6. Uang Angkot

"Ri, perlu gue temenin?"

Dasar penakut. Ya, aku memang penakut. Takut berhadapan dengan orang dan melakukan hal yang membuatku malu sendiri. Takut punya sahabat atau teman dekat, dan suatu saat aku berbuat ceroboh sehingga menyakiti hati mereka, lantas mereka pergi. Aku pun takut melakukan manuver baru yang sering dilakukan Irsyad, karena takut mengecewakan diriku sendiri.

Beasiswa, masuk kedokteran, jadi Korbid, juga semua keputusanku pasti ada andil orang-orang kuat di belakangku. Karena mereka paham, jika aku nggak cukup kuat untuk hal seperti itu.

"Nggak usah. Cuma ngumpulin ini."

"Lo gak takut? Kayaknya tadi Dokter Gamma ngegertak lo deh." Aku menggeleng, namun raut takut di wajahku sudah pasti nggak bisa disembunyikan. "Gue tunggu di sini. Ntar gue temenin nunggu angkotnya."

"Iya. Doain ya."

Jarak kampus dengan rumahku memang cukup jauh. Empat puluh menit kalau mengebut naik motor, dan satu jam kalau motornya berjalan santai. Empat puluh menit kalau aku naik angkot bersambung kereta, dan satu jam lebih kalau aku naik angkot saja.

Untungnya, Gedung A Fakultas Kedokteran, dekat dengan gerbang depan utama universitas. Aku biasa menyetop angkot nomor 43 arah stasiun UNI, dari gerbang depan. Berlanjut naik kereta jurusan Bogor, dan turun di stasiun Bojong Gede. Atau, angkot nomor 32 rute langsung rumahku, dan turun di depan gang.

Dulu, Irsyad sering menawarkan boncengannya untukku. Namun, sejak April berkomentar bahwa kami bukan mahram dan nggak boleh berdempet-dempetan, akhirnya aku nggak lagi menerima tawarannya. Untungnya, dia pun paham itu.

Bapak sering mengantarku naik motornya saat berangkat kuliah. Lumayan, aku bisa irit uang angkot. Tapi, aku lebih sering naik angkot-kereta saat pulang, karena jam kuliah yang nggak tentu kapan pulangnya.

----

Aku membuka pintu setelah mengetuk dan mengucap salam. Dari kaca pintu, bisa kulihat Dokter Gamma mengalihkan pasang matanya untuk menatapku dan memberi isyarat dengan tangannya, agar aku masuk.

Dokter Gamma sedang duduk di sofa ruang dosen yang paling dekat pintu, sembari menyesap kopi yang masih mengepul dari cangkirnya. Hari ini, dia tampak rapi. Kemeja slimfit warna biru muda, dasi biru navy, jam tangan yang kelihatan mahal, bahkan tatanan rambutnya masih terlihat mentereng walaupun hari telah sore.

"Maaf Dokter, ini tugas kami. Terimakasih, Dok. Saya pamit dulu. Permisi, Dok."

Berhasil aku berbalik, namun nggak berhasil melanjutkan langkah. Dia menghentikanku.

"Tunggu. Siapa bilang kamu boleh pulang? Bantu saya koreksi!"

Aku kembali berbalik menghadapnya, yang duduk menyilangkan kakinya ke atas. Aku hanya bisa berdiri menundukkan kepala, dengan jari-jari saling meremas. Tanganku sudah basah oleh keringatku sendiri. Kenapa ruangan ini dingin sekali? Di sini cuma ada Dokter Gamma dan dua pegawai lain yang sedang membereskan berkasnya hendak pulang.

"Dokter, kami duluan ya? Nanti bilang Satpam Pandi aja pas pulang. Biar dikunci," sapa dua pegawai terakhir penghuni ruangan dosen ini.

Ruang dosen ini hanya layaknya sebuah ruang transit. Nggak ada meja dengan papan nama dosen di depannya. Karena beliau-beliau sudah punya meja sendiri di Ruang Departemen masing-masing. Hanya ada dua meja pegawai tadi, dan empat set sofa besar.

Dokter Gamma sudah mengambil kertas pekerjaan kami. Seratus lembar. Haruskah aku membantunya mengoreksi seratus lembar tugas, yang aku bahkan ragu dengan jawabanku sendiri? Sekarang?

