Tidak Bisa Mundur

“Ehm … istri pertama Aldrick udah ngijinin, Pak.” Ucapku dengan nada lemah dan hampir tidak terdengar di akhir kalimat. 

“Kalau ngijinin, kenapa nggak ikut kemari juga? Dari sini aja Bapak udah mikir kalau istri pertama Aldrick sebenarnya nggak rela dimadu, Ar. Wanita mana yang sudi?”

Aku menoleh ke arah Aldrick yang bersikap begitu tenang sambil menatap Bapak. Maklum saja, usia Aldrick hanya lima tahun dibawah Bapak. Ibarat kata dia seperti tidak berhadapan dengan lawan, melainkan dengan kawan.

“Istri saya sakit keras, Pak. Itu lah sebabnya saya memutuskan menikah lagi. Dan Army adalah perempuan pilihan saya.”

Jawaban diplomatis Aldrick dengan gaya tenangnya membuatku menghela nafas lega. Wajar jika Aldrick pandai menguasai keadaan. Dia bukan orang bodoh dan usianya lima belas tahun diatasku. Pengalaman hidupnya jauh lebih banyak ketimbang aku.

“Kalau kalian ngebet mau nikah, Bapak nggak akan ngelarang. Tapi, Bapak punya syarat buat Aldrick.”

"Apa syaratnya, Pak?" 

“Bapak mau Aldrick beliin kamu rumah sama sawah, Ar. Bukannya Bapak berdoa yang buruk, tapi jadi istri kedua itu rawan. Bapak nggak mau setelah Aldrick bosan sama kamu, dia ninggalin kamu tanpa apa-apa.”

Mendengar ucapan Bapak, keteguhan hatiku untuk dipersunting Aldrick sebagai istri kedua pun goyah. Aku tahu Bapak telah banyak makan pahit manisnya kehidupan, jadi wajar jika beliau sebegitu khawatirnya padaku.

Aku merasa berdosa telah membohongi Bapak jika sebenarnya aku dan Aldrick telah menikah siri selama setahun ini. 

“Bapak cuma bisa berharap Aldrick benar-benar jagain kamu.”

"Oh ya, rumah dan sawah seperti apa yang Bapak mau? Saya akan realisasikan sesegera mungkin."

Aldrick bertindak sangat cepat memimpin permainan karena aku goyah menjadi madunya. Bukan karena Aldrick tidak bisa mencari gadis muda yang bisa ia kencani dan tiduri dengan bayaran yang pantas. Hanya saja sejauh ini, hanya aku gadis muda yang paling menurut dengan semua titahnya.

"Besok pagi, Bapak akan tunjukin dimana sawah dan rumahnya."

***

Semalam, Aldrick tidur pulas di ranjang kecil beralaskan kasur kapuk yang dulu selalu kutiduri. Beruntung pria kelewat dewasa berusia empat puluh tahun itu tidak banyak maunya seperti di kantor. Aku khawatir Aldrick protes mengapa tidak ada AC atau penghangat air di kamar mandi. Juga sarapan dengan menu ala pedesaan yang seadanya.

Aldrick tahu sekali bahwa ia harus berdamai dengan keadaan sederhana keluargaku jika ingin diberi restu. Maka dari itu dia menepikan egonya hingga rencana menikahiku ulang secara resmi bisa terlaksana.

"Ini rumah yang Bapak maksud. Ayo masuk, yang punya rumah udah nunggu di dalam."

Bapak, Ibu, aku, dan Aldrick kini berada di rumah berlantai satu bercat hijau muda dengan pagar hitam. Setelah penjual membawa kami berkeliling rumah yang berdiri di atas tanah seluas 15 x 50 meter itu, Bapak dan Ibu terlihat menyukainya.

Tapi aku yang tidak bersemangat lantaran masih terbayang-bayang ucapan Bapak kemarin. 

"Berapa harga rumah ini, Pak?" Tanya Aldrick saat semua berkumpul di tengah.

"150 juta, Pak. Saya lagi butuh uang jadi dijual murah."

Aldrick menghela nafas lega karena harga yang dibandrol tidak membuatnya berat sama sekali. Bahkan sawah yang diinginkan keluargaku, harganya tidak jauh beda dengan harga rumah itu.

Dengan cekatan, Aldrick menandatangi surat jual beli setelah menyetujui harganya. Dan sore itu juga urusan pembayaran dan penyerahan sertifikat berjalan lancar.

"Gimana, Pak? Apa Bapak udah bisa memberikan restu pada kami?" Tanya Aldrick saat kami makan malam.

Bapak mengangguk walau masih ada ganjalan dihati. "Usia kalian bedanya jauh. Semoga itu nggak jadi batu sandungan di kemudian hari."

