Kepercayaan itu seperti cermin. Jika telah retak, tidak akan pernah utuh lagi seperti semula"
===================
Sepasang anak manusia duduk saling berhadapan. Tak satu pun dari keduanya mengeluarkan suara. Bahkan kopi yang tersaji tak lagi mengepulkan uap panas, hanya menjadi saksi bisu dua orang yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.
Arsen beberapa kali melirik wanita di hadapan. Akan tetapi, yang menjadi objek pandangan hanya menunduk sambil meremas jemari yang terjalin di atas pangkuan. Ingin rasanya merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan, mengusap punggungnya lembut sambil mengucapkan kata-kata penenang.
Namun, semua kini haram dilakukan. Amarah yang menguasai diri, telanjur berkuasa atas lidah yang tak bertulang. Hari itu, satu kalimat laknat telah keluar dari mulut sang pria. Kalimat yang dia haramkan sejak pertama kali mengikat Lintang dalam hubungan suci pernikahan.
Pernikahan yang dibangun dengan susah payah, tertatih, dan penuh derai air mata, kandas dalam satu malam. Lima tahun perjuangan hancur begitu saja tak bersisa, porak-poranda karena hati Arsen berpaling kepada raga yang lain.
"Maafkan Mas, Lintang ...," lirihnya seraya menatap wanita yang masih dia cintai hingga detik ini.
Sang wanita mengangkat kepala, senyum getir melengkung saat manik keduanya beradu. Begitu mudah Arsen mengucap kata maaf setelah melukai dengan sangat dalam. Wanita itu tak pernah mengira, pria yang dia cintai melebihi dirinya sendiri, tega menikam dari belakang, bermain hati dengan wanita yang telah dia anggap saudara sendiri. Seorang janda korban kekerasan rumah tangga yang dia selamatkan dari kelaparan, memberi tempat berteduh dari panas dan hujan. Akan tetapi, justru wanita itu menggigit tangannya, mencuri pria yang jelas berstatus suaminya.
Masih segar di ingatan Lintang beberapa hari yang lalu. Cemas menggelayuti hati wanita berkulit putih pucat itu, sejak pagi Anita--nama wanita yang merebut suaminya--tidak menjawab telepon darinya. Padahal sebelumnya dia mengeluh demam dan muntah-muntah. Satu tahun mengenal Anita, dia sangat paham jika wanita itu menderita maag akut. Kebiasaan menunda makan dengan alasan bekerja menjadi penyebabnya.
Beberapa kali menelpon Arsen, bermaksud agar sang suami mengecek keadaan Anita sebelum pulang bekerja. Akan tetapi ponsel pria itu tidak aktif. Didorong rasa kuatir dan peduli, Lintang mengemudikan sepeda motor maticnya menembus langit yang mulai bergerimis.
Lima belas menit waktu yang dia tempuh menuju rumah Anita. Rumah yang ditempatinya adalah rumah peninggalan almarhum kedua orang tua kandung Lintang. Rasa ibalah yang membuatnya mengijinkan Anita menempati rumah tersebut, selain peduli pada keadaannya, Lintang rasa tak ada salahnya membiarkan wanita berkulit putih itu merawat rumah bersejarah tersebut. Rumah tempat dia dilahirkan, sekaligus saksi atas kelamnya masa kecilnya dulu.
Dahi Lintang berkerut ketika melihat mobil Terios putih terparkir di pekarangan rumah minimalis tersebut, terlihat kontras dengan rumah yang bercat hijau pupus. Apalagi saat melihat pintu rumah yang tertutup rapat. Lintang sangat hapal pemilik mobil itu, sebuah prasangka buruk menhampiri benaknya. Akan tetapi, segera dia menghapus kemungkinan tersebut. Mungkin Arsen memang sengaja singgah, karena Anita salah satu karyawan di percetakan milik mereka.
Menekan ke bawah gagang pintu yang tidak terkunci, Lintang masuk dengan langkah ringan. Namun, saat dia berbelok ke arah dapur, sebilah pedang segera menancap di ulu hatinya. Tubuh wanita itu beku, paru-parunya menolak menghirup oksigen, karena udara di sekitarnya seolah berubah menjadi butiran kaca, melukai hidung dan membuat perih.
Mata Lintang memanas melihat adegan di hadapan. Di sana, Arsen memeluk tubuh ramping Anita dari belakang, sesekali menggoda dengan menggigit cuping telinga sang wanita. Anita pun tak menampik perlakuan sang pria. Wanita itu malah tertawa seolah menikmati godaan pria yang masih berstatus suami Lintang.
Tak ada canggung dalam interaksi keduanya, seperti dua sejoli yang saling mencintai, membuat Lintang sadar jika pengkhianatan itu telah terjadi cukup lama di belakangnya. Mata wanita itu memanas, mendorong cairan bening keluar dari sudut matanya. Tak pernah dia mengira sang suami tega mencuranginya dengan orang yang sangat dia percaya. Kejam sekali ....
Tak kuat melihat kenyataan yang tersaji di depan mata, Lintang surut beberapa langkah. Tak sengaja pinggangnya menyenggol pinggiran meja, membuat vas bunga yang ada di atasnya jatuh dan menciptakan suara berisik, yang tentu saja mengejutkan kedua pasangan yang tengah dimabuk asmara.
