"Kak, dipanggil Pak Heri tuh ke ruangannya," seru Yumna.
Karina bergegas masuk.
"Ya, Pak? Bapak memanggil saya?"
"Tolong ambilkan berkas meeting untuk nanti siang lalu taruh di meja saya."
"Baik, Pak."
Perempuan itu hendak keluar namun berbalik karena tiba-tiba namanya dipanggil lagi.
"Tunggu. Sekretarisku sedang cuti, kalau begitu, kamu yang menemani saya meeting jam sebelas nanti."
"Baiklah, Pak."
Pukul sebelas siang Karina duduk di samping Pak Heri. Laki-laki jangkung yang merupakan manajer di perusahaan ini yang tampak ramah.
"Siap-siap pulang sore ya. Kalau nanti klien kita berhasil memperpanjang kerjasama dengan perusahaan, kamu kuberi bonus."
"Terima kasih, Pak," sahut Karina senang.
Perjalanan mereka cukup jauh karena klien yang akan didatangi meminta meeting diadakan di Bogor.
"Hm, maaf, mau bertanya soal pribadi boleh?" tanya lelaki yang usianya kisaran tiga puluh lima itu.
"Tanya apa ya, Pak?"
"Di CV kamu, tertera kalau memiliki tiga anak tetapi saya juga lihat kalau status single. Apakah ...?"
Karina terdiam. Pandangan Pak Heri terlalu menyelidik. Ia jengah.
"Maaf ya, pertanyaan saya terlalu pribadi. Kalau kamu tak mau menjawab juga tak apa-apa." Akhirnya lelaki itu diam.
Karina mengangguk hormat.
Pertemuan yang dijanjikan bersama klien itu berlangsung cukup pelik. Pak Heri kewalahan menghadapi klien yang cukup cerewet menanyakan sistem bagi hasil yang stuck. Mereka meminta kenaikan, sedang ia tahu, naik prosentase sedikit saja, akan bisa merugikan perusahaan.
Namun, berkat bantuan Karina, klien dapat diyakinkan bahwa kerja sama mereka ke depannya akan lebih prospektif. Tak terasa meeting berakhir pukul lima sore. Mereka berjabat tangan dan pulang. Pak Heri segera mengajak Karina masuk ke mobil.
"Huf, pandai juga kamu bernegosiasi," puji Pak Heri menyandarkan badan ke sandaran mobil. "Aku biasanya dibantu oleh Chelsea, tapi tadi pagi tiba-tiba saja minta ijin karena orangtuanya sakit."
Karina tersenyum. Dalam hati, ia berpikir sang manajer ini orang yang baik dan tidak suka macam-macam.
Ia ingat saat pertama berjumpa lelaki itu. Ia berdiri dengan sopan di depan meja Heri yang tengah memperhatikan berkas lamarannya yang dibawa oleh Yumna.
"Kamu siap bekerja di sini?"
"Siap, Pak."
"Siap juga mematuhi peraturan perusahaan?" telisik lelaki itu.
"Ya, Pak, siap." Karina dag dig dug menanti keputusan manajer itu.
"Gaji kamu sesuai UMR, ya. Tak ada bonus kecuali kalau mau lembur."
"Baik, Pak."
"Baiklah, saya nggak akan banyak bertanya padamu, karena CV-mu bagus. Dan lagi, kamu kakak Yumna. Kalau kamu tidak bekerja dengan baik, bukan kamu saja yang saya keluarkan, tetapi Yumna juga bisa saya pecat," katanya sambil menatap tajam wajah Karina.
"Sa-saya akan bekerja dengan baik dan tidak akan mengecewakan Bapak," sahut Karina saat itu dengan gugup. Sebab posisi Yumna bisa jadi bermasalah jika ia tak mampu bekerja dengan benar.
Saat itu Heri tertawa lepas memamerkan deretan giginya yang putih. Karina berseru dalam haati kalau Heri memang good looking dilihat dari sisi mana pun.
"Jangan tegang gitu, dong. Saya cuma bercanda," katanya.
Karina membuang napas lega.
Tiba-tiba ponsel lelaki itu berdering. Ia membukanya.
"Ya, Ma, meeting baru selesai. Aku otewe pulang."
Diam-diam Karina mendengarkan dan tak terasa bibirnya kembali menyunggingkan senyum. Benar-benar suami yang baik, batinnya.
"Kamu tidak memberitahu suamimu kalau pulang terlambat?"
Lelaki itu meletakkan kembali ponsel ke dalam sakunya. Ia mengembuskan napas lega.
"Kami sudah pisah, Pak," ujar Karina sambil menunduk.
"Apa? Oh, maaf. Bagaimana kalau saya antar saja sampai rumah?"
"Waduh, bagaimana ya, Pak?"
"Mau saja ya? Aku kasihan sama kamu. Pantang bagi saya menelantarkan wanita."
Hati Karina terasa hangat mendengar ucapan pimpinannya. Baru kali ini ada lelaki yang begitu menghormatinya, tidak seperti Irvan, sang mantan yang seringkali mengejek dan merendahkannya.
Namun, ia ingat statusnya yang singel justru menjadi simalakama kalau ia mau menuruti tawaran Pak Heri.
"Terima kasih atas tawarannya. Bapak baik sekali. Tapi lebih baik saya pulang sendiri, Pak."
"Loh, kok gitu? Biar saja saya antar. Kasihan. Ini 'kan sudah malam."
"Tidak enak nanti, Pak, apa kata tetangga."
"Oh," maklum Heri. "Kamu wanita yang baik dan mau memegang teguh prinsip. Aku kagum padamu. Kalau begitu saya antar sampai kantor saja dan kau harus pandai menjaga diri."
Karina tersenyum.
"Terima kasih, Pak," ujarnya.
Sesampainya di rumah, Yumna menyambutnya dengan heran karena wajah Karina kelihatan semringah.
"Kakak dari mana?"
"Aku menemani Pak Heri meeting di Bogor."
"Ya ampun, Kak. Kenapa nggak bilang-bilang? Aku nyariin tadi mau pulang bareng."
"Ya ampun." Perempuan itu menepuk dahinya. Urusan meeting dan soal Pak Heri itu sampai membuatnya lupa banyak hal.
"Mmm, meeting tadi sangat ulet dan itu pengalaman pertama buat Kakak. Sampai-sampai Kakak lupa ngasih tahu kamu. Maaf ya, Dek." Karina terpaksa berbohong.
"Yaudah, lain kali bilang-bilang, Kak, kalau lembur atau mau ke mana. Ibu juga tadi nanyain. Tuh anak-anak juga nungguin Kakak."
"Mama!"
"Sayang!!!" Karina memeluk ketiga anaknya.
"Makan, yuk. Nih Mama bawa kue."
Ketiga anaknya makan kue dengan lahap, termasuk si kecil Almira yang baru berusia dua tahun.
"Aku kangen sama Mama," ujar sulungnya.
"Ya, maafin Mama ya, Nak," sahut Karina mengusap kepala puterinya.
"Aku juga kangen ayah," imbuh gadis kecil itu.
Tiba-tiba Karina terdiam.
"Ayah ke mana, Ma? Kok nggak pernah datang?"
Dada Karina terasa membuncah mendengar pertanyaan anaknya. Air mata lantas menyusul keluar dari sudut netranya. Ia berbisik lirih.
"Kak Irvan, tega kamu ...."
Tiba-tiba ia pingsan.
"Mamaaa!" sang anak memanggilnya. Si sulung berlari keluar kamar untuk mencari neneknya.
"Nenek! Mama jatuh." Mereka menangis.