“Ar, kalau kamu sebenarnya nggak dikasih ijin sama istri pertama Aldrick, lebih baik batalkan pernikahan kalian, Nak. Sungguh, Bapak pernah lihat sendiri gimana susahnya hidup seseorang akibat berbahagia di atas derita orang lain. Rasulullah sama sekali nggak pernah ngajarin hal kayak gitu, Nak.”
Ucapan Bapak menggetarkan hati dan mengingatkanku pada siaran keagamaan yang pernah kulihat beberapa waktu yang lalu. Namun, apa yang sudah terjadi antara aku dan Aldrick, bagai benang kusut yang tidak semudah itu untuk diurai kembali.
Aku telah menyerahkan hati, jiwa, dan raga ini padanya.
Bila aku memilih menjadi janda, masih sudikah diri ini dipinang lelaki yang bermartabat?
“Army! Nggak usah dengerin ucapan Bapakmu! Hidup aja sama Aldrick! Biar terjamin masa depanmu!” Ibu kembali menyuarakan keinginannya.
“Kamu jangan mempengaruhi anakmu ke jalan yang buruk dan hina, Bu!” emosi Bapak memuncak.
Lalu layar monitor detak jantung kembali berbunyi waspada kemudian suster datang memberi pertolongan. Sedang aku dan Ibu disuruh untuk keluar ruangan karena Bapak harus mendapat penanganan.
Di kursi panjang itu, aku kembali menyandarkan kepalaku di dinding rumah sakit sambil menunggu panggilan dari dokter. Tidak ada komunikasi antara aku dan Ibu karena otakku terus memikirkan ucapan Bapak yang seratus persen benar. Bahwa aku seperti menunggu karma itu datang.
“Bapakmu itu bodoh! Udah tahu nggak enak badan, masih aja bahas pernikahanmu! Harusnya kalau anaknya nikah sama orang tajir itu harusnya senang! Bukan malah disuruh … eh … apa tadi Ar namanya?”
Aku menoleh ke arah Ibu yang berdiri sambil mondar mandir dengan wajah bingung bercampur khawatir.
“Pembatalan nikah, Bu.”
“Nah … itu. Benar. Bapakmu itu ngawur! Udah pokoknya kamu nggak usah mikirin ucapan Bapakmu. Aldrick itu memang jodohmu. Jadi istri kedua nggak masalah.”
Bukannya menjawab, aku justru memejamkan mata meresapi ucapan Bapak sambil berdoa pada Yang Kuasa agar beliau diberi kesembuhan.
“Ar, maafin Ibu sama Bapak ya? Tadi ganggu acaramu sama Aldrick.”
Reflek aku membuka mata mendengar ucapan Ibu yang tepat sasaran sekali. Bahwa tadi sebelum Ibu menggedor pintu kamar hotel kami, sebenarnya Aldrick tengah menikmati haknya yang baru kuberikan.
“Ibu bicara apa sih?”
“Bikin anak yang banyak dan lucu-lucu sama Aldrick. Biar dia makin sayang sama kamu.”
“Bu, lebih baik kita mikirin Bapak dari pada bahas itu.”
“Bapakmu udah diurus dokter. Ibu cuma mau bikin hatimu nggak ragu sama pernikahan ini. Memangnya kamu mau nikah sama lelaki model apa? Aldrick itu sempurna!”
Aku memilih berdiri kemudian berpamitan pada Ibu, “Aku mau ke toilet.”
Sungguh, aku tidak menduga jika kesederhanaan yang selama ini Ibu rasakan selama hidup bersama Bapak, ternyata seperti api dalam sekam. Begitu memiliki menantu seperti Aldrick, mendadak sekam itu seperti diguyur bahan bakar lalu menghasilkan api yang membara.
“Ibu benar-benar keterlaluan!”
***
Ada perasaan lega ketika Bapak sudah boleh kembali ke hotel. Namun dengan catatan harus rajin minum obat dan membebaskan pikiran.
Darah tinggi menuju stroke adalah penyakit yang diderita Bapak karena memikirkan pernikahanku dengan Aldrick.
“Bu, jangan bilang hal-hal yang bikin Bapak mikir. Urusan pernikahanku sama Aldrick, biar itu jadi urusanku sama Aldrick.” bisikku pada Ibu ketika Bapak sudah berbaring di kasur hotel.
“Ya nggak bisa gitu lah, Ar. Bapakmu harus ---”
Aku menyela dengan cepat, “Ibu! Tolong hargai keputusanku! Kalau Ibu nggak nurut, aku nggak mau transfer atau ngasih kalung cuma-cuma!”
Seketika raut Ibuku berubah melunak ketika aku mengiming-imingi kalung. Dasar Ibuku!
“Yang dua empat karat ya, Ar.”
Astaga … di saat seperti ini, Ibu masih saja bisa memikirkan hal itu. Dimana empatinya sebagai seorang Ibu dan Istri?
“Iya.”
Setelah bernegosiasi dan menemukan kesepakatan, aku kembali ke kamar. Perlahan aku membuka pintu kamar hotel kemudian, barangkali Aldrick sedang tidur. Karena suamiku itu, sangat benci jika ada yang berisik mengganggu tidurnya.
“Aku mencintaimu, Cla.”
….
“Makasih ya, sayang. Walau aku jauh dari kamu, tapi kamu tetep menjalankan tugas sebagai istri. Aku selalu mencintaimu, Cla.”
….
“Besok aku udah pulang kok. Nanti kita mesra-mesraan ya, sayang. Biar anak kita sama Oma Opanya.”
….
“Bye, honey. Love you."
Hatiku mencelos mendengar penuturan cinta Aldrick untuk istri pertamanya, Clavia. Tidak hanya itu, aku juga patah hati karena tahu apa yang baru saja mereka lakukan melalui sambungan video.
Meski Clavia dan Aldrick berjauhan, namun ia tetap memberikan layanan kepuasan batin untuk Aldrick melalui sambungan video. Lihat! Betapa berbaktinya ia pada Aldrick namun kami berdua menikamnya dari belakang dengan menggelar pernikahan kedua ini secara diam-diam.
Aldrick kembali membungkus tubuhnya dengan selimut. Membiarkan jubah mandinya tergeletak di lantai tanpa menyadari kedatanganku. Selanjutnya ia benar-benar tertidur pulas setelah mendapatkan apa yang tadi sempat kami lakukan namun terhalang dengan keadaan Bapak.
“Aku kayak istri yang nggak becus buat kamu, Al.” ucapku lirih diikuti lelehan air mata.
“Sudah menyakiti hati Clavia, Bapak sakit keras lalu nyuruh aku batalin pernikahan kita, dan sekarang, aku denger sendiri gimana cintanya kamu sama Clavia. Dia yang bisa bikin kamu puas meski dengan berbagai keadaan.”
“Aku lelah, Al. Lelah!”
“Haruskah aku tetap menjadi istrimu atau ikut kemauan Bapak demi kebaikanku?”
Login untuk melihat komentar!