannya itu dipukuli oleh sang ayah, rasanya sangat menyakitkan. Sebab dibandingkan dengan ayahnya, hubungan Nisa dengan ibunya sedikit lebih baik.  Ia hanya tak menyukai ibu saat dilarang untuk melakukan hal-hal yang disukai. 

“Kalo mau cabut rumput, pakai ini dulu. Nanti kena duri, repot.”

“Hah? Apaan?” 

“Ini, sarung tangan ....” Seseorang menyodorkan sarung tangan karet ke depan Nisa, memintanya untuk mengenakan benda itu sebelum mulai mencabuti rumput.

“Em ... Gus, kok njenengan di sini?”

“Gus? Kamu manggil aku dengan sebutan itu?” Gus Rozi cukup kaget mendengar panggilan itu. Pasalnya baru kemarin mereka akrab dan Nisa menanyakan namanya. Otomatis lelaki itu tahu jika gadis yang ada di depannya itu sama sekali tak tahu tentang dirinya.

“Nggih, Gus. Takut kuwalat,” ucap Nisa sambil menunduk takut.

“Ish, selalu deh gitu kalo ada yang manggil dengan sebutan gus.” Pandangan Gus Rozi menerawang, rasanya berbeda jika berbicara dengan orang yang tak mengenalnya.

“Lha? Saya harus panggil apa?”

“Panggil Rozi aja, gak usah pake embel-embel Gus.”

“Takut kuwalat.”

Gus Rozi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Kan aku yang minta. Kamu ngapain di sini?”

“Dihukum. Kamu dihukum juga?” tanya Nisa dengan pandangan menyelidik.

“Enak aja, aku ke sini karena lagi jam kosong. Pas kuliat dari jendela, ada kamu. Ya udah aku ke sini daripada di kelas gabut.”

Nisa menoleh ke kiri, tempatnya sekarang memang dekat dengan ruangan kelas. Tak langsung bersebelahan, namun dari jendela paling belakang, bisa dilihat lokasi mereka saat ini. Hanya saja ia sama sekali tidak menyangka jika itu adalah kelasnya Guz Rozi. Sama seperti ia yang selama ini tak tahu ada lelaki itu yang sekolah di sini. 

Entahlah, mungkin karena Nisa yang memang tak peduli dengan lingkungan sekitarnya, sehingga siapa anak populer, siapa anak kesayangan guru, ia tak tertarik untuk mengetahuinya. 

“Gurunya ke mana?”

“Ada masalah sedikit. Biasa, efek negatif media sosial. Jadi, para guru rapat mendadak, supaya bisa menentukan sanksi yang tepat untuk kasus ini.”

“Emangnya ada kasus apaan?”

“Ada lah, nanti juga tahu."

Alih-alih langsung menjawab, Guz Rozi malah main rahasia.  Ia ikut berjongkok di sebelah Nisa, lalu mencabut rumput yang paling dekat dengan kakinya.

“Eh, kok enggak pake sarung tangan? Lagian kenapa kamu ikutan cabut rumput? Yang dihukum kan aku?”

“Enggak apa-apa, tangan lelaki lebih tebel dibanding cewek ... memangnya enggak boleh kalo aku pengen bantu? Kan kubilang aku lagi gabut.”
Gus Rozi menolak sebelah sarung tangan yang Nisa sodorkan, tak membutuhkan benda itu. Nisa lebih membutuhkan keduanya karena tangannya bisa saja terluka, ilalang pun cukup tajam untuk meninggalkan luka lecet. Sementara dia sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini.

“Eh, kamu murid baru, ya?”

“Enggak kok, kenapa emangnya?”

“Soalnya aku baru liat kamu kemarin.”

“Ahh, kamunya aja kali yang jarang keluar kelas. Enggak ikut ekskul apa pun? Atau malah kamu yang anak baru?”

Nisa menggeleng untuk kedua pertanyaan itu dan Guz Rozi terlihat maklum, juga sedikit takjub karena bisa-bisanya satu sekolah, tapi tak familiar dengan wajah murid yang bisa saja berpapasan walau tak saling kenal sekalipun. 

“Nisaaaa! Aku mau bantuin kamuuu ... eh.” Maria menghentikan kalimatnya saat menyadari jika Nisa tak sendirian di tempatnya dihukum. Juga tak terlihat sengsara karena hukuman itu, malah terlihat senang dan baik-baik saja. Ditemani lelaki paling populer di sekolah.

======

Like dan komentar jangan lupa yaaa. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!