CD Siapa Ini?

MENYESAL PASCA KEHILANGAN (3)


Usai mengecek email, aku keluar hotel berniat membeli makanan. Setelah kembali, kulihat Istriku sedang meringkuk di atas sofa dengan sebuah ponsel di genggaman tangannya. Ia baru saja selesai mandi, terbukti dari kimono putih yang membalut tubuh sintalnya.


Aku meletakkan bingkisan yang berisi makanan tadi ke nakas. Lantas, mengambil alih ponsel dari genggaman Ima. 

Dengan lembut, kuangkat tubuh Ima menuju peraduan. Meletakkannya pelan-pelan, kemudian menarik selimut sampai pinggang. Masih dalam mode kehati-hatian, kukenakan pakaian ke tubuh Ima, takut ia masuk angin dan jatuh sakit. 

Setelah selesai, aku pun ikut berbaring di sampingnya. Menghirup dalam-dalam aroma sampo yang menyeruak dari rambutnya. Aroma yang kini menjadi candu baru bagiku.

Kubawa tubuh Ima dalam dekapanku. Seiring dengkuran halus itu mataku terasa berat. Perlahan tapi pasti aku mulai terbuai dalam mimpi.

***


Aku menyeruput kopi sembari mengamati wanita yang kini berstatus istriku. Nampak Ima membaluri tubuhnya dengan krim seraya bersenandung kecil. Dengan sangat hati-hati wanita itu mulai melukis alis sesuai keinginannya. Setelah selesai, barulah Ima memoles bibir tebalnya itu dengan lipstik merah menyala. Perfect.


Aku menepuk sisi kosong di sebelahku, lantas menyuruh Ima untuk mendaratkan pantatnya di sana. Pikiranku tak bisa lepas dari c*lana d*lam pria yang ku temukan tadi pagi. Jika benar barang laknat itu Ima beli untukku lantas kenapa hanya sebiji. Apalagi ukurannya tak cocok dengan yang biasanya kupakai. 

“Mas,” 

Kurasakan jemari lentik Ima perlahan mengusap lengan kiriku. Sesaat aku pejamkan mata, menikmati sentuhan Ima yang memabukkan. Aku mati-matian menahan sesuatu yang tengah meronta di sana. Sabar, Kara ini bukan saatnya.

“Im, Mas pengen tanya sesuatu?”

“Tanya aja Mas,” jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata. Ima sedikit mencondongkan tubuhnya, kemudian mencium pipiku. Bagaimana mungkin aku bisa marah jika sikapnya begini. Belum apa-apa aku sudah luluh. 

****


Aku menarik napas berkali-kali, memberi jeda sebelum mulai merangkai kalimat. 

“Ima, mas menemukan dal*aman pria dalam belanjaanmu. Sejak kapan belanja perhiasan dapat c*lama d*lam pria?” tanyaku menunjukkan barang laknat itu pada Ima.  Sontak mata Ima terbelalak, napasnya yang semula teratur kini seakan berhenti berhembus. 

Terlihat dari gestur yang Ima tunjukkan nampak gelisah. Raut wajahnya yang semula menggoda kini mendadak pucat. “Hmz, Mas itu— itu—”

“Itu apa Ima?” 

“Yah itu— aku lupa mengabari teman-temanku, Mas, jika hari ini aku tak bisa datang karena sedang bulan madu,” elak Ima mengalihkan topik pembicaraan. Dari sorot matanya saja aku sudah melihat kebohongan yang tengah Ima tutupi. Aku memang baru menikah dengannya, tapi hubungan kami sudah di mulai sebelum pernikahan ini terjadi.

Aku tahan lengan Ima saat hendak bangkit dari duduknya. Tatapanku yang teduh kini berubah menusuk. Barang lakn*t itu telah mengotori kinerja otakku. Suami mana yang tak curiga ketika menemukan barang seperti pribadi pria  di belanjaan sang istri. Apalagi barang itu bekas pakai. Wajar bila pikiranku melayang kemana-mana. 

“Mas, lepaskan!” 

“Jawab dulu pertanyaan mas, Ima. Jangan menghindar,” 

“Siapa sih yang menghindar, mas. Aku beneran gak tau dalaman itu milik siapa Mas. Sumpah Mas, kemarin aku shopping,”

“Suwer, aku gak bohong.” lanjutnya. Tanpa basa-basi aku melepas cengkramanku dari tangannya. Nampak Ima meringis, matanya berkaca-kaca. Ia mengusap pelan lengannya yang memar akibat ulahku. 

“Kamu jahat Mas!” 

“Kamu bilang aku jahat. Aku hanya butuh jawaban yang keluar dari mulutmu, Im. Aku tanya baik-baik. Dari mana kamu dapatkan barang laknat itu? Kenapa bisa sampai ada di belanjaanmu? Apa susahnya sih tinggal ngomong jujur,”

“Aku kan udah bilang, aku gak tau mas! Kamu aja dasarnya udah gak percaya sama aku! Aku ini istrimu loh mas, gak bisa dong kamu giniin aku.” teriak Ima lantang, sontak perkataannya itu memancing tanganku melayang di pipinya.

Aku yang sudah tersulut emosi lantas meninggalkan Ima begitu saja. Sepertinya aku harus mencari tau sendiri perihal masalah ini. Jika mengandalkan mulut Ima berkata jujur rasanya tak mungkin. 