"Saya, Dok? Maaf Dokter, saya 'kan juga mahasiswa, Dokter. Saya belum tahu mana jawaban yang benar, mana yang salah."

"Kalo salah, nanti saya benarkan."

"Sekarang, Dokter? Maaf, tapi ... "

"Tapi apa?"

"Ini sudah sore, Dokter. Maaf. Saya ngejar kereta."

"Kamu bilang kemarin naiknya angkot. Kenapa sekarang ngejarnya kereta?"

Dia masih nggak menatapku. Tangannya sibuk mencoret-coret dan membenarkan jawaban kami tadi.

Aku menangis. Air mataku sangat memahami bagaimana perasaanku saat ini. Aku ketakutan. Tetes demi tetes membasahi pipiku. Aku mengapusnya dengan jari telunjukku.

Aku makin dan makin membungkukkan punggung juga kepalaku.

"Maaf, Dokter. Ampuni saya, Dokter. Maaf. Saya bohong, Dokter. Benar ... saya yang di stasiun waktu itu. Maaf. Saya sudah tidak sopan dengan Dokter waktu itu. Maafkan saya ... "

Aku masih belum berani menegakkan tubuh. Aku takut dia memarahiku dan mengancam macam-macam. Aku takut dia nggak meluluskanku karena attitude yang nggak bagus. Kata Irsyad, attitude adalah segalanya. Kalau aku mengulang mata kuliah Bedah, itu artinya Bapak Ibuk harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk transport-ku.

Aku nggak bisa melihat bagaimana ekspresi Dokter Gamma sekarang.

"Jangan hukum saya, Dok. Jangan kasih jelek nilai saya. Jangan persulit saya, Dok. Maafkan saya, Dok. Saya tidak sengaja waktu itu. Ijinkan saya pulang, Dok. Sudah malam. Saya nggak punya u--"

"Gak punya apa?"

Haruskah aku juga jujur soal ini? Haruskah dia tahu kalau aku manusia termiskin sefakultas? Haruskah dia tahu kalau ini adalah masa terberat untukku, karena akhir bulan? Haruskah dia tahu kalau aku nggak punya uaaaaanggggg?

"U-uang, Dok. Jatah hari ini sudah tidak cukup untuk saya naik angkot sampai rumah, Dok. Sa-saya juga takut naik angkot malam-malam. Maafkan saya, Dok."

Bulir demi bulir air mata, nggak kunjung berhenti mengalir dari tengah mataku. Selalu saja seperti ini, menangis setiap mengingat dan meratapi garis hidupku. Nggak banyak orang tahu. Mereka tahunya, aku rajin berpuasa.

"Bangun. Berhenti nangisnya. Saya gak suka liat orang nangis!"

Aku bangun dan secepat kilat mengusap air mataku dengan lengan panjang jaket hijau army-ku.

Aku melihatnya mengambil dompet dari kantong belakang celananya. Dia mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan.

Dokter Gamma berdiri, usai meletakkan kertas-kertas tugas kami di meja tengah sofa. Ia mengulurkan uang itu di depanku. Air mataku makin deras. Sungguh, aku paling nggak suka dikasihani seperti ini. Rasanya sisa-sisa harga diri yang kupunya, lenyap seketika saat orang menganggapku sedang membutuhkan belas kasihannya.

Aku membungkukkan punggung lagi.

"Maaf, Dokter. Bukannya saya menolak. Tapi saya tidak bisa menerima kebaikan, Dokter. Uang saya masih cukup kalau untuk naik kereta, Dokter. Cukup ijinkan saya pulang, Dokter. Saya mohoon ... dengan sangat."

"Apa kamu selalu seperti ini?"

"Saya cuma tidak mau dibelaskasihani, Dokter. Maaf, Dokter. Ijinkan saya pulang ..."

Hening, beberapa saat. Aku masih menunggu Dokter Gamma melepaskanku tanpa memberiku hukuman apapun. Termasuk uangnya.

Hingga tiba-tiba, aku mendengar suara pintu terbuka sedikit kencang, mengalihkan perhatianku. Aku menoleh sembari masih membungkuk. Dia Irsyad. 

"Tariii! Kamu ngapain?"


---------

Dobel update nih.

Selamat membaca❤💚💙💛💜