Mata Arsen segera menangkap sosok Lintang yang terpaku pada pecahan vas yang berserak di lantai. Refleks dia melepaskan dekapan pada tubuh Anita. Wajah pria itu pucat pias, pun Anita. Keduanya terlihat serba salah persis seperti pencuri yang ketahuan mencuri. Ya ... tanpa perasaan tega mengkhianati kepercayaan yang ditanam Lintang.
"S-sayang ... ini ngga seperti yang kamu lihat," ucap Arsen terbata. Dia maju berusaha merengkuh tubuh sang istri yang masih bergeming.
Namun, Lintang menepis kasar tangan sang suami sambil surut selangkah. "Aku belum buta, Mas. Mataku masih bisa melihat dengan jelas," sahutnya rendah dengan suara bergetar menahan tangis.
Arsen menggeleng cepat, dia kembali berusaha meraih tubuh Lintang paksa, meski wanita itu memberontak. Pelukan pria tersebut mengetat seiring kuatnya penolakan sang istri. Akan tetapi, sakit yang telanjur tersayat di dalam dada membuat kekuatan wanita itu meningkat berkali-kali lipat. Lintang mendorong tubuh Arsen, hingga pelukan sang pria terlepas. Sebuah tamparan beruntun dia layangkan ke kedua pipi sang pria, sangat keras, bahkan mengejutkan dirinya sendiri.
"Tega kamu, Mas! Apa salahku hingga kau berbuat sekejam ini?!" tanyanya dengan intonasi tinggi, air matanya menggenang di pelupuk mata, tetapi sekuat tenaga ditahan agar tidak jatuh di pipi.
"Aku ... aku bisa jelasin, Sayang," lirih Arsen yang memegangi pipinya yang memerah.
Terdengar tawa sumbang dari bibir tipis Lintang, tak urung air matanya jatuh juga. "Tak perlu menjelaskan apa pun. Semua sudah benderang bagiku." Pandangan Lintang beralih pada Anita yang hanya diam tak bergerak. Mungkin saja wanita itu sedang tertawa di dalam hati melihat drama di depannya.
"Dan kau, tega sekali menusukku dari belakang. Padahal aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri, tetapi justru kebaikanku kau balas dengan pengkhianatan. Apa salahku padamu?!" raung Lintang menatap nyalang.
Anita berdiri dengan gelisah. Tatapan Lintang seolah******dirinya. Dia meneguk ludahnya beberapa kali, dia tercekat, lidah wanita itu pun ikut kelu tak mampu menjawab pertanyaan Lintang.
Tak mendapat jawaban dari Anita, membuat amarah Lintang semakin berkobar, langkahnya cepat menyongsong wanita tersebut. "Katakan! Berapa lama kau tidur dengan suamiku?! Berapa lama kalian berzina?!" Dada Lintang turun naik menahan murka yang mendesak ingin keluar. Laksana gunung Merapi yang sedang erupsi, bersiap memuntahkan magma yang ditahan di perut bumi.
"Maaf ... aku mencintai Mas Arsen," jawab Anita lirih sembari menatap Lintang yang seolah sedang bermetamorfosis menjadi Dewi Amba, yang siap membakar dunia dengan amarahnya.
Alih-alih tenang, jawaban Anita seperti bensin yang mengobarkan api yang sudah tersulut di dalam dada. Lintang menjambak rambut panjang Anita yang tergerai, mengumpat, dan menyumpahi wanita yang berteriak kesakitan memanggil nama Arsen. Sang pria kalut melihat pemandangan di hadapan. Pergumulan itu melibatkan dua wanita yang sama-sama dia cintai. Gegas dia memisahkan dengan menyela di antara keduanya. Gerakan brutal Lintang, membuat pria itu memilih melindungi Anita yang terlihat tak bisa mengimbangi amukan sang istri. Tanpa sengaja tubuh Lintang terdorong, hingga terjajar ke dinding, sementara Arsen refleks menahan tubuh Anita yang limbung agar tak luruh ke lantai.
Melihat itu, Lintang hanya terdiam sambil menatap lantai marmer putih yang dipijaknya. Sang suami lebih memilih menyelamatkan selingkuhannya dari pada membela dirinya. Air mata wanita itu jatuh begitu saja, tetapi segera dia susut dengan kasar menggunakan telapak tangan, tak ingin terlihat lebih menyedihkan lagi.
"Sayang ...," kata-kata Arsen terjeda melihat sorot sang istri yang menajam.
"Jangan pernah lagi memanggilku seperti itu dari mulut busukmu ...," desis Lintang, sementara tangannya sibuk menghapus air mata yang terus saja jatuh membasahi pipi, "sudah berapa lama kalian bermain di belakangku?"
"Sayang, aku--"
"Jawab saja berengsek!" jerit Lintang terdengar parau, seolah menyuarakan luka hatinya.
Arsen menganjur napas dalam dan panjang, sementara rasa bersalah jelas tercetak di rautnya. "Delapan bulan yang lalu," lirihnya.
Air mata Lintang semakin deras meluncur membasahi pipi. Delapan bulan yang lalu artinya ... keduanya telah menusuknya saat dia sedang berjuang, di antara hidup dan mati kala melahirkan putri mereka.
Bersambung