***


1jam yang lalu Wisma mengirim pesan singkat, mengajakku bertemu. Katanya ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Dan kini aku sedang menunggunya di restoran dekat Bubble Hotel Ubud. 

Aku merasakan ada yang menepuk pelan pundakku. Seketika aku menoleh. Nampak Wisma menarik kursi, kemudian mendudukkan pantatnya di sana. Ia menatapku dingin.

“Gue minta sekarang elo balik ke Bandung.” sontak aku tercengang. Apa telingaku tak salah dengar? Lelaki berambut cepak itu menyuruhku kembali ke Bandung. Secepat ini? Aku dan Ima bahkan baru semalam di sini. 

“Elo dah gila, gue lagi bulan madu bro. Gue gak mau bikin bini gue kecewa.” aku geleng-geleng kepala, menolak mentah-mentah permintaan Wisma. Aku tau Wisma ikut ambil adil dalam kesuksesanku. Di masa dulu, di saat aku tak punya sepeser uang pun Wisma datang dan mempercayakan salah satu perusahaannya padaku. Itu semua wisma lalukan karena tau, sahabatnya itu menikah denganku. Yah, Wisma adalah sahabat Rini. Bisa ku bilang Wisma orang terdekat Rini sewaktu mereka tinggal di panti asuhan dulu.

Detik itu juga Wisma bangkit dan menatapku tak percaya. “Elo yang gila! Rini sedang sakit, Kar dan elo masih mikirin soal bulan madu. 

Elo tau gak kalau Rini tanyain elo, Kar. Sepanjang malam Rini terus manggil elo, dia berharap elo ada disampingnya dan meluk dia.”

Seketika aku merasa ada batu besar yang tengah menghimpit dadaku. Jantungku seakan berhenti berdetak. Duniaku runtuh dalam sekejap. Tak cukup hanya kalimat itu, Wisma kembali merangkai kalimat menohok yang ia lontarkan padaku.

“Rini terluka Kar, dia nungguin elo kembali. Pulang Kara sebelum elo nyesel. Gue jamin gak akan elo temukan cinta setulus Rini. Dia wanita baik-baik elo aja yang gak bersyukur. Nih gue udah beliin elo tiket,” ucap Wisma seraya meletakkan tiketnya di telapak tanganku. Nampak, binar matanya penuh harap.

Ada apa sebenarnya dengan Rini? Bukannya kondisinya sudah berangsur membaik? Tadi malam mbok Jum bilang demamnya sudah turun. Ah, ini pasti akal-akalan Rini meminta Wisma untuk menemuiku. Secara Rini cemburu melihatku lebih sering menghabiskan waktu dengan Ima ketimbang dengan-nya. Dasar pencemburu! Tak bisakah wanitaku itu membiarkan aku bahagia sebentar. 

***


Aku merobek tiket yang di beri Wisma menjadi berkeping-keping, lalu membuangnya di hadapan Wisma. Tanpa basa-basi Wisma mendaratkan bogeman mentah ke wajahku. 

Aku meludah di bawah kakinya seraya tersenyum sinis. Wisma terlalu ikut campur rumah tanggaku. Atau jangan-jangan lelaki ini sudah jatuh hati dengan Rini. Awas saja kalau sampai Rini memiliki hubungan lebih dengan Wisma. 

“Elo bener-bener keterlaluan, Kara! Demi wanita ular itu elo lupain Rini. Elo abaikan dia. Elo biarin sahabat gue ngemis-ngemis cuman untuk elo peluk. 

Oke, gue gak akan maksa elo lagi. Gue anggap ini keputusan yang elo ambil. Mungkin gak sekarang Kara, tapi nanti ketika elo mulai kehilangan sosok Rini dalam hidup elo. Ketika elo sadar cinta yang elo miliki untuk Ima itu semu, transparan dan gak akan bertahan lama. Setelah itu, gue gak bisa jamin elo bakalan se-pede ini.”

“Elo tau? Rasa yang paling menyakitkan itu bukan hanya soal kehilangan, Kara. Tapi penyesalan, penyesalan yang tanpa elo sadari elo udah tempatin diri elo di sana. Kara, rumah tangga bukan hanya soal anak. Bukan pula soal materi. Buka juga soal cantik atau tampan. 

Rumah tangga itu saling berjuang, Kara. Saling bermimpi di atas tujuan yang sama. Saling menggenggam kala badai menghantam. Saling setia. Harusnya itu yang elo lakuin sekarang! Saat elo tau rumah tangga elo dalam kondisi darurat harusnya elo bertahan. Bukannya hanyut dan ikut bermain di sana. Anak itu rezeki Kara, kalau alasan elo berpaling untuk itu. Elo salah besar! Jika Tuhan belum memberi elo bisa kan bersabar, berdo'a. Gak harus berpaling!

Sekali lagi, kalau elo cari yang sempurna elo gak akan pernah temui itu di manapun, karena setiap orang punya kekurangannya masing-masing. Dan yang perlu elo lakuin sekarang, elo cukup sempurnakan apa yang ada.”

“Maksud elo apa?”

“Elo pikir sendiri pakai otak!”

Next?



Komentar

Login untuk melihat komentar!