Tanpa menunggu lama atau pikiran orang tuaku berubah, esok harinya Aldrick mengajak mereka berdua kembali ke kota. Ia segera menghubungi Sahrul untuk menyiapkan segala kebutuhan pernikahan kami. Tanpa kuketahui hal apa saja yang Aldrick lakukan dengan Sahrul secara sembunyi-sembunyi.

"Ada yang ganggu pikiranmu?" Tanya Aldrick sambil memeluk tubuhku dari belakang.

Aku mengangguk. "Banyak yang ganggu isi otakku tapi kamu pasti bilang nggak apa-apa. Jadi percuma aku mau bilang ada apa."

"Kan semuanya emang nggak apa-apa. Kamunya aja yang lagi baper."

Sudah sejauh ini, mana mungkin aku berniat mundur?

Kedua orang tuaku bahkan telah berada di salah satu hotel berbintang untuk menjadi saksi pernikahan kami esok.

***

"Udah cantik. Sang raja pasti tergila-gila sama you deh cin." Ucap seorang penata rias bertubuh gemulai padahal ia seorang laki-laki.

Aku sangat cantik dengan kebaya putih yang kupilih di sebuah butik ternama. Bukan gaun pernikahan mewah karena tidak ada resepsi. Hanya ada akad nikah saja dan setelah itu kami halal untuk melakukan hubungan layaknya suami istri seperti biasa. Hanya saja terbatas waktu dan tempat agar tidak sampai ketahuan istri pertama Aldrick dan para sahabatnya. Entah sampai kapan.

Saat aku akan ke dapur untuk mengambil segelas air putih demi meredakan kegugupan, aku melihat Aldrick duduk di sofa ruang tengah apartemen dengan jas mahal dan ponsel yang menempel di telinga.

"Iya sayang, aku janji bakal pulang cepat malam ini. Kamu mau dibawain oleh-oleh apa, heum?!"

"..."

"Oke. Lalu apa lagi?"

Detik kemudian Aldrick terkekeh bahagia tanpa menyadari aku berdiri di belakangnya.

"Oke. Kamu pengen gituan dimana aja aku selalu siap kok."

Perasaanku bagai dihantam palu berukuran raksasa mendengar guyonan Aldrick yang begitu romantis dengan istri pertamanya. Seperti tidak ada beban akan mengkhianati. Bahkan Aldrick bisa bermain tampan menyembunyikan perselingkuhannya selama satu tahun ini denganku.

"Eh, nanti aku telfon lagi ya, sayang. Rapatnya mau dimulai. Bye! Love you."

Begitu Aldrick membalikkan badan betapa terkejutnya mendapati aku menatapnya dengan raut terluka. Sebenarnya jika aku ingin mengakhiri rencana pernikahan kedua ini, itu masih bisa terjadi.

"Ar, kamu mikir apa?" Tanya Aldrick hati-hati sambil melangkah pelan mendekatiku.

"Al, aku ---"

Belum selesai mengucap keingianku, Aldrick segera memburu bibirku yang terhiasi lipstick pink berkilauan sambil memelukku erat. Aldrick tidak mau usahanya mendapatkanku dan kesenangan yang selama kuberikan hingga membuatnya ketagihan harus berhenti disini. Ia masih belum puas bermain denganku dan ingin menjalaninya hingga ia benar-benar bosan.

"Nggak ada acara mundur dari rencana ini, Ar. Aku nggak ngijinin atau kamu bakal sulit apa-apa kalau sampai berani batalin ini. Aku nggak main-main." Ancam Aldrick dengan suara rendah.

Aku tertunduk bingung karena perempuan dari keluarga sederhana sepertiku mana mungkin bisa melawan pria berkuasa seperti Aldrick. Atau aku sendiri yang akan kesusahan.

"Hey, benahi lagi lipstick calon istriku." Panggil Aldrick ke arah penata rias.

"Ya ampun deh bos, udah kagak sabar banget main sosor aja. Bentar lagi halal kok, tenang aja."

Aku pasrah dirias kembali sedang Aldrick membersihkan bibirnya dari lipstick yang menempel.

Satu jam kemudian kami sampai di sebuah rumah makan yang telah disewa Aldrick. Tanpa pengunjung satu pun dan hanya beberapa orang penting yang menghadiri acara ini. Bapak, Ibu, aku, Aldrick, dan tim pernikahan yang disiapkan Sahrul.

Dokumen pernikahan kedua ini sudah diisi dan tinggal diberi tanda tanganku dan Aldrick. 

Heran! Bagaimana bisa Aldrick mendaftarkan pernikahannya denganku secara sah dimata hukum padahal istri pertamanya saja tidak tahu?

 


Komentar

Login untuk melihat komentar!