.
Tanggung jawab? Jadi, dia orangnya!
Tanpa sadar, tanganku meremas stir. Sekilas melirik ke arah lampu hijau yang telah menyala. Menahan telinga yang terasa
berdengung karena mulai terbakar emosi, mendengar pemuda itu terus meneriakkan nama Manda.
Gadis itu terlihat makin resah. Menyadari, mobil telah meluncur bersamaan dengan kendaraan lain. Sementara, pemuda itu
pontang-panting menyelamatkan tubuhnya dari bodi-bodi motor dan mobil yang melewatinya.
Dari kaca spion, kulihat dia menyalakan motor lalu mengejar di belakang.
Di sampingku, Manda menyandarkan diri. Mengembuskan napas lega sambil memejamkan mata. Seolah baru terbebas
dari bahaya. Padahal, dia hanya tidak sadar, aku membelokkan mobil ke sebuah gang yang tak ramai. Lalu mobil berhenti sedikit
menyilang. Detik berikutnya, motor yang dikendarai pemuda itu ikut berhenti.
Manda mendelik kaget menoleh ke arahku.
"Abang?"
"Jadi, dia yang harusnya bertanggung jawab?" desisku. Tanpa menunggu jawabannya, aku bergerak membuka pintu.
Tepat pada saat pemuda itu ingin menghampiri Manda. Aku menyambar kerah bajunya. Hampir melayangkan tinju, kalau
saja tidak kurasakan pelukan Manda dari belakang.
"Abang, jangan!"
Pemuda itu tak lagi tergapai. Dia mundur beberapa langkah. Ekspresi wajahnya menandakan kebingungan dan sedikit ciut
nyali. Dia mengangkat tangan lalu bicara terbata.
"Sorry, Bang. Gue gak niat ganggu kalian. Gue cuma mau nanya, kenapa Manda tiba-tiba berhenti sekolah dan pilih nikah. Apa gara-gara kasus ama Bu Anjar waktu itu? Kalo memang bener karena masalah itu, gue minta maaf. Itu semua salah gue."
Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada, membentuk sebuah isyarat tulusnya permohonan.
Aku menoleh ke arah Manda yang telah melepaskan pelukannya. "Kasus apa?" Dahiku mengernyit.
"Tugas sains, Bang," jawab pemuda itu.
Lalu dia menjelaskan tentang tugas anak sekolahan yang sama sekali tak penting buatku. Diakhiri dengan permintaan maaf dan tatapan entah ke arah Manda.
"Lo cewek pinter di kelas, bahkan di sekolah, tapi kenapa ...."
Aku meraih kepala Manda dan membawanya ke dalam dada. Agar tak terlihat tetesan air yang mulai menggenangi matanya. Lalu menatap datar wajah pemuda itu. Isyarat agar dia segera pergi.
Sekali lagi, dia mencoba menemui tatapan Manda. Tapi, gadis itu tetap diam tanpa melihatnya. Hingga akhirnya, pemuda itu
mengembuskan napas menyerah sebelum kembali ke motor yang terparkir asal.
"Kami semua kangen lo, Amanda," ucapnya sebelum menyalakan mesin. Lalu meluncur dengan kecepatan tinggi.
Seperti coba melampiaskan kekecewaannya.
Hening. Tinggal kami berdua. Telapak tangan Manda mencengkeram lenganku erat.
Ternyata dia hanya merasa malu bertemu teman sekolah tadi. Aku mengusap rambut. Lalu membimbing gadis itu kembali masuk ke dalam mobil. Kemudian meluncur menuju rumah orang tua Manda untuk mengambil
beberapa barang.
***
Rumah itu tampak sepi. Hanya ada seorang asisten yang sedang menyiangi tanaman hijau di taman halaman.
Manda membuka pintu mobil dan langsung menghambur masuk ke rumah. Seperti sangat merindukan tempat kelahiran.
Aku mengikuti dengan langkah santai di belakang. Meski tetap saja ada rasa kurang nyaman atas kesalahpahaman yang pernah terjadi.
