episode 5
Aku menyusurui beberapa lorong untuk sampai di ruang edelweis, tempat anak-anak yang dirawat.

Tadi, setelah sampai dihalaman rumah sakit, aku sedikit ragu untuk masuk. Aku juga bingung harus mencari Mas Ridho dimana. Rumah sakit ini sangat luas. Lalu, Aku teringat nama Saras. Kalau Mas Ridho terburu buru meninggalkan hotel tadi karna aku menanyakan siapa Saras, artinya perempuan itu berada disini. 

Ah, setidaknya aku harus mencari informasi dulu.

Kukuatkan tekad untuk masuk ke dalam, dan langkahku menuju meja resepsionis yang berada disamping ruang UDG.

"Permisi Pak, boleh saya nanya?"

Ada dua orang bapak-bapak di ruang resepsionis yang disekat oleh sebuah kaca.

"Ya, neng. Ada apa?"

Duh, dipanggil Neng, berasa masih gadis. 

"Emm..saya mau mencari pasien atas nama Saras, Pak." Jawabku sekenanya.

"Neng keluarganya?" Tanya Pak brewok yang menjaga meja.

Aku menggeleng pelan, "Saya... Temannya,"

Ah, apakah aku sudah berbohong kali ini? Ampuni aku Rabb, Aku terpaksa.

"Sebentar saya cari dulu,"Bapak brewok itu lalu menarikkan jarinya diatas keyboard.
Aku menunggu dengan harap cemas, semoga saja ada.

Setelah beberapa menit menunggu, Bapak brewok memanggilku.

"Maaf Neng, tidak ada pasien atas nama Saras."

Bahuku seketika luruh. Bagaimana ini? Apa aku sudahi saja pencarianku?

"Terimakasih Pak," Ucapku kemudian. 

Kulihat ada bangku berderet disebrang. Biarlah aku istirahat sejenak. Kududukkan bokongku disana. Dan memikirkan langkah selanjutnya. 

Kalau dipikir pikir aku seperti orang gila mencari suamiku sendiri. Aku bisa saja menghubunginya untuk menanyakan keberadaannya, itu terdengar lebih rasional bukan? Jadi aku tak susah payah untuk menerka nerka. 

Ku ambil gawai yang ada di tas selempangku. Saat akan menekan panggilan ke Mas Ridho, tiba tiba ucapan wanita bernama Saras itu saat menelpon terngiang ngiang di otakku.

"....Adrian terus kejang, aku takut..."

Otakku seperti mendapat pencerahan. Dengan cepat, aku kembali ke meja resepsionis. 

Aku mengetuk kaca pelan karna melihat Bapak brewok itu sedang menangkupkan wajahnya diatas meja.

Kepala Bapak itu terangkat, dan matanya menyipit melihatku kembali.

"Maaf Pak, ganggu." Ucapku tak enak hati.

"Gak apa-apa Neng, ada yang bisa Bapak bantu lagi?" Ucapnya seraya menegakkan badannya.

"Saya baru ingat kalau pasien bernama Adrian, Pak. Itu...nama anaknya," Ya Allah, ingin sekali aku menampar mulutku sendiri. Bisa-bisanya aku mengarang cerita lagi. Entah dari mana ide itu datang. Aku hanya berharap Bapak brewok itu percaya.

Bapak itu menatapku sebentar, kemudian mulai mencari info tentang nama yang aku cari, kurasa. 

Aku berjanji jika nama itu tak ada juga aku akan langsung pergi.

"Atas nama Adrian ya neng?"

"Iya Pak,"

"Anak itu dirawat di ruang Edelweis no. 4 Neng," 

Hah jadi benar ada? Syukurlah.

"Boleh tahu Pak, saya harus lewat jalan mana?"

"Neng lurus aja dari sini, Nanti di dalam ada satpam yang jaga, tanya ke dia ya,"

"Terimakasih Pak," Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum lebar.

"Sama-sama Neng,"

Aku hendak beranjak, tapi urung.

"Pak, maaf. Apa boleh saya menitipkan ini disini?" Ucapku seraya menunjuk ke arah koper hitam yang aku bawa.

Bapak itu melongokkan kepalanya keluar, lalu mengangguk.

Setelah mengucapkan terimakasih lagi, Aku langsung saja berjalan sesuai intruksinya.

***

Mataku berbinar melihat tulisan ruang Edelweis.

Saat masuk ada beberapa ruangan, dan ternyata ada posnya juga.

Seorang perawat menanayaiku.

"Mau jenguk siapa Bu?"

"Adrian Sus,"

Suster itu melihat sebuah catatan.

"Silahkan Bu, Adrian ada diruang tengah itu nomor empat,"

"Terimakasih Sus,"

Ruang rawat anak memang beda. Disini banyak gambar hewan, bunga, dan angka. 

Jika di ruang rawat lain hening, disini terdengar banyak tangisan dari anak-anak. 

Aku melangkah mendekati ruang rawat nomor empat. 

Pintunya terbuka.

Saat akan masuk, mataku langsung menuju pada seseorang.

Tubuhku membeku. Menatap seorang pria yang berstatus sebagai suamiku sedang dipeluk oleh seorang wanita berambut panjang.

Apakah ini yang di sebut teman biasa? 

"Mas Ridho?"  kukuatkan untuk memanggil namanya. Agar mereka segera melepas pelukannya.

Aku berhasil. Setelah namanya kupanggil. Wanita itu lekas menjauh dari tubuh suamiku. Mas Ridho sepertinya sangat terkejut mendapati istrinya disini, dan sedang memergokinya bersama wanita lain.

"Nandini?" 

Kulihat ia sedang memangku seorang anak kecil. Lalu tatapanku beralih pada wanita yang masih saja menatapku. Kutatap balik matanya. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke bawah.

"Sayang," Mas Ridho memanggilku kembali karna aku tetap berdiri di dekat pintu.

Dengan rasa dongkol, kakiku memasuki ruang inap anak ini.

Kuperhatikan Mas Ridho yang memegang sebuah alat uap.

"Sayang, kenapa kamu bisa ada disini?" Tanyanya tenang seolah tadi tidak terjadi apa-apa.

"Apa aku tak boleh menjemput suamiku sendiri?" Tanyaku balik.

Ia tercekat. Kulihat jakunnya naik turun. Apa ia sedang gugup? Biasanya prilaku itu ditunjukkan untuk orang yang punya rasa bersalah.

Aku mengacuhkan wanita yang ada dibelakangku. Tak sedikitpun aku menyapanya.

"Apa ini anak temanmu Mas?"

"Iya sayang," Jawabnya seraya mengelus kepala anak laki-laki itu lenbut. 

Hatiku kembali menghangat, aku sangat tahu Mas Ridho begitu mendambakan seorang anak.

"Mana orangtuanya?" 

"Ayahnya sudah meninggal, dan itu ibunya, Sayang. Kenalkan dia..Saras," jawabnya menatap wanita dibelakangku.

Saras? Wanita yang sedang aku cari.

Kuputar tubuhku untuk melihat wanita yang tadi memeluk suamiku.

Tak disangka dia tersenyum ke arahku dan mengulurkan tangannya padaku.

"Saya Saras Mbak," 

Kuakui dia cantik kalau saja diberi sedikit polesan.

"Nandini, istri sah Mas Ridho."
Sahutku membalas senyumnya tak kalah manis dan lebar. 

Kutekankan kata istri sah, agar dia menyadari kesalahnnya.

Saras sedikit tersentak saat aku memperkenalkan diri. Apa dia tersinggung? Aku tak peduli.

Kuakhiri jabat tangan kami. Dan menghadap Mas Ridho kembali.

"Mas, jadi kemarin kamu menemani mereka disini?"

Mas Ridho terlihat berpikir lalu mengangguk pelan.

"Aku pikir kamu menemani teman pria Mas, ternyata wanita dan seorang janda,"

Mas Ridho sangat terkejut dengan ucapanku.

"Sayang, jaga bicaramu. Itu tidak baik." kurasa Mas Ridho geram.

"Lalu bagaimana denganmu Mas?"

"Ada apa dengan Mas?"

"Kamu pasrah saja dipeluk wanita lain." tembakku tepat.

Mas Ridho sedikit gelagapan.

"Tadi... Ketidasengajaan sayang, itu tidak berarti apa-apa. Maafkan Mas," Ucapnya menunduk.

Baiklah, aku maafkan kali ini. 