"Non Manda," sapa sang asisten rumah tangga, begitu tahu siapa yang datang.
"Mama ada, Bik?" Manda bertanya.
"Nyonya lagi keluar, Non. Ke rumah Nyonya Marissa." Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu memberitahu.
Manda mengangguk.
"Ayo masuk, Non, Pak." Dia mempersilakan aku dan Manda.
Nona dan Bapak. Yah, kedengarannya bagus juga. Aku mengangkat alis.
Manda mengajakku masuk untuk mencari barang-barang yang ingin diambil oleh gadis itu. Melewati ruang tamu dan ruang tengah yang cukup luas. Aku sekilas menoleh ke dinding dan mendapati foto keluarga besar Manda. Wajah-wajah yang hampir semuanya belum kukenal.
Gadis itu berdiri di depan pintu sebuah kamar bercat putih. Sementara, aku tetap di belakangnya, begitu pun saat ia melangkah masuk.
Pintu terbuka. Baru sekarang aku masuk ke kamar ini. Selama seminggu tinggal di sini, kami memang tidur di kamar tamu karena ranjangnya lebih lebar.
Wangi pengharum ruangan seketika menyergap indra penciuman, membuat pikiran terasa lebih fresh. Kamar itu menggambarkan ruangan pribadi seorang gadis ceria.
Dindingnya warna pink lembut. Beberapa poster K-Pop terpasang berjajar di sana. Ada sejumlah catatan warna-warni yang ikut menempel. Bahkan di pintu lemari pakaian.
Dan ... ya, ranjang itu memang hanya untuk satu orang. Bersprei bunga dengan boneka-boneka berbagai ukuran di sisi kepalanya.
Bisa kubayangkan betapa sempurna hidupnya sebelum ini. Mengingatkanku, saat kami melakukan video call di suatu hari.
Dia duduk di depan meja belajar, ranjang penuh boneka itu menjadi background. Tawanya begitu ceria saat menggodaku.
"Dih, Abang baru bangun tidur, ya?" ledeknya.
Aku mengusap rambut, sesaat membenamkan wajah di bantal menghilangkan kantuk. Lalu kembali menatap wajah cantik yang tengah menatapku dari layar. "Ngapain VC pagi-pagi?"
"Bangunin Abang, wleee!" Dia mencibir. "Dasar pemalas. Udah jam sepuluh, nih!"
"Kan libur, rese' juga nih anak," gumamku.
Tawanya berderai.
Tapi sepasang mata itu mendelik saat menyadari aku membawa hape ke arah mana.
"Abang! Mau ngapain?"
"Pipis."
"Aaaa!" Lalu VC-nya terhenti. Setelah itu Manda tak pernah VC lagi.
Aku menyunggingkan senyum mengingat kejadian itu. Baru terjadi sekitar tiga bulanan yang lalu. Kemudian menghela napas. Menyadari, gadis yang sekarang sedang berdiri lama di depan lemari pakaiannya ini sudah menjadi sosok yang berbeda.
Perlahan ia memang mulai berbeda. Hanya dalam waktu tiga bulan. Ah, kadang, hidup memang selucu itu.
Aku menarik diri dari dinding dekat pintu yang tadinya kusandari. Berjalan ke arah gadis itu untuk tahu apa yang tengah dipandanginya.
"Udah ketemu yang mau diambil?" tanyaku agar ia berhenti menatap kosong ke dalam sana.
Dia masih diam. Lalu tangannya terulur ke arah tumpukan pakaian yang tampak rapi. Membelai pelan seragam sekolahnya. Penuh kerinduan.
"Yang mana aja yang mau dibawa? Biar Abang bantu beresin."
Aku menarik jemarinya dari seragam itu.
Dia menoleh. Lalu mengalihkan pandangan berkeliling ruangan. Mencoba memutuskan barang apa saja yang ingin dibawa.
Aku tahu itu hanya alasan. Dia hanya merindukan kamarnya.
Dia ingin pulang. Menghirup udara di tempat yang biasa memberinya kenyamanan. Mungkin juga ingin mengulang waktu. Ingin menghapus segala kesalahan yang telah membuat hidupnya harus jadi sepahit ini.
Aku tahu. Begitu sedih perasaannya. Terlihat dari bagaimana ia naik ke atas ranjang, lalu meringkuk sambil memeluk salah satu boneka kesayangan.
***
Amanda tetap menyimpan nama itu rapat. Yang kutangkap, dia benar-benar ingin melupakan ingatan tentang ayah calon bayinya. Sementara, aku tak berani mengetuk kenangannya meski sangat ingin. Aku tidak tega.
Jadi, aku berusaha menenangkannya, dengan caraku.
"Abang, aku gendutan, ya?" Manda bertanya saat keluar dari kamar. Mengenakan kaos ketat dan celana pendek. Dia menunduk, memandangi bentuk badannya sendiri.
Aku yang sedang duduk di depan TV menatapnya selama beberapa detik.
"Gak."
"Bohong!"
"Kok bohong?"
"Orang aku nimbang beratnya udah nambah dua kilo."
"Teteknya memang gedean sekarang."
"Abang, ish! Jorok banget ngomongnya!" Lalu dia melempari dengan bantal sofa. Aku tertawa sambil menahan semua pukulannya.
Ada hal baru yang mulai membiasa akhir-akhir ini. Bicara dengan seseorang di rumah. Pulang dari kantor, ada yang berdiri di depan pintu.
Menunggu.
Aku bukan orang yang suka bicara. Mencintai kesendirian malah. Tapi, sekarang suasananya begitu berbeda.
"Abang marah?"
"Kenapa?"
"Kok, diem aja?"
"Kamu, kan, gak nanya."
"Masa harus aku terus yang tanya?"
Aku memutar bola mata.
Sekilas, kami terlihat seperti pasangan muda yang bahagia. Sama-sama menyukai malam.
Hampir setiap malam duduk di bawah langit sambil menatap taburan bintang. Mulai menjadikannya rutinitas keseharian.
Rumahku memang tidak berada di daerah padat penduduk. Meski juga tidak terlalu sepi. Minim penerangan lampu jalan justru memperkuat cahaya bulan dan bintang di malam hari.
"Abang bisa main gitar?"
"Memang ada yang Abang gak bisa?"
Dia mendelik. Aku tertawa kecil sambil mulai memetik-metik senar gitar di pelukanku. Menit berikutnya mulai menyanyikan sebuah lagu. Young, Dumb and Broke by Khalid.
We have so much in common
We argue all the time
You always say I'm wrong
I'm pretty sure I'm right
What's fun about commitment?
When we have our life to live
Yeah, we're just young dumb and broke
But we still got love to give
While we're young dumb
Young, young dumb and broke
Young dumb
Young
Young, dumb, broke highschool kids
Di bangkunya, Manda termenung. Menatap jemariku yang lincah memetik gitar dan mendengarkan suara yang sedikit serak saat menyanyikan lagu.
Hingga di lirik terakhir.
"Young, dumb, broke highschool kids ...." Manda mengulang.
Miris. Menyindir kehidupan remaja yang harus dijalaninya saat ini.
"Masa remaja. Masa di mana semua terlihat salah. Orang tua jadi gak sesempurna seperti yang dipikirkan. Mulai sadar, ada yang namanya teman bertopeng. Mulai paham, bahwa gak semua rasa yang kita beri harus terbalas. Mulai tahu, bahwa gak semua senyum berasal dari rasa bahagia." Aku berucap dengan penuh keyakinan, bicara pada diri sendiri tepatnya.
"Mulai dihadapkan kenyataan, bahwa orang jahat itu memang ada." Manda menimpali.
Hening. Petikan gitarku terhenti.
"Abang."
"Hmm?"
"Abang tau nggak."
"Apa?"
"Kadang, aku pengen banget keguguran ...."
Tak hening lagi. Dia menangis terisak-isak dengan nada yang
terlalu menyedihkan untuk didengar.
***