Dua orang suster yang tadi ada di pos penjagaan datang. 

"Sudah selesai ya Pak," Suster berhijab mencabut selang dari hidung Adrian. Dan satunya lagi membawa alat uap ke sebuah troli.

"Kalau anaknya minta makan, kasih aja ya Bu, untuk memulihkan tenaganya. Tapi jangan dulu dikasih buah apalagi jeruk ya Bu," Suster itu memberikan intruksi kepada Saras.

"Baik Sus,"

Kedua suster itu pamit. 

Mas Ridho memindahkan kepala Adrian ke bantal. Anak itu masih tertidur. Lalu, menyelimutinya. Semua itu tak luput dari pandanganku. Mas Ridho terlihat sangat menyayangi anak itu.

"Mari pulang Mas, sudah selesai kan?" kupegang pergelangan tangannya.

Mas Ridho menatapaku lalu beralih menatap wanita dibelakangku.

"Mas, Ayo. Kita lanjut bulan madunya," Astaga, mulutku. Kenapa aku jadi tak tahu malu seperti ini?

Mas Ridho menatapku lalu mengangguk.

"Saras, Mas pulang." Sahutnya pelan tanpa melihat ke arahnya. 

Aku menggamit tangan Mas Ridho. Baru dua langkah, Saras memanggilku.

"Mbak Nandini,"

Aku dan Mas Ridho seketika berbalik.

Wanita itu menunduk memainkan tangannya.

"Tolong, izinkan Mas Ridho disini." cicit ya.

Ya Allah, apakah wanita itu tak punya rasa malu?

"Kamu meminta suamiku menemanimu disini?"

Dia mengangguk.

"Apa kamu tak punya malu Saras?"
Hardikku.

"Sayang," hentak Mas Ridho.

"Kenapa Mas? Apa salah dari omonganku? katakan apa hubungan kalian sehingga dia dengan berani memintamu untuk menemaninya disini didepanku?"

Mas Ridho diam saja, begitu pula dengan Saras.

"Apa kalian pasangan selingkuh?" tanyaku menatap tajam ke manik Mas Ridho.

"Jawab aku Mas," 

"Jangan berburuk sangka sayang, sudahlah, ayo kita pulang," Mas Ridho menggegam tanganku.

Aku melepasnya.

"Saras, jangan ganggu suamiku. Jika kamu tak punya suami lagi untuk dimintai tolong, hubungi kekuargamu. Kamu pasti punya keluarga kan? Kita sama sama seorang wanita Saras. Jangan menyakitiku dengan masalahmu. Kuharap kamu mengerti." ucapku oanjang lebar.

"Sayang, kamu terlalu banyak bicara. Ayo kita pulang,"

Mas Ridho menarikku keluar. 

Kulihat mata Saras berkaca kaca.

Kami  berjalan bersisian. Belum jauh dari ruangan tempat Ardian dirawat. Terdengar suara tangisan yang sangat kencang.

"Ayah Ridho....." deg, kami menghentikan langkah. Dan saling berpandangan.

"Apa itu suara Adrian?"

Mas Ridho mengiyakan.

"Aku mau Ayah Ridho," Suaranya semakin kencang. Lalu terdengar samar suara Saras menenagngkan anaknya.

"Mama...Aku mau Ayah Ridho, huaaa..." 

Aku menggenggam tangan Mas Ridho.

"Ayo kita pulang Mas," Ajakku padany.

Hatiku tersentak saat Mas Ridho menahan langkahnya.

"Sayang,.." Matanya menyiratkan permohonan.

"Kamu kenapa Mas? Ayo kita pulang," 

"Sayang please, kasihan Adrian,"

"Kasihan pada Adrian atau pada Saras Mas?"

"Ini bukan waktunya berdebat sayang, maafkan Mas. Nanti Mas jelaskan di rumah. Mas janji."

Kugelengkan kepalaku tanda tak setuju. 

Sementara tangis Adrian masih saja menggema. 


Mas Ridho melepas peganganku. Dan berbalik arah berlari kembali menuju ruang Adrian. Meninggalkanku yang menatapnya dengan luka yang mulai menganga. 

Aku diabaikan demi oranglain.

"Jahat kamu, Mas."







Komentar

Login untuk melihat komentar!